October 29, 2016

Preview Film: Trolls (2016)


Anak-anak jaman sekarang mungkin tidak mengenal Trolls. Boneka buruk rupa dengan warna rambut warna-warni tersebut sempat nge-hits pada tahun 1960-an. Bahkan, pernah menjadi salah satu mainan terlaris di Amerika Serikat.

Awalnya, boneka Trolls "lahir" pada tahun 1959. Seorang tukang kayu, bernama Thomas Dam, tak mampu membeli kado Natal untuk putri kecilnya, Lila. Tak kurang akal, Dam kemudian memahat sendiri sebuah boneka kayu untuk anaknya.

Tak dinyana, banyak anak-anak lain di kota kecil Gjol, Denmark, yang ternyata suka setelah melihat boneka Lila tersebut. Sebuah ide bisnis pun muncul. Dam kemudian mendirikan sebuah perusahaan, Dam Things, untuk memproduksi boneka tersebut dari bahan plastik dengan merek Good Luck Trolls.

Tak butuh waktu lama, boneka buatan Dam Things tersebut langsung populer di seantero Eropa. Puncak adalah ketika Trolls masuk Amerika dan menjadi salah satu mainan yang paling diburu oleh anak-anak di sana pada tahun 1963-1965.

Berbeda dengan mainan-mainan lainnya, yang setelah booming lalu lenyap, Trolls ternyata mampu bertahan dan terus diproduksi. Bahkan, pada pertengahan tahun 1990-an bisa kembali nge-trend di kawasan Amerika Utara.

Berkat popularitasnya tersebut, Trolls kemudian mulai diadaptasi ke berbagai bentuk video game. Selain itu, sempat ada serial kartunnya di televisi yang berjudul Trollz (2005). Boneka Trolls yang berambut pink dan biru juga pernah muncul sekilas di tiga film animasi legendaris, Toy Story, pada tahun 1995, 1999, dan 2010.

Franchise Trolls akhirnya merambah layar lebar setelah DreamWorks Animation tertarik untuk memfilmkannya. Meski rencana tersebut sudah ada sejak 23 Juni 2010, rumah produksi yang didirikan oleh Steven Spielberg itu baru bisa mengakuisisi properti intelektual Trolls dari Keluarga Dam dan Dam Things pada April 2013.

Proyek untuk membuat film animasi komputer 3D bergenre komedi musikal itu pun resmi dimulai. DreamWorks kemudian menunjuk Mike Mitchell dan Walt Dohrn sebagai duo sutradara. Sejumlah bintang ternama, terutama yang berlatar belakang penyanyi atau pernah main di film musikal, mereka gaet.

Chloe Grace Moretz dan Jason Schwartzman beberapa tahun lalu sebenarnya sempat disebut-sebut sebagai pengisi suara Trolls. Namun, DreamWorks akhirnya menjatuhkan pilihan pada vokalis NSYNC, Justin Timberlake, dan pemeran utama Pitch Perfect (2012), Anna Kendrick. Selain mereka berdua, juga ada si cantik Zooey Deschanel, komedian Russell Brand dan James Corden, serta Gwen "No Doubt" Stefani!

Film Trolls sendiri sebenarnya mengangkat kisah yang sangat sederhana. Yaitu, tentang bangsa Trolls yang kecil mungil dan berwarna-warni. Mereka hidup tersembunyi dan menghabiskan waktu dengan bernyanyi, menari, dan berpelukan.

Dua tokoh utamanya adalah Poppy (Anna Kendrick) dan Branch (Justin Timberlake). Karakter mereka sangat bertolak belakang. Poppy, putri dari pemimpin bangsa Trolls, sangat ceria dan optimistis. Berbeda dengan Branch yang introvert dan suka menyendiri di dalam bunker. Dia tidak suka bernyanyi, menari, dan berpelukan seperti Trolls lainnya. Warna kulitnya juga kusam dan kelabu, sesuai dengan sifatnya yang sinis dan pesimistis.

Suatu ketika, kehidupan ceria para makhluk mini itu terancam dengan kehadiran bangsa Bergens. Kaum raksasa yang selalu galau itu memiliki seorang Chef (Christine Baranski) yang kejam. Si Koki tersebut kemudian menculik para Trolls dengan tujuan untuk memasak mereka! Para Bergens berkeyakinan bakal hidup bahagia jika mereka memakan Trolls.

Menghadapi ancaman tersebut. Poppy dan Branch terpaksa harus bekerja sama meski memiliki sifat yang sangat berbeda. Mampukah mereka menyelamatkan para Trolls dari santapan bangsa Bergens yang jahat itu?

Meski buruk rupa dengan rambut jabrik dan kaku kayak sapu ijuk, para karakter Trolls yang mungil sebenarnya cukup imut dan lucu. Selain itu, jika menonton trailer-nya, DreamWorks tampak berhasil menampilkan visual yang indah dengan warna-warna indah yang sangat eye-catching. Anak-anak pastinya bakal suka dengan film berdurasi 93 menit ini.

Tingkah laku para tokohnya juga sangat jenaka. Terutama Bridget (Zooey Deschanel), seorang gadis Bergen baik hati yang tergila-gila pada sang Pangeran Bergen (Christopher Mintz-Plasse). Karakter para Trolls yang selalu ceria juga bakal membuat mood para penonton menjadi gembira.

Selain menyelipkan pesan moral untuk selalu bahagia, duet sutradara Mike Mitchell dan Walt Dohrn memang mengemas film Trolls ini dengan unsur komedi yang kental. Bahkan, mereka juga menyisipkan beberapa parodi alias plesetan dari film-film terkenal, seperti E.T. dan Cinderella.

Namun, yang menjadi kekuatan utama dari Trolls adalah musikalitasnya. Sejumlah lagu yang nge-hits pada tahun 1980-an dinyanyikan ulang oleh para karakter dari film berbujet USD 120 juta ini. Sebut saja, "True Colors"-nya Cindy Lauper, "Hello"-nya Lionel Richie, hingga "The Sound of Silence"-nya Simon & Garfunkel yang legendaris itu.

Para penonton usia dewasa, yang menemani anak-anak mereka menonton Trolls, bakal bernostalgia saat mendengarkan lagu-lagu tersebut. Apalagi, cerita dari film rilisan 20th Century Fox ini memang sengaja dibuat nyambung dengan musiknya. Jadi, bukan sekadar hiasan saja.

Para penyanyinya pun bukan artis sembarangan. Bahkan, Justin Timberlake membawakan sendiri salah satu lagu soundtrack Trolls yang berjudul "Can't Stop the Feeling". Lagu dengan beat ringan itu cukup enak didengar dan bakal membuat para penonton ikut bergoyang.

Setelah tayang perdana di BFI London Film Festival pada 8 Oktober 2016 yang lalu, Trolls mendapat rating lumayan dari beberapa situs review. Meski demikian, ada juga kritikus yang menganggap film yang hingga kini sudah meraup pemasukan USD 20 juta tersebut terlalu meniru The Smurfs.

***

Trolls

Sutradara: Mike Mitchell, Walt Dohrn
Produser: Gina Shay
Penulis Skenario: Jonathan Aibel, Glenn Berger
Pengarang Cerita: Erica Rivinoja
Berdasarkan: Trolls dolls by Thomas Dam
Pemain: Anna Kendrick, Justin Timberlake, Zooey Deschanel, Russell Brand, James Corden, Gwen Stefani
Musik: Christophe Beck
Sinematografi: Yong Duk Jhun
Penyunting: Nick Fletcher, Julie Rogers
Produksi: DreamWorks Animation
Distributor: 20th Century Fox
Durasi: 93 menit
Budget: USD 120 juta
Rilis:  8 Oktober 2016 (BFI London Festival), 28 Oktober 2016 (Indonesia), 4 November 2016 (Amerika Serikat)

Ratings

IMDb: 6,7
Rotten Tomatoes: 88%
Metacritic: 48



October 26, 2016

Preview Film: Doctor Strange (2016)


Saat muncul pertama kali pada tahun 1960-an di komik terbitan Marvel, Doctor Strange menuai kontroversi. Berbeda dengan superhero-superhero lainnya yang berlatar belakang alien, sci-fi, dan teknologi canggih, Doctor Strange penuh dengan hal-hal mistik dan klenik. Bisa dibilang, ini adalah dukun sakti yang di-superhero-kan.

Awalnya, kisah Doctor Strange hanya berupa sisipan lima lembar dalam antologi komik Strange Tales yang terbit pada bulan Juli 1963. Steve Ditko, sang kreator, dan Stan Lee, si pengarang cerita, menyatakan proyek tersebut semula hanyalah proyek coba-coba Oleh karena itu, terciptalah karakter yang tergolong aneh untuk dunia barat tersebut.

Tak dinyana, proyek iseng Steve Ditko dan Stan Lee tadi mendapat sambutan luas. Meski bertema psikedelik dan penuh halusinasi, Doctor Strange dianggap sebagai superhero cutting edge yang paling mutakhir dan fresh. Kisahnya menggabungkan mitologi Mesir dan Sumeria, serta dunia mistis Asia.

Meski cukup populer sejak tahun 1960-an, yang sejalan dengan era hippies, komik Doctor Strange belum pernah diangkat ke layar lebar. Sejauh ini, salah satu anggota The New Avengers tersebut hanya pernah dibuat dalam versi live-action berupa film televisi. Pemeran utamanya Peter Hooten. Tayang pada tahun 1978.

Selain itu, juga ada versi animasinya. Namun, film yang berjudul Doctor Strange: The Sorcerer Supreme itu hanya dirilis dalam bentuk DVD pada tahun 2007, dan tidak tayang di bioskop. Pengisi suaranya adalah Bryce Johnson.

Niat untuk mengangkat Doctor Strange ke layar lebar baru dilakukan secara serius setelah Marvel Studios sukses mengembangkan proyek Marvel Cinematic Universe (MCU) tahap pertama dengan Iron Man, Hulk, Thor, Captain America, dan The Avengers, serta tahap kedua dengan Guardians of the Galaxy dan Ant-Man.

Doctor Strange pun direncanakan untuk menjadi awal dari MCU fase ketiga. Film solonya mendahului film solo tokoh-tokoh anyar yang baru akan dirilis tahun depan, seperti Spider-Man, Black Panther, dan Captain Marvel.

Kemunculan si Dokter Aneh dalam Jagad Sinema Marvel ini memang bisa dibilang tiba-tiba, tanpa perkenalan lebih dahulu di film-film sebelumnya. Satu-satunya petunjuk adalah ketika nama Stephen Strange, nama asli Doctor Strange, disebut secara sekilas dalam Captain America: The Winter Soldier (2014).

Menurut Presiden Marvel Studios Kevin Feige, sosok Doctor Strange memang tidak diperkenalkan seperti superhero-superhero lainnya karena karakternya sangat kompleks. Meski demikian, dia memiliki peran yang sangat penting dan sengaja dirilis sebelum MCU memasuki fase ketiga, Infinity War.

Stephen Vincent Strange (Benedict Cumberbatch) semula adalah seorang dokter bedah saraf terbaik di dunia. Namun, dibalik kesuksesan dan kepintarannya tersebut, dia memiliki tabiat yang buruk karena sangat arogan dan sombongnya minta ampun. Egonya setinggi langit.

