Timnas sepak bola Korea Utara (Korut) membuat ‘kejutan’ pada penyisihan World Cup 2010 zona Asia. Mereka memastikan diri merebut salah satu tiket wakil Asia ke putaran final di Afrika Selatan tahun depan dengan menyisihkan pesaing-pesaing yang lebih punya nama seperti Arab Saudi dan Iran.
Dua tahun yang lalu, tepatnya pada saat putaran final Asian Cup 2007 yang dihelat di Jakarta, timnas sepak bola Iraq juga mengejutkan publik bola Asia dengan menjadi juara di even empat tahunan tersebut. Tidak tanggung-tanggung, macan-macan Asia seperti Jepang, Korea Selatan (Korsel), Iran, Arab Saudi dan pendatang baru Australia, mereka taklukkan. Dan puncaknya, tahun ini timnas Iraq berlaga di Confederations Cup mewakili Asia melawan juara-juara dari benua lain.
Bila kita bandingkan, prestasi Korut dan Iraq dengan timnas sepak bola Indonesia saat ini bagaikan bumi dan langit. Sungguh ironis. Korut saat ini adalah salah satu negara termiskin di Asia. Fasilitas dan infrastruktur sepak bola di sana juga minim. Jangan harap ada siaran langsung sepak bola Eropa di negara komunis tersebut seperti yang kita nikmati setiap minggu di sini.
Korut bisa berprestasi seperti saat ini karena mereka memiliki mental seorang pemenang. Pada World Cup 1966, timnas sepak bola Korut menjadi negara pertama dari Asia yang bisa menembus babak perempat final. Prestasi tersebut belum bisa dikalahkan oleh negara Asia mana pun, kecuali saudaranya (sekaligus musuhnya), Korsel, yang berhasil menggapai babak semifinal pada World Cup 2002.
Di luar sepak bola, Korut juga dikenal sebagai negara yang BERANI. Korut adalah satu-satunya negara komunis ‘murni’ di Asia yang masih tegak berdiri sampai saat ini. Saudaranya yang jauh lebih kaya, Korsel, bahkan selalu merasa ‘takut’ terhadap Korut dan selalu meminta perlindungan ‘bos’-nya, yaitu Amerika. Keberanian bangsa Korut menghadapi hegemoni Amerika inilah yang mungkin menular ke timnas sepak bolanya. Mereka tidak pernah ‘takut’ menghadapi lawan-lawannya, bahkan yang mempunyai ‘nama besar’ sekali pun.
Demikian juga di Iraq, negeri ini porak-poranda akibat perang. Stadion-stadion sepak bola hancur kena bom sehingga mereka terpaksa menjadi tim ‘nomaden’ yang menjamu lawan-lawan tandingnya dengan meminjam stadion milik negara lain. Kompetisi sepak bola di dalam negerinya juga tidak berjalan. Dengan segala macam kondisi minus tersebut, Iraq masih bisa berprestasi karena mereka mempunyai mental seorang pemenang, atau lebih tepatnya mereka ‘dipaksa’ untuk mempunyai mental seorang pemenang.
Pada saat Saddam Hussein masih berkuasa dulu, federasi sepak bola Iraq (PSSI-nya Iraq) dipimpin oleh salah seorang putra Saddam yang terkenal bengis, yaitu Uday. Sang putra mahkota ini dikenal sebagai orang yang sangat membenci kekalahan. Jadi, pada waktu itu, para pemain timnas sepak bola Iraq selalu diancam saat mereka bertanding, karena kalau sampai kalah, mereka akan DISIKSA. Bahkan ada rumor, pemain yang tampil sangat buruk akan dijadikan SANTAPAN UNTUK BUAYA DAN SINGA peliharaan Uday.
Mungkin karena kebiasaan itulah, sampai saat ini para pemain Iraq selalu mempunyai target menang dalam setiap pertandingan. Bagi mereka, MENANG ADALAH HARGA MATI. Mental untuk selalu menang ini mengalahkan segala-galanya, termasuk kemiskinan yang melanda kehidupan mereka. Bayangkan, salah seorang pemain timnas Iraq tidak mampu membeli travel bag seharga Rp 500 ribu saat mereka berlaga di Asian Cup 2007 lalu. Bandingkan dengan penghasilan para pemain timnas Indonesia, macam Budi Sudarsono, Bambang Pamungkas, dll, yang kabarnya mencapai Rp 100 juta per bulan.