Semacam kena karma, hidup Doctor Strange akhirnya berubah drastis setelah dia mengalami kecelakaan mobil. Kemampuan tangannya menurun dan menjadi sangat terbatas. Bagi seorang dokter bedah, tangan adalah salah satu aset utama.

Di tengah rasa frustrasi yang mendera, si dokter pongah itu kemudian bertekad untuk menyembuhkan dirinya. Dia berkelana ke seluruh penjuru dunia untuk memulihkan kemampuan tangannya.

Petualangan Doctor Strange untuk mencari kesembuhan itu sampai di Kathmandu, Nepal, dan akhirnya mempertemukan dia dengan The Ancient One (Tilda Swinton). Penyihir perempuan berkepala gundul tersebut kemudian mengangkatnya menjadi murid dengan tujuan menjadikan ia sebagai pelindung alam semesta.

Demi kesembuhan tangannya, Strange pun harus mengesampingkan egonya. Dia bersedia diajari oleh The Ancient One. Dokter bedah saraf itu akhirnya berubah menjadi dukun sakti pelindung jagad raya. Dia harus menggunakan segala kemampuannya untuk menjadi perantara bagi dimensi manusia dan dimensi lainnya.

Selain memiliki kemampuan mejik dan punya pengetahuan luas mengenai hal-hal mistik, Doctor Strange juga menyimpan berbagai "aksesoris" dan jimat sakti di "kuil"-nya, Sanctum Santorum, yang terletak di Greenwich Village, New York City.

Azimat-azimat tersebut, antara lain: Eye of Agamotto, Orb of Agamotto (sempat muncul sekilas di film Thor rilisan tahun 2011), Wand of Watoomb, Book of Vishanti, Mind Gem, berbagai macam batu akik dan benda-benda antik lain yang tak terhitung jumlahnya. Selain itu, Doctor Strange juga selalu memakai Cloak of Levitation, alias jubah sakti yang bisa membuatnya terbang!

Seperti halnya superhero lainnya, Strange juga hidup sebatang kara dan menjomblo. Meski demikian, si dukun ini diem-diem naksir ama Christine Palmer (Rachel McAdams), seorang dokter UGD yang semula sering membantunya saat masih bekerja di rumah sakit.

Di versi komik, Doctor Strange sebenarnya dekat dan menaruh hati pada superhero cewek bernama Clea. Namun, di versi film ini, Marvel Studios sengaja tidak memunculkannya. Mereka lebih memilih Christine Palmer yang memang manusia biasa dan lebih membumi.

Untuk memilih para cast di film berdurasi 115 menit ini, Marvel Studios menyerahkan sepenuhnya pada Scott Derrickson. Sutradara 39 tahun itu sejak semula memburu Benedict Cumberbatch untuk memerankan Doctor Strange.

Namun, ambisinya tersebut nyaris gagal. Cumberbatch kala itu masih sibuk syuting serial Sherlock Holmes. Derrickson pun kemudian rela mengalah dan mengubah timeline-nya untuk menyesuaikan dengan jadwal bintang The Imitation Game (2014) tersebut. Perilisan Doctor Strange akhirnya diundur, dari semula musim panas, menjadi bulan Oktober ini.

Dalam penentuan cast lainnya, Derrickson sempat dikritik oleh para fans Marvel Comics karena memilih Tilda Swinton, seorang tante-tante bule, sebagai The Ancient One, yang dikisahkan berasal dari Asia. Selain itu, di versi komik, guru Doctor Strange tersebut adalah seorang pria, bukan wanita. Derrickson pun dihajar dengan isu whitewashing.

Meski demikian, sutradara film horror Sinister (2012) tersebut membantah bahwa dirinya sengaja menganakemaskan pemain berkulit putih (whitewashing). Buktinya, di film berbujet USD 165 juta ini, dia melibatkan sejumlah aktor kulit berwarna yang cukup beragam, semacam Chiwetel Ejiofor dan Benedict Wong. Selain itu, di versi komik, menurutnya, tidak ada penjelasan detail mengenai latar belakang etnis dari The Ancient One.

Derrickson mengaku, dia memang ingin mengubah image karakter guru ilmu beladiri keturunan Asia di film-film Hollywood yang selama ini digambarkan selalu tua dan berjenggot putih. The Ancient One versi baru ini diharapkan bisa mendobrak stereotipe tersebut.

Apalagi, sosok penyihir plontos di atas bukan tokoh sampingan. Dalam kisah Doctor Strange, The Ancient One merupakan tokoh utama yang punya pengaruh besar dan kuat. Bukan hanya pendamping seperti Scarlet Witch ataupun Black Widow di The Avengers.

Menurut Tilda Swinton, karakter The Ancient One yang dia perankan sangat tenang, bijaksana, dan tidak pernah mempermasalahkan hal-hal kecil. Meski demikian, jangan coba-coba untuk mengganggu, karena dia sangat jago bertarung. Aktris senior yang pernah bermain di film Constantine (2005) itu bahkan siap jika harus kembali memerankan mentor Stephen Strange tersebut di film-film MCU lainnya.

Sementara itu, Derrickson menyatakan, film Doctor Strange yang dia buat ini tidak menyimpang dari versi komik. Sutradara The Exorcism of Emily Rose (2005) tersebut sangat berpegang teguh pada cerita asli yang dikarang oleh Stan Lee dan Steve Ditko. Dia hanya sedikit menyesuaikan plotnya agar bisa terangkum dalam film yang durasinya tak sampai dua jam ini.

Derrickson juga mempertahankan setting asli Doctor Strange yang bold, kelam, dan eksentrik. Alhasil, Marvel Studios pun harus mengeluarkan biaya ekstra untuk menggarap efek visual yang sesuai dengan permintaannya.

Dalam membesut Doctor Strange, tantangannya memang besar, karena ini menyangkut dunia magis dan supranatural. Berbeda dengan film superhero lain yang lebih mengedepankan teknologi canggih. Secara cerita, mungkin lebih tidak masuk akal dan kurang logis bagi para penonton awam.

Untuk mengatasi hal tersebut, Derrickson berusaha membuat kisah Doctor Strange ini lebih fun agar bisa dinikmati oleh seluruh keluarga. Agar para penonton tidak bingung, tema yang berat, serius, dan kompleks, dia kemas sedemikian rupa agar tetap menghibur dan mengundang tawa, seperti film-film superhero Marvel lainnya.

Di lain pihak, sang pemeran utama, Benedict Cumberbatch, mengakui peran sebagai Doctor Strange ini merupakan salah satu yang paling berkesan sepanjang karirnya. Bintang Star Trek Into Darkness (2013) tersebut merasa tertantang utuk memerankan sosok dokter bedah saraf yang jenius, tapi sombongnya luar biasa dan selalu ingin menguasai takdir itu. Sekilas, memang hampir mirip dengan karakter detektif Sherlock Holmes yang dia perankan di serial televisi.

Selain suasana syutingnya yang menyenangkan, Cumberbatch juga menyukai pesan moral dari film rilisan Walt Disney Pictures ini. Yaitu, tentang seorang pria yang harus melawan egonya sendiri untuk bangkit dari keterpurukan. Jadi, dia harus mampu menaklukkan dirinya sendiri sebelum mengalahkan para musuhnya.

Berbeda dengan versi komik, di versi filmnya ini, tidak ada tokoh yang benar-benar jahat. Satu-satunya tokoh antagonis di Doctor Strange ini adalah Kaecilius (Mads Mikkelsen). Mantan murid The Ancient One itu berkhianat. Karena alasan tertentu, ia berusaha membunuh sang guru dan ingin mencuri rahasia ilmunya. Selain itu, dia juga ingin membangkitkan kuasa gelap dari dimensi lain.

Selain Kaecilius, sebenarnya juga ada Karl Mordo (Chiwetel Ejiofor). Saudara seperguruan Doctor Strange tersebut sama-sama murid dari The Ancient One. Meski demikian, di versi film ini, sutradara Scott Derrickson hanya menggambarkan Mordo sebagai sosok yang sangat ambisius, tidak sejahat di versi komiknya.

Saat menghelat world premiere alias tayang perdana di Hong Kong pada 13 Oktober 2016 yang lalu, Doctor Strange mendapat sambutan meriah. Berbagai situs review dan kritikus memberi rating yang sangat positif. Bahkan, ada yang bilang, ini adalah salah satu film superhero Marvel yang paling memuaskan yang pernah dibuat!

Secara box office, film berbujet USD 165 juta ini diharapkan mampu meraup pemasukan minimal USD 225 juta dari pasar domestik. Meski demikian, melihat animo para penonton, bukan tidak mungkin Doctor Strange menembus USD 500 juta secara global. Atau, bahkan, menyaingi Captain America: Civil War yang meraih pendapatan di atas semiliar dolar dan menjadi film terlaris tahun ini.

***

Doctor Strange

Sutradara: Scott Derrickson
Produser: Kevin Feige
Penulis Skenario: Scott Derrickson, C. Robert Cargill
Pengarang Cerita: Jon Spaihts, Scott Derrickson, C. Robert Cargill
Berdasarkan: Doctor Strange by Steve Ditko
Pemain: Benedict Cumberbatch, Chiwetel Ejiofor, Rachel McAdams, Benedict Wong, Michael Stuhlbarg, Benjamin Bratt, Scott Adkins, Mads Mikkelsen, Tilda Swinton
Musik: Michael Giacchino
Sinematografi: Ben Davies
Penyunting: Wyatt Smith, Sabrina Plisco
Produksi: Marvel Studios
Distributor: Walt Disney Studios Motion Pictures
Durasi: 115 menit
Budget: USD 165 juta
Rilis:  13 Oktober 2016 (Hong Kong), 26 Oktober 2016 (Indonesia), 4 November 2016 (Amerika Serikat)

Ratings

IMDb: 8,5
Rotten Tomatoes: 97%
Metacritic: 73


October 23, 2016

Preview Film: Robinson Crusoe (2016)


Robinson Crusoe adalah sebuah novel legendaris karangan Daniel Defoe yang pertama kali terbit pada 25 April 1719. Kisahnya terinspirasi dari pengalaman nyata Alexander Selkirk, orang Skotlandia yang terdampar selama empat tahun di pulau terpencil bernama Mas a Tierra.

Saking terkenalnya novel karya Defoe tersebut, pulau tempat Selkirk terdampar, yang terletak di Samudera Pasifik, dan sekarang menjadi wilayah Cile, itu akhirnya diganti namanya menjadi Pulau Robinson Crusoe pada tahun 1966. Selain itu, kisahnya juga diadaptasi ke berbagai bentuk drama, acara televisi, dan film.

Tahun 1927, untuk pertama kalinya Robinson Crusoe diangkat ke layar lebar. Namun, kala itu, formatnya masih film bisu. Yang paling dikenal oleh generasi sekarang, mungkin, adalah film rilisan tahun 1997 yang dibintangi oleh Pierce Brosnan. Selain itu, juga ada Cast Away (2000)-nya Tom Hanks, yang kisahnya, bisa dibilang, mirip-mirip dengan novel terbitan Inggris tersebut.

Tahun ini, Robinson Crusoe kembali menghiasi layar bioskop. Formatnya bukan live-action, melainkan animasi komputer 3D. Meski terinspirasi dari novel Defoe, film yang di Amerika berjudul The Wild Life ini mengusung genre berbeda, yaitu adventure comedy, dengan point of view dunia hewan.

Kisahnya, di sebuah pulau kecil, hiduplah seekor burung kakatua bernama Tuesday (David Howard Thornton). Berbeda dengan teman-teman hewan lainnya, yang nyaman tinggal di situ, impian Tuesday adalah merantau dan menjelajah dunia.

Suatu ketika, terjadi badai besar yang mengakibatkan sebuah kapal asing terdampar, dengan seorang penumpangnya yang bernama Robinson Crusoe (Yuri Lowenthal). Tuesday pun melihatnya sebagai jalan keluar dari pulau tersebut.

Sembari memulihkan kondisi, Crusoe tinggal bersama Tuesday dan kawan-kawan hewan lainnya. Kehidupan mereka berjalan harmonis, sampai akhinya dari dalam kapal muncul dua kucing garong yang ingin menguasai pulau surgawi tersebut. Mampukah Crusoe dan teman-teman barunya mengusir mereka? Apakah impian Tuesday untuk merantau akhirnya tercapai?

Film animasi berdurasi 90 menit ini sebenarnya diproduksi oleh perusahaan asal Belgia, yaitu Illuminata Pictures, nWave Pictures, dan uFilm. Namun, StudioCanal asal Prancis yang kemudian mendistribusikannya di Eropa.

Di Amerika, judul film Robinson Crusoe versi terbaru ini diganti menjadi The Wild Life. Lionsgate menjadi distributornya, dan baru merilisnya pada bulan September yang lalu. Bedanya dengan Eropa cukup lama, karena di Belgia dan Prancis sudah tayang sejak bulan Maret dan April.

Sayangnya, meski secara box office cukup lumayan, meraup pemasukan USD 30 juta, dengan bujet "hanya" USD 13 juta, Robinson Crusoe mendapat rating negatif dari sejumlah situs review. Para kritikus menilai, film besutan Vincent Kesteloot dan Ben Stassen ini hanya menghibur bagi penonton anak-anak, bukan orang dewasa.

***

Robinson Crusoe

Sutradara: Vincent Kesteloot, Ben Stassen
Produser: Gina Gallo, Mimi Maynard, Domonic Paris, Ben Stassen, Caroline Van Iseghem
Penulis Skenario: Lee Christopher, Domonic Paris, Graham Weldon
Berdasarkan: Robinson Crusoe by Daniel Defoe
Pemain: Yuri Lowenthal, David Howard Thornton, Laila Berzins, Joey Camen, Sandy Fox
Musik: Ramin Djawadi
Produksi: Illuminata Pictures, nWave Pictures, uFilm
Distributor: StudioCanal, Lionsgate
Durasi: 90 menit
Budget: USD 13 juta
Rilis: 5 Februari 2016 (Brussels Animation Film Festival), 30 Maret 2016 (Belgia) 20 April 2016 (Prancis), 9 September 2016 (Amerika Serikat), 21 Oktober 2016 (Indonesia)

Ratings

IMDb: 5,3
Rotten Tomatoes: 13%
Metacritic: 36
CinemaScore: B-



October 22, 2016

Preview Film: Bridget Jones's Baby (2016)


Saat dirilis pada 2001, Bridget Jones's Diary menuai sukses secara komersial. Film komedi romantis yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Helen Fielding tersebut mampu meraup pemasukan hingga USD 281 juta, dengan modal "hanya" USD 25 juta.

Sejumlah situs review dan kritikus juga memberi rating sangat positif untuk film berdurasi 97 menit yang dibintangi oleh Renee Zellweger tersebut. Bahkan, lawan main Hugh Grant itu akhirnya masuk nominasi Piala Oscar kategori Aktris Terbaik.

Berkat kesuksesan film pertama, sekuel Bridget Jones pun langsung dibuat dan dirilis tiga tahun kemudian dengan subjudul The Edge of Reason. Kisahnya kembali diambil dari novel Helen Fielding yang terbit pada 1999. Hanya saja, meski cukup berhasil secara komersial, meraup pemasukan USD 262 juta, dengan bujet "hanya" USD 40 juta, film yang kedua ini mendapat review negatif dari sejumlah kritikus.

Bridget Jones sendiri merupakan tokoh rekaan karya penulis Helen Fielding. Pertama kali muncul lewat tulisan pendek di harian The Independent, di Inggris, pada tahun 1995. Fielding kemudian membuatnya menjadi tiga jilid novel, yaitu Bridget Jones's Diary (1996), Bridget Jones: The Edge of Reason (1999), dan Bridget Jones: Mad About the Boy (2013).

Tahun ini, setelah lebih dari satu dekade, Bridget Jones kembali ke layar lebar. Berbeda dengan dua film pendahulunya, film ketiga yang berjudul Bridget Jones's Baby ini tidak diadaptasi dari novel, melainkan sebuah cerita baru. Meski demikian, Helen Fielding tetap menjadi penulis naskahnya, dengan dibantu oleh Dan Mazer dan Emma Thompson.

Kisah seri ketiga ini tetap berkutat pada sosok jenaka Bridget Jones (Renee Zellweger) yang kini sudah menjadi wanita karir, sebagai produser acara televisi, di London, Inggris. Namun, sayangnya, di balik kesuksesannya tersebut, dia masih merasa kesepian dan tidak kunjung menemukan kekasih sejatinya.

Meski demikian, bukan berarti Bridget benar-benar jones, alias jomblo ngenes. Cewek berumur fourthy something yang mengalami masalah kelebihan berat badan tersebut masih belum bisa sepenuhnya menuntaskan hubungan dengan sang mantan, Mark Darcy (Colin Firth). Status mereka putus-nyambung.

Selain itu, juga ada sosok baru, yaitu cogan, alias cowok ganteng, asal Amerika bernama Jack Qwant (Patrick Dempsey), yang naksir dia. Mungkin karena sudah "gatal", Bridget pun "melayani" dua-duanya, Darcy dan Jack. Masalah kemudian muncul ketika dia positif hamil, dan menjadi beyond complicated karena Bridget ternyata tidak yakin siapa ayah dari janin yang dikandungnya! Jack atau Darcy?

Salah satu perbedaan utama seri ketiga ini dari dua film pendahulunya adalah ketiadaan sosok Daniel Cleaver. Playboy nakal yang dulu diperankan oleh Hugh Grant itu memang selalu berhasil menarik perhatian Bridget dan menjadi pesaing sejati bagi sang kekasih, Mark Darcy.

Meski demikian, absennya Hugh Grant sebenarnya tidak perlu disesali. Menurut para pengamat, karakter Daniel yang dia mainkan sudah tidak memiliki peran yang signifikan seperti di film yang pertama. Bahkan, di seri kedua, kemunculannya terlalu dipaksakan. Jadi, malah bagus jika di film yang ketiga ini dia benar-benar menghilang.

Hugh Grant sendiri mengaku mundur dari Bridget Jones's Baby karena masalah naskah. Menurutnya, skenario film ketiga ini tidak sebaik dua film pendahulunya. Mantan pacar Elizabeth Hurley itu akhirnya memutuskan untuk cabut.

Di lain pihak, bagi Renee Zellweger, Bridget Jones's Baby ini menandai comeback-nya di dunia perfilman setelah enam tahun absen. Film terakhir aktris yang sudah berusia 47 tahun tersebut adalah My Own Love Song yang tayang pada 2010.

Zellweger sendiri mengaku dirinya menghilang bukan karena tidak laku, melainkan karena sengaja ingin istirahat. Bintang yang melejit lewat Jerry Maguire (1996) dan Nurse Betty (2000) itu merasa jenuh karena sudah 25 tahun berkecimpung dalam dunia film. Dia ingin sejenak hidup normal dan melakukan hal lain yang tak ada hubungannya dengan riset pendalaman karakter.

Meski mengaku berat untuk menolak tawaran berakting, mantan tunangan Jim Carrey itu mengaku terpaksa rehat karena dia merasa jadwalnya terlalu padat. Zelly pun akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan lain dan mulai menerapkan pola hidup sehat selama masa istirahat. Alhasil, dia menjadi lebih kurus dan lebih bugar dibandingkan dulu.

Di film Bridget Jones's Baby ini, Zelly memang masih kelihatan agak gemuk. Tapi, itu semua demi tuntutan peran. Agar tampak meyakinkan sebagai sosok yang sedang hamil, alumnus University of Texas itu menaikkan beberapa kilogram bobot tubuhnya, sekaligus memasang implan agar buah dadanya membesar dan perut hamilnya terlihat nyata.

Dibandingkan peran-peran lainnya, peran sebagai Bridget Jones memang paling melekat bagi Zelly. Penampilannya sangat pas dalam membawakan karakter Bridget yang konyol, mandiri, sekaligus rapuh tersebut.

Zelly mengaku sangat mencintai karakter Bridget Jones. Dia bersyukur bisa kembali mendapat peran tersebut. Meski demikian, peraih Piala Oscar sebagai Best Supporting Actress lewat Cold Mountain (2003) itu awalnya tidak menyangka bakal ada film ketiga, karena jaraknya memang terpisah cukup lama dari film keduanya yang tayang pada 2004.

Sharon Maguire, sutradara Bridget Jones's Baby, yang dulu juga membesut film pertamanya, menyatakan dia tak akan bisa membuat Bridget tanpa Renee. Produser Eric Fellner pun mengamini pernyataan sang sutradara. Menurutnya, Zelly adalah komedian wanita terbaik di generasinya. Sulit baginya membayangkan ada aktris lain yang bisa memerankan tokoh Bridget sebaik Zellweger.

Meski banyak dipuji, bukan berarti peran sebagai Bridget merupakan peran yang mudah bagi Zelly. Apalagi, sudah 12 tahun dia tidak berkutat dengan karakter tersebut. Salah satu yang paling berat bagi Zellweger, yang asli Texas, adalah ketika dia harus berbicara dengan aksen British demi memerankan sosok Jones, yang memang dikisahkan berasal dari London, Inggris.

Setelah tayang perdana di Amerika Serikat pada 16 September 2016 yang lalu, Bridget Jones's Baby mendapat rating cukup positif dari beberapa situs review. Para kritikus juga menilai film ketiga ini lebih lucu bila dibandingkan dua film sebelumnya. Humornya tajam dan mengena, serta sangat terkait dengan kondisi saat ini.

Secara komersial, film rilisan Universal Pictures ini sudah meraup pemasukan hingga USD 157 juta dan masih bisa bertambah karena belum semua negara menayangkannya, termasuk Indonesia. Yang pasti, sudah balik modal karena bujetnya "hanya" USD 35 juta.

Jika melihat kesuksesan di atas, tidak menutup peluang franchise Bridget Jones bakal terus berlanjut. Renee Zellweger bahkan pernah menyatakan ada kemungkinan untuk film keempat. Demikian juga dengan Colin Firth dan Patrick Dempsey, yang mengindikasikan film berdurasi 123 menit ini mungkin tidak menjadi yang terakhir.