Bangsa Indonesia sebenarnya juga sudah memiliki mental seorang pemenang seperti halnya Korut dan Iraq. Hanya saja, sang pemenang itu saat ini sedang TERTIDUR. Pada tahun 50’an dan 60’an, timnas sepak bola Indonesia sempat disegani dan menjadi macan Asia. Di Olimpiade Melbourne 1956, Pasukan Garuda berhasil menahan imbang 0-0 timnas Uni Soviet yang saat itu menjadi salah satu tim terkuat di dunia dan dipimpin oleh Lev Yashin, penjaga gawang terbaik dunia sepanjang masa (namanya kini diabadikan sebagai nama penghargaan penjaga gawang terbaik dunia versi FIFA, yaitu FIFA Lev Yashin Award).
Ditakutinya timnas Indonesia kala itu, sedikit banyak tertular oleh semangat nasionalisme berani mati dan pantang menyerah yang digelorakan oleh pemimpin besar kita, Bung Karno. Tidak hanya tim sepak bolanya, pasukan perang kita juga sangat ditakuti di kawasan Asia. Padahal, saat itu Indonesia adalah salah satu negara termiskin di Asia.
Slogan ‘Ganyang Malaysia!’ waktu jaman Bung Karno sampai membuat negeri jiran tersebut terbirit-birit dan meminta perlindungan ‘ibunya’, yaitu Inggris. Tetapi saat ini, apa yang terjadi? Warga negara dan wilayah kita menjadi bulan-bulanan Malaysia, diacak-acak, disiksa, dan disilet-silet, kita hanya ‘diam’ saja. Bahkan ada gurauan di Malaysia, “Tidak perlu takut kalau diserang pesawat militer Indonesia, nantinya bakal jatuh sendiri kok!” Menyakitkan, bukan?
Di bidang sepak bola pun, saat ini timnas kita berkali-kali dipermalukan oleh ‘negara kecil’ seperti Singapura dan ‘negara yang baru membangun’ seperti Vietnam. Apalagi menghadapi Thailand, yang tim sepak bolanya terkuat di Asia Tenggara, kalah sudah biasa bagi kita.
Oleh karena itu, bila ada orang yang mengatakan bahwa sepak bola Indonesia tidak bisa maju karena di sini fasilitasnya minim, infrastrukturnya kurang memadai, kompetisinya masih amburadul, dan berbagai macam kendala teknis lainnya, saya katakan itu semua: BULLSHIT! Sepak bola kita terpuruk, dan juga di segala bidang yang lain, dikarenakan satu hal: MENTAL SEORANG PEMENANG!
Mari kita bangunkan mental seorang pemenang yang saat ini sedang tertidur. Bila mental seorang pemenang ini sudah bangun, kita pun juga bisa menjadi juara Asia seperti Iraq dan lolos ke putaran final World Cup seperti Korut. Sangat disayangkan bila kita hanya bisa lolos ke putaran final World Cup dengan ‘jalan pintas’ mencalonkan diri menjadi tuan rumah (saat ini PSSI sudah mengajukan proposal ke FIFA untuk mencalonkan diri menjadi tuan rumah World Cup 2018 atau 2022).
Dengan mental seorang pemenang dan pemberani yang kita miliki, tidak sepantasnya kita ‘loyo’ dalam menghadapi pertandingan apa pun. KEMENANGAN ADALAH HARGA MATI. Percuma digaji ratusan juta bila mentalnya masih mental krupuk. Fasilitas, sarana, dan kompetisi yang kita miliki jauh lebih maju daripada Korut dan Iraq. Skill pemain kita juga tidak kalah. Lihat saja kualitas individu seorang Boaz Solossa, putra Papua, yang saya rasa layak bermain di kompetisi tingkat Eropa.
Seharusnya, setiap pemain sepak bola Indonesia, dan kita semua, punya motto: Dengan GARUDA di dadaku, tidak ada yang bisa menghalangi. Jadilah pemberani dan raih semua impian! Itulah motto seorang pemenang. Layaknya burung garuda yang terbang tinggi di angkasa, setinggi impian kita, dan seorang pemberani, layaknya banteng yang akan menerjang apa pun yang menghadang.
Sebagai solusi pamungkas, saya juga sempat berpikir, apa kira-kira yang harus kita lakukan untuk membangunkan kembali seorang pemenang yang sedang tertidur ini, terutama bila semua cara sudah tidak mempan? Apakah harus diancam untuk dijadikan santapan buaya dulu?
No comments:
Post a Comment