***

Bridget Jones's Baby

Sutradara: Sharon Maguire
Produser: Tim Bevan, Eric Fellner, Debra Hayward
Penulis Skenario: Helen Fielding, Dan Mazer, Emma Thompson
Berdasarkan: Para karakter ciptaan Helen Fielding
Pemain: Renée Zellweger, Colin Firth, Patrick Dempsey, Jim Broadbent, Gemma Jones, Emma Thompson
Musik: Craig Armstrong
Sinematografi: Andrew Dunn
Penyunting: Melanie Ann Oliver
Produksi: Miramax, StudioCanal, Working Title
Distributor: Universal Pictures
Durasi: 123 menit
Budget: USD 35 juta
Rilis: 5 September 2016 (London), 16 September 2016 (Amerika Serikat), 5 Oktober 2016 (Prancis), 21 Oktober 2016 (Indonesia)

Ratings

IMDb: 7,4
Rotten Tomatoes: 77%
Metacritic: 59
CinemaScore: B+



October 19, 2016

Preview Film: Jack Reacher: Never Go Back (2016)


Nama Lee Child mulai dikenal sebagai penulis kondang sejak menerbitkan buku pertamanya yang berjudul Killing Floor pada tahun 1997. Novel yang mengangkat kisah petualangan mantan polisi militer Amerika Serikat bernama Jack Reacher tersebut memenangkan penghargaan Anthony Award sebagai Best First Novel.

Kesuksesan Killing Floor akhirnya memacu Lee Child untuk melanjutkan kisah Jack Reacher. Tidak tanggung-tanggung, penulis bernama asli Jim Grant tersebut setiap tahun konsisten merilis novel baru. Bahkan, dalam satu tahun bisa sampai dua judul buku! Sejak tahun 1997 hingga saat ini, sudah ada 20 novel Jack Reacher yang sudah diterbitkan. Seri terbarunya, yang ke-21, berjudul Night School, bakal dirilis bulan depan. Tepatnya, pada 8 November 2016.

Upaya untuk mengadaptasi novel-novel karya Lee Child menjadi film sebenarnya sudah mulai dilakukan sejak tahun 1997 oleh PolyGram dan New Line Cinema. Namun, karena tak kunjung terealisasi, hak untuk memfilmkan Jack Reacher kemudian diakuisisi oleh Paramount Pictures yang bekerja sama dengan Cruise/Wagner Productions pada tahun 2005.

Proyek Jack Reacher pun dimulai. Akan tetapi, yang diangkat ke layar lebar bukan novel pertamanya yang berjudul Killing Floor, melainkan One Shot, yang baru terbit pada tahun 2005 dan merupakan novel kesembilan dari Jack Reacher series.

Meski memakan waktu cukup lama, film pertama yang berjudul Jack Reacher akhirnya dirilis pada 21 Desember 2012 dan mendapat rating cukup positif dari berbagai situs review. Kala itu, penampilan karismatik Tom Cruise, yang memerankan karakter sang jagoan utama, mendapat banyak pujian dari para kritikus.

Hanya saja, secara box office, film rilisan Paramount Pictures tersebut sempat tersendat, sebelum akhirnya mentok di angka USD 218 juta. Memang, sudah balik modal karena bujetnya "hanya" USD 60 juta. Namun, untuk ukuran film yang dibintangi Tom Cruise, pemasukan tersebut bisa dibilang rendah.

Proyek lanjutan Jack Reacher pun terancam. Biasanya, Paramount hanya akan tertarik membuat sekuel jika film pertamanya menghasilkan minimal USD 250 juta. Selain itu, mereka juga masih harus meyakinkan Tom Cruise agar bujetnya tidak terlalu meningkat dari seri perdananya.

Meski sempat terombang-ambing, kepastian untuk memproduksi sekuel Jack Reacher akhirnya diumumkan pada 9 Desember 2013 setelah Paramount Pictures mencapai kesepakatan dengan Skydance Productions. Kisahnya diambil dari novel yang saat itu baru terbit, berjudul Never Go Back, yang merupakan buku ke-18 dari Jack Reacher series.

Ber-setting empat tahun setelah petualangannya di film pertama, Jack Reacher (Tom Cruise) diceritakan sedang "pulang kampung" ke markas lamanya, Korps Polisi Militer Amerika Serikat unit ke-110, di Virginia. Namun, ketika tiba di sana, sosok yang jago bertarung itu malah dijerat dengan kasus pembunuhan bocah berusia 16 tahun yang terjadi saat dia masih bertugas dulu.

Selain itu, Reacher juga mendapati mantan atasannya, Major Susan Turner (Cobie Smulders), sedang ditahan karena dituduh menjadi pengkhianat dalam kasus spionase. Yakin bahwa Susan tak bersalah, Jack pun membebaskannya dari penjara.

Dalam pelariannya, sembari diburu oleh The Hunter (Patrick Heusinger), Jack akhirnya mengetahui bahwa dia hanyalah bagian kecil dari sebuah rahasia besar yang menyangkut masa lalunya. Mampukah Reacher mengungkap konspirasi jahat tersebut, sekaligus membersihkan namanya dan Susan dari segala tuduhan?

Berbeda dengan film pertama, di Never Go Back ini tidak ada lagi Rosamund Pike. Helen Rodin, karakter yang diperankan oleh MILF sexy bermata sendu tersebut, memang dikisahkan hanya muncul di novel Jack Reacher yang berjudul One Shot terbitan tahun 2005.

Meski demikian, para penonton pria tidak perlu khawatir. Film ini tidak bakal garing. Posisi Rosamund Pike sebagai pemanis bakal digantikan oleh Cobie Smulders, yang selama ini berperan sebagai Agent Maria Hill di Marvel Cinematic Universe. Selain itu, juga ada Danika Yarosh, cewe abege berambut pirang yang namanya melejit setelah membintangi serial Heroes Reborn (2015).

Satu lagi perbedaan dengan film pertamanya, sekuel Jack Reacher ini tidak lagi dibesut oleh Christopher McQuarrie yang dulu berperan sebagai sutradara sekaligus scriptwriter. Padahal, tahun lalu, penulis naskah Valkyrie (2008) dan Edge of Tomorrow (2014) itu juga cukup sukses saat mengarahkan Tom Cruise di Mission: Impossible - Rogue Nation.

Sebagai pengganti McQuarrie, Paramount Pictures akhirnya menunjuk Edward Zwick sebagai sutradara Jack Reacher: Never Go Back pada 19 Mei 2015. Sebelum ini, sutradara Blood Diamond (2006) tersebut sudah pernah bekerja bareng Tom Cruise saat membesut The Last Samurai (2003).

Zwick pun memuji Cruise sebagai aktor yang selalu melakukan persiapan fisik dan mental dengan sangat matang. Bintang yang melejit lewat film Top Gun (1986) tersebut tak kenal lelah dan selalu fokus saat menjalani syuting.

Hal lain yang membuat Zwick kagum adalah Tom Cruise selalu melakukan sendiri semua adegan berbahaya dalam filmnya. Bahkan, para stuntman sampai merasa bosan karena mereka sering menganggur selama syuting. Sang lawan main, Cobie Smulders, pun akhirnya juga ikut-ikutan melakukan sendiri semua adegan berbahayanya tanpa pemeran pengganti.

Dalam IMAX trailer yang dirilis oleh Paramount Pictures akhir-akhir ini, memang banyak adegan laga yang menghiasi film action thriller tersebut. Tampak sosok Jack sedang membantu Susan Turner yang dikepung oleh sejumlah pria. Selain itu, juga ada adegan kejar-kejaran dengan para polisi serta aksi Reacher dalam menghajar siapa pun yang menghalanginya.

Sejauh ini, sejumlah situs review belum memberikan rating karena film berdurasi 118 menit tersebut baru akan tayang di Amerika Serikat pada hari Jumat (21/10) besok. Meski demikian, secara box office, film berbujet USD 96 juta ini diramal bakal mampu meraup pemasukan minimal USD 20 juta selama opening weekend.

***

Jack Reacher: Never Go Back

Sutradara: Edward Zwick
Produser: Tom Cruise, Don Granger, Christopher McQuarrie
Penulis Skenario: Richard Wenk, Edward Zwick, Marshall Herskovitz
Berdasarkan: Never Go Back by Lee Child
Pemain: Tom Cruise, Cobie Smulders, Aldis Hodge, Patrick Heusinger, Danika Yarosh, Robert Knepper
Musik: Henry Jackman
Sinematografi: Oliver Wood
Penyunting: Billy Webber
Produksi: Skydance Media, TC Productions
Distributor: Paramount Pictures
Durasi: 118 menit
Budget: USD 96 juta
Rilis: 16 Oktober 2016 (New Orleans), 19 Oktober 2016 (Indonesia), 21 Oktober 2016 (Amerika Serikat)



October 15, 2016

Preview Film: The Accountant (2016)


Selama ini, Ben Affleck dikenal sebagai aktor bertalenta yang sukses membintangi berbagai genre film Hollywood. Selain menjadi pemain, sahabat Matt Damon ini juga pernah menjadi produser, penulis skenario, dan sutradara. Bahkan, salah satu karyanya, Argo (2012), berhasil menyabet Piala Oscar kategori Film Terbaik.

Tahun ini, setelah tampil cukup impresif sebagai Bruce Wayne, alias si Manusia Kelelawar, dalam Batman v Superman: Dawn of Justice, Ben Affleck bakal kembali menghiasi layar lebar dalam The Accountant. Film action thriller rilisan Warner Bros. Pictures tersebut tayang secara global pada hari Jumat (14/10) ini.

Sesuai dengan judulnya, The Accountant mengisahkan tentang seorang akuntan jenius bernama Christian Wolff (Ben Affleck) yang sejak kecil lebih akrab dengan matematika dan angka daripada bergaul dengan orang-orang di sekitarnya. Bekerja di sebuah kantor di kota kecil, Wolff ternyata memiliki pekerjaan sampingan membuat laporan keuangan palsu untuk beberapa organisasi kriminal paling berbahaya di dunia.

Setelah aksi ilegalnya dicurigai oleh seorang agen Departemen Keuangan bernama Ray King (J. K. Simmons), Wolff yang juga seorang penembak jitu tersebut mengambil langkah aman dengan menjadi akuntan di sebuah perusahaan robotik canggih. Namun, kedok Wolff akhirnya terbongkar oleh Dana Cummings (Anna Kendrick), seorang akuntan cantik yang menemukan transaksi janggal senilai jutaan dolar di perusahaan tersebut. Nyawa mereka pun akhirnya terancam oleh pihak yang tidak ingin rahasia tersebut terkuak.

Selain ahli menggunakan berbagai macam senjata, karakter Wolff di The Accountant ini juga dikisahkan jago bertarung dengan tangan kosong. Menariknya, ilmu bela diri yang dia peragakan adalah pencak silat yang berasal dari Indonesia!

Gavin O'Connor memang sengaja menggunakan pencak silat dalam film besutannya kali ini. Menurut sutradara Warrior (2011) tersebut, martial art khas Indonesia itu sangat sinematik. Gerakannya cepat, tapi sangat efisien. Cocok untuk karakter Ben Affleck. Ada dugaan, O'Connor pernah menonton The Raid (2011), dan dia terkesima dengan aksi silat yang ditampilkan oleh Iko Uwais dkk.

Saat membesut Warrior, O'Connor memang mampu menampilkan adegan laga yang terlihat nyata dan apik. Meski kurang berhasil secara box office, film tentang pertandingan MMA (mixed martial arts) yang dibintangi oleh Tom Hardy tersebut mendapat review sangat positif dari para kritikus. Warrior pun dianggap sebagai salah satu film sports drama terbaik sepanjang masa.

Sementara itu, lantaran tim produksi kesulitan mencari stuntman yang jago silat, O'Connor kemudian meminta Affleck untuk mempelajari dan berlatih seni bela diri khas Indonesia tersebut. Alhasil, pemeran Batman itu harus menjalani latihan intensif bersama para profesional. Mereka mengajarinya gaya bertarung ala Yayan Ruhian tersebut dalam waktu yang singkat.

Selain Affleck, film berdurasi 128 menit ini dipermanis dengan kehadiran Anna Kendrick. Bintang franchise Twilight (2008) dan Pitch Perfect (2012) tersebut harus beradu akting dengan aktor-aktor kawakan semacam J. K. Simmons, Jon Bernthal, dan John Lithgow.

Proyek The Accountant sebenarnya sempat mati suri. Bill Dubuque, yang sukses menghasilkan skenario The Judge (2014), sejatinya sudah menawarkan naskah film berbujet USD 44 juta ini ke Sony Pictures pada tahun 2011. Mel Gibson digadang-gadang sebagai sutradara dan Will Smith menjadi pemeran utamanya.

Namun, karena tidak ada kejelasan, The Accountant akhirnya diambil alih oleh Warner Bros. Pictures. Ben Affleck yang saat itu sedang berkutat dengan proyek Warner Bros. lainnya, Batman v Superman, ditunjuk sebagai bintangnya. Syuting dimulai pada 19 Januari 2015 di Atlanta, Georgia.

Sayangnya, setelah diputar perdana di TCL Chinese Theatre, Los Angeles, pada hari Senin (10/10) yang lalu, The Accountant mendapat rating tidak begitu positif dari beberapa situs review. Meski demikian, jika dibandingkan film Ben Affleck sebelumnya, Batman v Superman, para kritikus menganggap The Accountant ini masih lebih baik.

***

The Accountant

Sutradara: G avin O'Connor
Produser: Lynette Howell Taylor, Mark Williams
Penulis Skenario: Bill Dubuque
Pemain: Ben Affleck, Anna Kendrick, J. K. Simmons, Jon Bernthal, Jeffrey Tambor, John Lithgow
Musik: Mark Isham
Sinematografi: Seamus MacGarvey
Penyunting: Richard Pearson
Produksi: Electric City Entertainment, Advanced Underwriting Concepts, RatPac Entertainment, Zero Gravity Management
Distributor: Warner Bros. Pictures
Durasi: 128 menit
Budget: USD 44 juta
Rilis: 10 Oktober 2016 (TCL Chinese Theatre), 14 Oktober 2016 (Indonesia & Amerika Serikat)

Ratings

IMDb: 8,0
Rotten Tomatoes: 48%
Metacritic: 50



October 14, 2016

Preview Film: A Monster Calls (2016)


Sosok Patrick Ness mulai diperhitungkan sebagai penulis kisah young-adults jempolan setelah merilis The Knife of Never Letting Go pada tahun 2008. Novel tersebut adalah seri pertama dari trilogi Chaos Walking, yang kemudian disusul dengan terbitnya The Ask and the Answer (2009) dan Monsters of Men (2010).

Meski trilogi tersebut terbilang sukses, nama Patrick Ness baru benar-benar masuk sebagai salah satu penulis paling berpengaruh dalam industri hiburan setelah menerbitkan A Monster Calls pada tahun 2011. Novel yang ilustrasinya digarap oleh Jim Kay tersebut berhasil meraih penghargaan Carnegie Medal dan Greenaway Medal dari British Librarians (CILIP) sebagai buku cerita anak-anak terbaik tahun 2012.

Ide cerita A Monster Calls sebenarnya berasal dari Siobhan Dowd. Meski sedang menderita sakit keras, Dowd tetap dikontrak oleh Walker Books untuk menulis kisah tersebut. Sayangnya, belum sempat mengerjakan novelnya, Dowd keburu meninggal.

Walker Books kemudian menghubungi Patrick Ness untuk menulis kisah peninggalan almarhumah Dowd tersebut pada bulan Agustus 2007. Ness menyetujuinya, tapi dengan syarat dia diberi kebebasan dalam menulis ceritanya. A Monster Calls pun akhirnya terbit pada 5 Mei 2011 dan meraih berbagai penghargaan internasional.

Kesuksesan A Monster Calls dengan berbagai review positifnya itu kemudian membuat Focus Features tertarik. Mereka membeli hak untuk memfilmkannya pada 5 Maret 2014. Patrick Ness lalu ditunjuk menjadi penulis skenarionya dan Juan Antonio Bayona sebagai sutradaranya.

Sama dengan novelnya, versi film A Monster Calls yang berdurasi 108 menit tersebut mengisahkan tentang kehidupan seorang bocah lelaki bernama Conor O'Malley (Lewis MacDougall). Di usianya yang masih 12 tahun, dia sudah harus menghadapi kenyataan pahit. Ibunya, seorang single mother, yang diperankan oleh Felicity Jones, menderita sakit keras dan umurnya diperkirakan tidak akan lama.

Akibat ibunya yang sakit-sakitan itu, Conor harus belajar hidup mandiri. Ayahnya, diperankan oleh Toby Kebbell, hidup terpisah jauh dari mereka. Neneknya, diperankan oleh Sigourney Weaver, tidak bisa diandalkan karena terlalu kaku dan kejam.

Selain hidup tanpa bimbingan ibunya, Conor juga sering menjadi korban bullying di sekolahnya. Teman-temannya kerap kali menghinanya. Tingkat kepercayaan diri Conor pun berada pada titik nadir. Bocah kecil tersebut akhirnya menenggelamkan diri dalam dunia khayalan yang dipenuhi dongeng dan fantasi untuk mengusir rasa sepi.

Sampai pada suatu malam, kehidupan Conor berubah drastis. Apa yang selama ini hanya bisa dia khayalkan, ternyata menjadi kenyataan. Seorang monster berbentuk pohon (suaranya diisi oleh Liam Neeson) tiba-tiba mendatanginya dan mendongenginya berbagai macam cerita.

Kehidupan Conor yang semula suram akhirnya mendapat titik terang. Secercah harapan pun tumbuh. Conor mulai mencari cara untuk memyembuhkan ibunya. Dia meminta bantuan kepada si monster pohon untuk memulihkan ibunya dari penyakit sehingga mereka bisa hidup bahagia bersama.

Menurut Felicity Jones, yang tahun ini juga bermain di film Collide, Inferno, dan Rogue One: A Star Wars Story, kisah A Monster Calls memang sangat spesial. Dia mengaku tidak pernah membaca cerita fantasi yang menyentuh seperti karangan Patrick Ness ini.

Begitu juga dengan Sigourney Weaver. Aktris senior yang terkenal berkat franchise Alien tersebut mengaku tersentuh dengan A Monster Calls. Menurutnya, kisah film berbujet USD 43 juta tersebut sangat amazing.

Sementara itu, Lewis MacDougall, yang berperan sebagai Conor, sebelum ini sudah pernah tampil dalam film Pan (2015). A Monster Calls ini adalah film keduanya. Bocah asal Skotlandia yang baru berusia 14 tahun tersebut mengaku bagian terbaik dari film ini adalah bisa bekerja sama dengan para aktor senior terkenal, terutama saat syuting di Barcelona.

Meski ceritanya ber-setting di Inggris, karena disutradarai oleh J. A. Bayona yang berasal dari Spanyol, proses pengambilan gambar A Monster Calls juga dilakukan di Negeri Matador tersebut. Bagi Bayona, film ini bisa dibilang sebagai pemanasan sebelum dia menggarap sekuel Jurassic World tahun depan.

Di lain pihak, meski selama ini lebih dikenal sebagai aktor laga senior, Liam Neeson sebenarnya sudah berpengalaman dalam dunia pengisian suara. Sebelum terlibat proyek A Monster Calls, bintang franchise Taken (2008) tersebut sudah pernah menjadi dubber dalam The Lego Movie (2014) dan The Nut Job (2014). Namun, yang paling ikonik adalah saat dia mengisi suara singa Aslan dalam franchise The Chronicles of Narnia (2005).

Satu lagi yang menarik. Selain Liam Neeson sebagai pengisi suaranya, Tom Holland juga menjadi stand-in bagi si monster pohon yang digarap dengan efek komputer tersebut. Sebelum ini, pemeran utama Spider-Man: Homecoming (2017) itu sudah pernah bekerja sama dengan sutradara J. A. Bayona dalam The Impossible (2012). Dia berperan sebagai anak Naomi Watts dan Ewan McGregor dalam kisah nyata tsunami tahun 2004 yang menyapu Aceh dan Thailand.

Setelah diputar secara terbatas di Toronto International Film Festival pada 10 September 2016 yang lalu, A Monster Calls mendapat review positif dari berbagai kritikus dan situs review. Bahkan, film yang baru akan dirilis di Amerika Serikat pada bulan Desember nanti itu dijagokan untuk masuk nominasi film terbaik Piala Oscar awal tahun depan. Para filmania di Indonesia cukup beruntung karena sudah bisa menyaksikan kisah yang menguras air mata tersebut bulan ini.

***

A Monster Calls

Sutradara: J. A. Bayona
Produser: Belén Atienza, Mitch Horwits, Jonathan King
Penulis Skenario: Patrick Ness
Berdasarkan: A Monster Calls by Patrick Ness
Pemain: Sigourney Weaver, Felicity Jones, Toby Kebbell, Lewis MacDougall, Liam Neeson
Musik: Fernando Velázquez
Sinematografi: Óscar Faura
Penyunting: Bernat Vilaplana, Jaume Martí
Produksi: Apaches Entertainment, Telecinco Cinema, Peliculas La Trini, Participant Media, River Road Entertainment
Distributor: Focus Features
Durasi: 108 menit
Budget: USD 43 juta
Rilis: 10 September 2016 (TIFF), 7 Oktober 2016 (Spanyol), 13 Oktober 2016 (Indonesia), 23 Desember 2016 (Amerika Serikat), 6 Januari 2017 (Inggris)

Ratings

IMDb: 7,9
Rotten Tomatoes: 81%
Metacritic: 76



October 12, 2016

Preview Film: Inferno (2016)


The Da Vinci Code telah membuat Dan Brown menjadi salah satu pengarang terlaris dan terkaya di dunia. Berkat novel terbitan tahun 2003 yang sudah dicetak dan dialihbahasakan ke 40 negara tersebut, namanya bisa bersanding dengan E. L. James, Stephenie Meyer, dan J. K. Rowling.

Dalam 16 tahun terakhir, Dan Brown memang berhasil mendominasi industri penerbitan buku internasional. Novelis berusia 52 tahun tersebut mampu menciptakan dongeng baru dan menginterpretasi sejarah dengan kode-kodenya yang jenius. Sejak tahun 2000, novel-novelnya telah terjual hingga 200 juta kopi di seluruh dunia!

Kesuksesan itulah yang akhirnya membuat Sony Pictures, lewat anak perusahaannya, Columbia Pictures, dan Imagine Entertainment, milik sutradara Ron Howard, berani mengangkat The Da Vinci Code ke layar lebar pada tahun 2006. Mereka membeli hak untuk memfilmkan novel fenomenal tersebut dari Dan Brown seharga USD 6 juta.

Meski kala itu mendapat review negatif dari para kritikus, The Da Vinci Code ternyata cukup sukses secara box office. Dengan modal "hanya" USD 125 juta, Sony Pictures mampu meraup pemasukan hingga USD 758 juta secara global.

Film keduanya, Angels & Demons (2009), yang sebenarnya merupakan prekuel dari The Da Vinci Code, kembali mendapat review yang kurang positif dari para kritikus. Namun, film yang diadaptasi dari novel berjudul sama terbitan tahun 2000 itu lagi-lagi mampu meraup pemasukan hingga USD 485 juta secara global. Masih di atas bujetnya yang "hanya" USD 150 juta.

Tahun ini, Columbia Pictures dan Ron Howard kembali berkolaborasi dengan mengangkat karya terbaru Dan Brown yang berjudul Inferno ke layar lebar. Novel terbitan tahun 2013 itu sebenarnya adalah novel keempat dalam seri petualangan Robert Langdon.

Novel ketiganya, yang berjudul The Lost Symbol (2009), entah kenapa, dilompati dan tidak difilmkan. Ada yang bilang, karena kisahnya menguak tentang komunitas rahasia Freemasonry, yang dulu konon berkaitan langsung dengan pembentukan negara Amerika Serikat.

Namun, ada juga kritikus yang berpendapat bahwa kisah The Lost Symbol, yang ber-setting di Washington, D.C., terlalu mirip dengan film rilisan Disney, yaitu National Treasure (2004) yang dibintangi Nicolas Cage. Oleh karena itu, Sony Pictures Entertainment kemudian mengambil keputusan untuk langsung memfilmkan Inferno daripada novel ketiganya.

Seperti dua film sebelumnya, Ron Howard kembali ditunjuk sebagai sutradara Inferno pada 16 Juli 2013. Filmmaker berusia 62 tahun itu pernah meraih Piala Oscar kategori Best Director lewat A Beautiful Mind (2001) dan sudah berpengalaman menelurkan film dalam berbagai genre. Antara lain Grand Theft Auto (1977), Far and Away (1992), Apollo 13 (1995), Ransom (1996), Cinderella Man (2005), Frost/Nixon (2008), dan kisah nyata balap Formula 1, Rush (2013).

Sebagai penulis naskah, Ron Howard menggandeng David Koepp untuk mengadaptasi novel karangan Dan Brown yang sudah terjual 30 juta kopi tersebut. Sebelum ini, Koepp sudah familiar dengan kisah Robert Langdon karena dia jugalah yang menggarap skenario Angels & Demons bersama Akiva Goldsman.

Kisah Inferno sendiri memang masih berkutat di sekitar Robert Langdon. Seperti biasa, simbolog jenius dengan ingatan fotografik yang diperankan oleh Tom Hanks tersebut kembali ditemani oleh seorang wanita cantik. Kali ini, tepatnya, adalah seorang dokter muda bernama Sienna Brooks (Felicity Jones).

Meski dikisahkan masih betah menjomblo di usia hampir setengah abad, karakter Robert Langdon sendiri bukan tergolong jones, alias jomblo ngenes. Itu karena professor simbologi yang mengajar di Harvard University tersebut selalu didampingi oleh seorang cewe caem setiap berpetualang. Sebut saja Vittoria Vetra (Angels & Demons), Sophie Neveu (The Da Vinci Code), dan Katherine Solomon (The Lost Symbol).

Cerita Inferno dibuka dengan terbangunnya Robert Langdon di sebuah rumah sakit di Florence, Italia, dalam kondisi lost memory, alias setengah amnesia. Karakter yang merupakan alter-ego dari sang pengarang, Dan Brown, tersebut tak bisa mengingat kejadian yang menimpa dia beberapa hari sebelumnya.

Sialnya, dalam kondisi setengah sadar tersebut, Langdon diburu oleh seorang wanita misterius yang mengancam nyawanya. Selain itu, juga ada pasukan dengan kostum serba hitam yang mengejarnya. Untungnya, ada dokter manis, Sienna Brooks, yang kemudian membantu Langdon untuk melarikan diri.

Dalam pelariannya, Langdon perlahan sadar bahwa dia mendapat titipan dari seorang tante-tante setengah baya yang selalu hadir dalam mimpinya. Titipan tersebut berupa silinder kecil bertanda biohazard yang ternyata berisi kode rahasia tentang senjata biologis ciptaan Bertrand Zobrist (Ben Foster), seorang ilmuwan transhumanis yang terobsesi untuk mengatasi masalah overpopulation.

Zobrist, yang juga seorang miliarder tersebut, menciptakan virus pemusnah massal dengan tujuan mengurangi populasi manusia yang sudah berlebihan di muka bumi. Ide gilanya itu terinspirasi dari gambaran neraka dalam puisi terkenal abad ke-14, Inferno, karya sastrawan kondang asal Italia, Dante Alighieri. Dalam menjalankan misinya, Zobrist dibantu oleh organisasi rahasia, The Consortium, yang dipimpin oleh The Provost (Irrfan Khan).

Masalah menjadi pelik ketika Zobrist tewas bunuh diri dan senjata pemusnah massal tersebut tinggal menunggu waktu untuk diluncurkan. Dengan dibantu oleh Sienna, Langdon pun diburu waktu untuk memecahkan kode-kode rahasia yang tersembunyi dalam karya Dante dan mencegah supaya virus mematikan ciptaan si megalomaniak Zobrist tidak tersebar ke seluruh dunia.

Selama ini, kisah petualangan Robert Langdon memang selalu berkaitan dengan komunitas rahasia. Antara lain, Illuminati di Angels & Demons, Priory of Sion dan Opus Dei di The Da Vinci Code, serta Freemasonry di The Lost Symbol.

Nah, The Consortium di Inferno ini adalah organisasi rahasia terbaru yang dimunculkan oleh Dan Brown. Seperti halnya Illuminati, Priory of Sion, Opus Dei, dan Freemasonry, pengarang novel Digital Fortress (1998) itu juga mengklaim bahwa komunitas semacam The Consortium itu memang ada saat ini!

Sementara itu, sutradara Ron Howard mengaku sengaja langsung meloncat ke Inferno, bukan The Lost Symbol, karena ingin menghadirkan kisah Robert Langdon yang berbeda dan menarik. Dia merasa, novel terakhir Dan Brown tersebut bakal lebih mengena jika diangkat ke layar lebar.

Berbeda dengan dua film sebelumnya, Inferno tidak hanya mengangkat unsur religi dan sejarah yang kental. Namun, juga menghadirkan isu global yang melanda masyarakat saat ini. Yaitu, tentang populasi manusia yang semakin tak terkendali.

Di lain pihak, Tom Hanks, yang untuk kali ketiga memerankan Robert Langdon, mengaku sangat menyukai karakter sang ahli simbol tersebut. Menurutnya, Langdon layak disebut sebagai pahlawan karena kerap menjadi penyelamat. Padahal, dia tidak mempunyai kekuatan layaknya superhero, hanya mengandalkan intelektualitasnya saja.

Selain Tom Hanks, film Inferno juga diperkuat oleh beberapa pemeran pendukung yang sudah ternama, seperti Felicity Jones, Omar Sy, dan Ben Foster. Namun, yang paling menarik perhatian adalah Irrfan Khan yang berperan sebagai Harry Sims, alias The Provost, pemimpin The Consortium.

Meski berasal dari India, Irrfan Khan sudah berpengalaman dalam membintangi film-film Hollywood. Aktor 49 tahun yang tinggal di Mumbai itu melejit sejak menjadi pemeran pembantu di Film Terbaik Piala Oscar, Slumdog Millionaire (2008). Karirnya kemudian terus menanjak setelah dia terlibat di The Amazing Spider-Man (2012), Life of Pi (2012), Jurassic World (2015), dan terakhir mengisi suara Baloo di The Jungle Book (2016) edisi khusus berbahasa Hindi.

Adapun, karena banyak berkutat di Italia, syuting film Inferno mayoritas dilakukan di Negeri Pizza tersebut. Tepatnya, di Venice dan Florence, yang dimulai pada 27 April 2015. Jika menonton trailer-nya, berbagai landmark klasik dan terkenal dari dua kota tersebut terlihat menghiasi film berdurasi 121 menit ini. Proses pengambilan gambar kemudian berakhir di Budapest, Hungaria, pada 21 Juli 2015.

Seperti saat syuting, pemutaran perdana Inferno juga dilangsungkan di Florence, Italia. Sayangnya, setelah tayang pertama kali pada 8 Oktober 2016 yang lalu, sejumlah situs review dan kritikus memberi rating yang kurang positif untuk film ketiga Robert Langdon ini.

Meski demikian, seperti dua film pendahulunya, Inferno diramal bakal kembali menembus box office. Sebanyak 30 juta pembaca novel karangan Dan Brown tersebut tetap menjadi pangsa pasar yang gurih bagi Sony Pictures untuk meraup pemasukan dari seluruh dunia.

Selain itu, kisah petualangan Robert Langdon, tampaknya, juga tidak akan berakhir di Inferno. Dan Brown, kabarnya, sudah siap merilis novel terbaru yang berjudul Origin pada 26 September 2017. Jika kembali menjadi best-seller, dan sepertinya demikian, Sony Pictures tidak akan segan-segan untuk memfilmkannya lagi.

***

Inferno

Sutradara: Ron Howard
Produser: Brian Gazer, Ron Howard
Penulis Skenario: David Koepp
Berdasarkan: Inferno by Dan Brown
Pemain: Tom Hanks, Felicity Jones, Omar Sy, Ben Foster, Sidse Babett Knudsen, Irrfan Khan
Musik: Hans Zimmer
Sinematografi: Salvatore Totino
Penyunting: Dan Hanley, Tom Elkins
Produksi: Imagine Entertainment
Distributor: Columbia Pictures
Durasi: 121 menit
Rilis: 8 Oktober 2016 (Florence), 12 Oktober 2016 (Indonesia), 28 Oktober 2016 (Amerika Serikat)

Ratings

IMDb: 7,7
Rotten Tomatoes: 33%
Metacritic: 38


October 08, 2016

Preview Film: Blair Witch (2016)


Pada tahun 1999, Amerika Serikat sempat dihebohkan dengan kabar ditemukannya video rekaman oleh polisi yang mengungkap nasib tiga mahasiswa yang hilang saat membuat film dokumenter di sebuah hutan, di Maryland, pada bulan Oktober tahun 1994. Video itu kemudian ditayangkan di bioskop sebagai sebuah film berjudul The Blair Witch Project, yang ternyata mendapat sambutan luar biasa dari para penonton.

Di kemudian hari, baru terungkap bahwa kisah dalam video rekaman tersebut adalah fiksi, alias rekayasa. Namun, para penonton sudah terlanjur menyaksikannya di bioskop. Bahkan, tak sedikit yang percaya bahwa kejadian tersebut memang kejadian nyata karena filmnya terlihat seperti dokumenter asli!

Kala itu, promo The Blair Witch Project disebarkan lewat internet dalam bentuk laporan polisi palsu mengenai hilangnya tiga orang mahasiswa di dalam hutan. Bahkan, saat diputar di Sundance Film Festival, tim produksi membagikan selebaran tentang hilangnya para pemeran utama. Situs film berdurasi 81 menit tersebut bahkan dibanjiri 80 juta pengunjung berkat teknik marketing yang kemudian menjadi viral dan menyebar ke seluruh dunia.

The Blair Witch Project (1999) akhirnya tercatat sebagai salah satu film indie tersukses sepanjang masa. Dengan modal hanya USD 60 ribu, film rilisan Artisan Entertainment tersebut mampu meraup pemasukan USD 248 juta secara global!

Kesuksesan itulah yang tampaknya mendorong Lionsgate untuk merilis sekuelnya dengan judul Blair Witch. Kali ini, tidak ada lagi trik promosi yang menipu para penonton seperti 17 tahun yang lalu. Meski sempat dirahasiakan, film yang semula berjudul The Woods itu akhirnya secara resmi diungkap sebagai lanjutan dari The Blair Witch Project pada ajang Comic-Con 2016 di San Diego pada bulan Juli yang lalu.

Kisahnya pun mirip, tentang sekelompok mahasiswa yang memasuki hutan angker, Black Hills Forest, di Maryland. Dengan dipandu oleh penduduk setempat, para mahasiswa tersebut ingin mengungkap legenda penyihir misterius (blair witch) yang diduga berhubungan dengan hilangnya salah satu kakak mereka bertahun-tahun yang lalu. Karakter utama dalam film berdurasi 89 menit ini, James Donahue (James Allen McCune), memang dikisahkan sebagai adik dari Heather Donahue, mahasiswi yang hilang dalam film The Blair Witch Project (1999).

Awalnya, petualangan mereka di dalam hutan berjalan lancar. Namun, saat malam tiba, semuanya berubah. Teror demi teror mulai bermunculan. Suasana gelap membuat keadaan semakin mencekam. Cerita yang mereka kira hanya legenda itu ternyata memang benar adanya, dan siap mengancam nyawa para bocah ababil itu satu-persatu!

Seperti halnya film pendahulunya, Blair Witch masih menggunakan teknik found footage (rekaman temuan), yaitu apa yang kita tonton memang seolah-olah direkam langsung oleh orang-orang di tempat kejadian, tanpa naskah, dan tidak diedit secara profesional. The Blair Witch Project rilisan tahun 1999 memang dikenal sebagai film found footage pertama yang meledak di pasaran.

Meski bukan film pertama yang menggunakan konsep found footage, The Blair Witch Project dianggap sebagai peletak dasar bagi film-film dengan konsep serupa. Para pengamat dan kritikus pun mengakui bahwa film besutan sutradara Daniel Myrick dan Eduardo Sánchez itu merupakan salah satu film horror/thriller terbaik sepanjang masa.

Berkat The Blair Witch Project, format dokumenter palsu alias pseudo documentary kemudian banyak diadopsi oleh film-film thriller dan horror lainnya, seperti Paranormal Activity (2007) dan Cloverfield (2008), yang juga sukses di pasaran. Paranormal Activity bahkan sampai dibuat menjadi enam seri. Yang terakhir berjudul Paranormal Activity: The Ghost Dimension (2015).

Setelah menjadi fenomena, The Blair Witch Project sebenarnya sempat dibuat prekuelnya dengan judul Book of Shadows: Blair Witch 2. Namun, film rilisan tahun 2000 yang tidak memakai teknik found footage tersebut tidak sesukses pendahulunya. Bahkan, banyak mendapat kritik negatif dari para penonton.

Kegagalan Book of Shadows tersebut tampaknya membuat Adam Wingard kembali menerapkan found footage dan mengulang formula yang dulu sukses digunakan oleh duo Daniel Myrick dan Eduardo Sanchez. Selama ini, Wingard dikenal sebagai sutradara muda yang kerap menghasilkan film-film horror dan thriller semacam You're Next (2011), V/H/S (2012), The ABCs of Death (2012), dan The Guest (2014).

Sayangnya, setelah dirilis di Amerika Serikat pada 16 September 2016 yang lalu, upaya Wingard untuk menyamai kesuksesan film yang pertama tampaknya kurang berhasil. Meski jauh lebih baik daripada Book of Shadows, Blair Witch mendapat review negatif dari para kritikus. Memang, masih menyeramkan. Tapi, unsur kejutannya dianggap kurang dan terlalu banyak mengulang The Blair Witch Project.

***

Blair Witch

Sutradara: Adam Wingard
Produser: Keith Calder, Roy Lee, Steven Schneider, Jessica Wu
Penulis Skenario: Simon Barrett
Pemain: James Allen McCune, Callie Hernandez, Brandon Scott, Valorie Curry, Corbin Reid, Wes Robinson
Musik: Adam Wingard
Sinematografi: Robby Baumgartner
Penyunting: Louis Cioffi
Produksi: Room 101, Snoot Entertainment, Vertigo Entertainment
Distributor: Lionsgate
Budget: USD 5 juta
Durasi: 89 menit
Rilis: 11 September 2016 (TIFF), 16 September 2016 (Amerika Serikat), 7 Oktober 2016 (Indonesia)

Ratings

IMDb: 5,5
Rotten Tomatoes: 36%
Metacritic: 46
CinemaScore: D+


October 06, 2016

Preview Film: Snowden (2016)


Pada bulan Juni 2013, Edward Snowden membuat heboh dunia. Pria berkacamata minus yang bekerja sebagai ahli komputer dan kontraktor di Central Intelligence Agency (CIA) tersebut membocorkan data-data rahasia dari National Security Agency (NSA) ke media massa besar, semacam The Guardian dan The Washington Post.

Aksi Snowden tersebut langsung memantik perhatian masyarakat luas karena informasi yang dia bocorkan termasuk kontroversial. Di antaranya, tentang kegiatan NSA yang ternyata secara ilegal memata-matai aktivitas dan komunikasi digital pemerintah asing, kelompok teroris, hingga warga sipil Amerika Serikat (AS) di internet (cyber-snooping).

Meski banyak yang menyebutnya sebagai pahlawan, atas perbuatan nekatnya tersebut, Snowden juga dianggap sebagai pengkhianat dan menjadi buron pemerintah AS. Ulah cowok kelahiran 1983 tersebut membuat hubungan AS dengan negara-negara Eropa semacam Jerman dan Prancis memburuk. Snowden pun langsung mencari suaka. Dan, bisa ditebak, akhirnya adalah Rusia yang bersedia memberinya perlindungan.

Kisah petualangan Snowden itulah yang kini diangkat ke layar lebar oleh sutradara kondang, Oliver Stone. Kakek-kakek 70 tahun yang sekarang beragama Buddha tersebut sudah pernah meraih Piala Oscar dua kali sebagai sutradara terbaik lewat Platoon (1986) dan Born on the Fourth of July (1989).

Selama ini, Stone memang dikenal sebagai sutradara yang sering menghasilkan film-film bertema isu politik yang menjadi kontroversi di AS. Sebut saja JFK (1991), Natural Born Killers (1994), Nixon (1995), dan W. (2008). Snowden yang tayang bulan ini adalah proyeknya yang terbaru.

Selain sebagai sutradara, di film rilisan Open Road Films ini, Stone juga bertindak sebagai penulis skenario bersama Kieran Fitzgerald. Mereka mengadaptasi naskahnya dari dokumen The Snowden Files karya jurnalis The Guardian, Luke Harding, dan buku fiksi Time of the Octopus karangan pengacara Snowden, Anatoly Kucherena.

Sepak terjang Oliver Stone sebagai penulis memang tak perlu diragukan. Bahkan, dia meraih Piala Oscar pertamanya saat menulis naskah adaptasi Midnight Express (1978). Selain itu, Stone juga sukses saat menggarap skenario salah satu film gangster terbaik sepanjang masa, Scarface (1983), yang dibintangi Al Pacino.

Sementara itu, sebagai bintang utama, film berdurasi 134 menit ini memasang Joseph Gordon-Levitt (JGL) sebagai Edward Snowden. Meski sudah berpengalaman membintangi berbagai genre film mulai dari (500) Days of Summer (2009), Looper (2012), Don Jon (2013), hingga The Walk (2015), tetap tidak mudah bagi aktor berusia 35 tahun tersebut untuk memerankan sosok sekontroversial Snowden.

JGL pun melakukan segala upaya untuk memperdalam karakter. Salah satunya adalah dengan melakukan pertemuan rahasia dengan Edward Snowden yang asli beberapa bulan sebelum proses syuting dimulai. Mantan bintang cilik itu sampai rela terbang ke Moscow, Rusia, dan bertemu Snowden di sebuah kantor rahasia.

Menurut JGL, salah satu yang paling menantang adalah menyesuaikan aktingnya dengan karakter asli Snowden, yang ternyata memiliki manner yang sangat baik, alias halus budi pekertinya. Berbeda dengan JGL yang cenderung bebas dan urakan, meski mereka berdua sebenarnya sama-sama berasal dari California.

Jika menilik daftar cast-nya, sebetulnya bukan hanya JGL aktor bernama besar di Snowden. Beberapa bintang terkenal lainnya ikut menghiasi film yang didasarkan pada kisah nyata ini. Salah satunya adalah Shailene Woodley. Aktris utama franchise Divergent yang bermata sendu itu memerankan Lindsay Mills, pacar Snowden.

Selain itu, juga ada Scott Eastwood yang berperan sebagai agen NSA, Trevor James, dan Zachary "Mr. Spock" Quinto yang memerankan Glenn Greenwald, jurnalis yang dipilih oleh Snowden untuk membocorkan informasi rahasianya. Kedua bintang muda tersebut berkolaborasi dengan aktris senior, Melissa Leo, yang menjadi seorang pembuat film dokumenter bernama Laura Poitras, serta aktor pemenang Piala Oscar, Nicolas Cage, sebagai Hank Forrester, seorang pensiunan intel AS.

Proses syuting Snowden sendiri dimulai sejak 16 Februari 2015 di Muenchen, Jerman. Setelah itu, mereka berkeliling dunia, mulai dari Washington, D.C., Hawaii, hingga Hong Kong. Oliver Stone memang sengaja lebih banyak melakukan syuting di luar AS untuk menghindari "gangguan" dari NSA yang merasa "kebakaran jenggot" dengan dirilisnya film ini.

Setelah tayang perdana di Toronto International Film Festival pada 9 September 2016 yang lalu, Snowden mendapat review yang lumayan dari beberapa situs dan kritikus. Mereka menilai karya terbaru Oliver Stone ini cukup menegangkan dan penampilan JGL dianggap cukup solid. Sayangnya, secara box office, film berbujet USD 40 juta ini termasuk melempem karena baru meraup pemasukan USD 20 juta sejak dirilis di AS setengah bulan yang lalu.

***

Snowden

Sutradara: Oliver Stone
Produser: Moritz Borman, Eric Kopeloff, Philip Schulz-Deyle, Fernando Sulichin
Penulis Skenario: Kieran Fitzgerald, Oliver Stone
Berdasarkan: The Snowden Files by Luke Harding, Time of the Octopus
by Anatoly Kucherena
Pemain: Joseph Gordon-Levitt, Shailene Woodley, Melissa Leo, Zachary Quinto, Tom Wilkinson, Scott Eastwood, Logan Marshall-Green, Timothy Olyphant, Ben Schnetzer, LaKeith Lee Stanfield, Rhys Ifans, Nicolas Cage
Musik: Craig Armstrong
Sinematografi: Anthony Dod Mantle
Penyunting: Alex Marquez, Lee Percy
Produksi: Endgame Entertainment, Wild Bunch, KrautPack Entertainment, Onda Entertainment, Vendian Entertainment
Distributor: Open Road Films
Budget: USD 40 juta
Durasi: 134 menit
Rilis: 6 September 2016 (TIFF), 16 September 2016 (Amerika Serikat), 22 September 2016 (Jerman)

Ratings

IMDb: 7,4
Rotten Tomatoes: 63%
Metacritic: 58
CinemaScore: A


Preview Film: Ben-Hur (2016)


Saat dirilis pada tahun 1959, Ben-Hur menuai kesuksesan luar biasa. Sebanyak 11 Piala Oscar berhasil disabet. Menjadi sebuah rekor yang hanya bisa disamai berpuluh-puluh tahun kemudian oleh Titanic (1997) dan The Lord of the Rings: The Return of the King (2003). Secara box office, jika memperhitungkan inflasi, film rilisan Metro-Goldwyn-Mayer (MGM) tersebut juga menjadi film terlaris ke-14 sepanjang masa.

Kesuksesan itulah yang tampaknya ingin diulangi oleh MGM, yang kali ini bekerja sama dengan Paramount Pictures, dengan merilis versi remake Ben-Hur pada tahun 2016. Kisahnya pun masih sama, diadaptasi dari novel karya Lew Wallace terbitan 1880 yang berjudul Ben-Hur: A Tale of the Christ.

Ben-Hur versi terbaru ini sebenarnya merupakan film remake kelima yang pernah dibuat. Sebelum menjadi fenomena global pada tahun 1959, cerita fiksi yang didasarkan pada alkitab tersebut sudah pernah dibuat versi film bisunya. Dua kali. Pada tahun 1907 dan 1925. Selain itu, juga ada versi animasinya yang dirilis pada tahun 2003 yang lalu.

Dibandingkan versi tahun 1959, Ben-Hur versi terkini yang dibesut oleh sutradara Timur Bekmambetov memiliki sedikit perbedaan. Kisahnya lebih mendekati novelnya. Durasinya pun hanya dua jam, tidak seperti versi jadul yang mencapai 3,5 jam!

Judah Ben-Hur, diperankan oleh Jack Huston, awalnya dikisahkan sebagai seorang pangeran Yahudi. Dia hidup di jaman Yesus Kristus, di Yerusalem, yang kala itu dijajah Romawi. Namun, ia kemudian dikhianati oleh saudara angkatnya, Messala (Toby Kebbell).

Ben-Hur pun kehilangan segalanya. Dia dijadikan budak dan harus menghabiskan seumur hidupnya di sebuah kapal Romawi. Beruntung, setelah lima tahun, dia bisa membebaskan diri setelah kapal budak tersebut mendapat serangan di tengah lautan. Kekasih Esther (Nazanin Boniadi) itu kemudian kembali ke Yerusalem untuk membalas dendam kepada Messala, yang kini sudah menjadi perwira tentara Romawi.

Dengan bantuan Sheik Ilderim (Morgan Freeman) yang kaya raya, Ben-Hun kemudian dilatih untuk menjadi seorang pebalap kereta kuda (charioteer). Setelah dirasa siap, Ilderim lalu meminta Ben-Hur untuk menantang Messala dalam sebuah balapan. Jika menang, dia tidak hanya mengembalikan kebanggaan dirinya, tapi juga harga diri seluruh bangsa Yahudi karena Messala adalah pebalap andalan Romawi.

Menurut sang pemeran utama, Jack Huston, yang dulu pernah bermain di serial Boardwalk Empire (2010-2013), Ben-Hur memang mengisahkan sejarah 2.000 tahun yang lalu. Namun, ceritanya masih relevan dengan situasi dan kondisi saat ini. Iklim dunia tidak banyak berubah. Masih ada perbedaan tentang agama dan orang-orang yang berselisih satu sama lain.

Huston juga mengakui bahwa awalnya dia kaget mendengar kabar film kolosal Ben-Hur yang fenomenal itu bakal di-remake. Semula, Tom "Loki" Hiddlestone yang diincar sebagai pemeran utama. Namun, akhirnya, Huston yang lebih dipilih daripada mantannya Taylor Swift tersebut.

Sutradara Timur Bekmambetov, yang sudah pernah menghasilkan Abraham Lincoln: Vampire Hunter (2012), yakin Huston sangat cocok untuk menjadi Ben-Hur. Menurutnya, Jack adalah seorang penunggang kuda yang berpengalaman. Seakan-akan ia memang dilahirkan di jaman Romawi tersebut.

Huston sendiri menghabiskan waktu 2,5 bulan untuk berlatih balapan kereta kuda. Adegan yang disyuting di Italia itu awalnya terasa menyeramkan. Seperti balapan Formula 1. Pemeran utama film televisi Spartacus (2004) itu mengaku sempat takut setengah mati pada hari pertama. Namun, lambat laun kekhawatiran itu hilang dan dia menjadi terbiasa.

Produser Mark Burnett memang menyatakan film Ben-Hur tidak menggunakan special effect untuk balapan. Syutingnya melibatkan 32 ekor kuda dan delapan kereta perang yang berputar-putar di arena dengan kecepatan tinggi, kadang-kadang hanya dengan satu roda, dan benar-benar dikendarai sendiri oleh para aktornya. Efek CGI hanya digunakan pada adegan-adegan tabrakan untuk menjaga keselamatan jiwa para pemainnya.

Jika menonton trailer-nya yang dirilis oleh Paramount Pictures, adegan laga yang disajikan memang cukup seru. Sekilas, seperti film pemenang Piala Oscar, Gladiator (2000), yang dibintangi oleh Russell Crowe. Banyak scene pertempuran di dalam arena maupun peperangan antara para budak dengan prajurit-prajurit Romawi. Untuk adegan balapnya, bahkan, ada yang menyebut Ben-Hur mirip dengan franchise Fast and Furious. Tapi, kali ini yang kebut-kebutan bukan mobil, melainkan kereta kuda.

Selain Jack Huston, film berdurasi 123 menit ini juga dibintangi oleh berbagai aktor multiras. Tidak seperti Gods of Egypt (2016) dan Exodus: Gods & Kings (2014), dua film kolosal ber-setting Mesir Kuno yang dianggap terlalu banyak menampilkan pemain kulit putih (white washing).

Yang paling menarik perhatian adalah aktris berdarah Persia, Nazanin Boniadi. Cewek supercantik yang pernah tampil di serial televisi Homeland bersama Claire Danes itu memerankan Esther, seorang budak Yahudi yang menjadi kekasih Ben-Hur. Menurutnya, karakter yang dia perankan saat ini lebih kuat dan independen daripada versi jadulnya pada tahun 1959.

Selain Boniadi, Ben-Hur juga diperkuat oleh aktor senior kulit hitam, Morgan Freeman, yang menjadi Sheik Ilderim. Dan, yang juga patut ditunggu adalah penampilan Rodrigo Santoro sebagai Yesus Kristus. Aktor asal Brasil itu dulu pernah memerankan Raja Persia, Xerxes, dalam film 300 (2006) bersama Gerard Butler.

Sayangnya, meski dihiasi oleh deretan aktor multietnis, Ben-Hur belum cukup mampu untuk menarik penonton. Sejak dirilis di Amerika Serikat pada 19 Agustus 2016 yang lalu, film berbujet USD 100 juta ini "hanya" meraup pemasukan USD 89 juta secara global. Belum cukup untuk sekadar balik modal.

MGM menjadi pihak yang paling terkena dampak dari kegagalan Ben-Hur menembus box office. Studio penghasil franchise James Bond tersebut memang menjadi pihak yang menanggung 80 persen biaya produksi. Mereka tidak mampu mengulang kenangan manis saat merilis Ben-Hur versi jadul pada 1959.

Banyak yang menilai, film aslinya sudah terlalu tua, sehingga para penonton muda kemungkinan besar tidak mengenal film yang dulu sangat fenomenal itu. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa Ben-Hur versi daur ulang ini telah merusak cita rasa dari versi klasiknya yang dibintangi oleh aktor peraih Piala Oscar, Charlton Heston.

Titik berat pemasaran dan promosi dari Ben-Hur versi terbaru ini juga dianggap salah sasaran karena terlalu berbasis pada agama. Bukannya menonjolkan pertempuran dan balapan kereta kuda yang seru, mereka lebih menjual sisi rohani dan biblikal dari film ini. Alhasil, pangsa pasar penontonnya pun menjadi sempit.

Di Meksiko dan Brasil, atensinya memang cukup ramai. Begitu juga di Amerika Serikat, Ben-Hur lebih banyak ditonton di kawasan barat daya dan selatan yang dikenal religius. Sebaliknya, di bagian timur laut dan pantai barat, yang terkenal sekuler, mereka jeblok, alias tak mampu menggaet penonton.

Sejumlah kritikus dan situs review pun memberi rating yang negatif untuk Ben-Hur. Film rilisan Paramount Pictures ini dianggap melengkapi kegagalan film sekuel/remake berbujet besar lainnya tahun ini, seperti Allegiant, Independence Day: Resurgence, The Legend of Tarzan, dan Alice Through the Looking Glass.

***

Ben-Hur

Sutradara: Timur Bekmambetov
Produser: Mark Burnett, Sean Daniel, Duncan Henderson, Joni Levin
Penulis Skenario: Keith Clarke, John Ridley
Berdasarkan: Ben-Hur: A Tale of the Christ by Lew Wallace
Pemain: Jack Huston, Toby Kebbell, Rodrigo Santoro, Nazanin Boniadi, Ayelet Zurer, Morgan Freeman, Haluk Bilginer
Musik: Marco Beltrami
Sinematografi: Oliver Wood
Penyunting: Dody Dorn, Richard Francis-Bruce, Bob Murawski
Produksi: Bazelevs, Lightworkers Media, Sean Daniel Productions
Distributor: Paramount Pictures, Metro-Goldwyn-Mayer
Budget: USD 100 juta
Durasi: 123 menit
Rilis: 9 Agustus 2016 (Mexico City), 19 Agustus 2016 (Amerika Serikat), 5 Oktober 2016 (Indonesia)

Ratings

IMDb: 5,7
Rotten Tomatoes: 26%
Metacritic: 38
CinemaScore: A-