Dalam dunia pewayangan, ada sebuah cerita yang mengisahkan tentang dua bersaudara, Sumantri dan Sukasrana. Sumantri adalah seorang pemuda yang sakti, gagah, tampan, santun dan halus budi pekertinya. Sedangkan adiknya, Sukasrana, adalah seorang pemuda dengan fisik yang kurang sempurna, buruk rupa, cebol (kerdil), bandel, tetapi sangat jujur, baik hati dan sakti mandraguna. Sukasrana juga sangat mencintai kakaknya. Kemana pun Sumantri pergi, Sukasrana yang buruk rupa ini selalu mengikutinya.
Suatu ketika, ada seorang putri kerajaan yang sangat cantik jelita. Sumantri jatuh cinta kepadanya dan ingin melamarnya. Sang putri menerima lamaran Sumantri, tetapi dengan satu syarat, yaitu: Sumantri harus membuatkan Taman Sriwedari yang indah dan megah untuknya dalam waktu satu malam saja.
Sumantri pun kebingungan. Membuat sebuah taman dalam waktu semalam hampir mustahil baginya. Kesaktiannya belum sehebat itu. Harapan satu-satunya hanyalah kepada Sukasrana, adiknya yang sakti mandraguna. Akhirnya, Sukasrana pun berhasil membuat Taman Sriwedari yang disyaratkan hanya dalam tempo satu malam. Sumantri pun berhasil mempersunting sang putri idamannya.
Keberhasilan ini sangat membuat gembira Sumantri. Tetapi, selain rasa gembira, terbersit kekhawatiran di hatinya. Dia takut orang-orang, terutama sang putri, mengetahui bahwa yang membuat taman itu bukanlah dirinya, tetapi adiknya yang buruk rupa, Sukasrana. Selain itu, dia juga malu dengan kelakuan Sukasrana yang tidak santun dan berbudi pekerti seperti dirinya. Apalagi, Sumantri juga akan dicalonkan menjadi raja menggantikan mertuanya. Singkat kata, dengan terpaksa Sumantri mengusir adiknya dan memintanya untuk tidak mengikutinya lagi.
Dengan berat hati, Sukasrana menuruti perintah sang kakak yang sangat dicintainya. Perasaannya terluka. Tetapi, di dalam hatinya yang terdalam, ia bahagia karena sudah berhasil membantu kakak yang disayanginya. Ia rela berkorban asal kakaknya bahagia. Betapa mulia hati seorang Sukasrana. Akhirnya, si buruk rupa yang berhati emas pun pergi mengembara, sedangkan si gagah yang mempesona berhasil menjadi raja.
Beribu-ribu tahun kemudian, Sumantri dan Sukasrana pun mengalami reinkarnasi atau kelahiran kembali. Pada saat itu, Sumantri menjadi seorang calon kepala desa dan Sukasrana menjadi calon wakilnya di sebuah desa yang bernama Sriwedari. Mereka berdua akhirnya berhasil terpilih sebagai kepala desa dan wakilnya untuk periode delapan tahun ke depan.
Selama delapan tahun, mereka bekerja sama membangun desa Sriwedari. Di sini, Sukasrana sangat berperan karena dia adalah pemimpin partai yang mempunyai suara terbanyak di desanya. Sedangkan Sumantri adalah pemimpin partai baru yang saat itu belum terlalu besar pendukungnya.
Berbagai macam kebijakan atau ide Sukasrana, yang memang cerdas dan cepat dalam mengambil keputusan, sangat bermanfaat bagi rakyat desanya. Desa Sriwedari pun tumbuh menjadi desa yang makmur. Semua warga memuja mereka berdua, terutama Sumantri, yang banyak menjadi idola kaum muda di desanya. Meskipun cenderung ragu-ragu dan sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan, Sumantri berhasil memikat warga dengan posturnya yang rupawan, gagah mempesona, budi pekertinya, sopan santunnya, dan keahliannya dalam berbicara.
Berbeda dengan Sukasrana, meskipun banyak ide-ide yang keluar dari pemikirannya, warga kurang memberi apresiasi kepadanya.
Singkat cerita, delapan tahun pun berlalu dengan cepatnya. Musim pemilihan kepala desa sudah di depan mata, yang sebelumnya didahului dengan pemilihan anggota BPD (Badan Perwakilan Desa). Kali ini, partai Sumantri yang meraih kemenangan. Partai yang dipimpinnya, yaitu Partai Bintang Desa, berhasil menguasai perolehan kursi anggota BPD, mengungguli partai Sukasrana, Partai Beringin Raya.
Dengan modal politik yang dimilikinya, Sumantri berhasrat maju kembali pada pemilihan kepala desa (pilkades) selanjutnya. Tetapi, kali ini tanpa Sukasrana disampingnya. Sumantri memutuskan untuk mencari calon wakil kepala desa yang baru karena dia merasa sudah ‘kerepotan’ dengan berbagai ‘manuver’ yang dilakukan oleh Sukasrana selama menjabat sebagai wakil kepala desa periode sebelumnya. Dia merasa sudah memelihara anak macan, dan saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyingkirkannya.
Sukasrana, yang sebenarnya sangat berhasrat untuk berdampingan kembali dengan Sumantri, terpaksa gigit jari. Dia tidak ingin berpisah dengan Sumantri karena selama ini sudah merasa bisa bekerja sama dengan baik membangun desa. Tetapi, apa mau dikata. Kenyataan berkata lain. Akhirnya, dengan berat hati, Sukasrana pun memutuskan untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa, berhadap-hadapan dengan sang incumbent, Sumantri.
Sebuah keputusan nekat sudah diambil oleh Sukasrana. Dengan modal kepopuleran yang sangat rendah, kecil peluangnya untuk terpilih dan mengalahkan Sumantri sebagai kepala desa. Tetapi, hal itu tidak menyurutkan langkahnya. Baginya, membangun desa adalah sebuah kewajiban dan sebuah amanah yang sangat mulia. Dia juga yakin, warga desa akan mendukungnya kalau sudah tahu siapa dia sebenarnya.
Singkat cerita, pilkades pun dilangsungkan. Dan hasilnya sesuai dengan yang diprediksikan sebelumnya. Sejarah seperti terulang kembali. Sriwedari tetap menjadi milik Sumantri yang akhirnya terpilih kembali menjadi kepala desa, melanjutkan pemerintahan dengan didampingi wakilnya yang baru. Sedangkan Sukasrana kembali menjadi orang biasa yang tidak pernah berhenti mencintai dan membaktikan hidup demi desanya.
Inilah kehidupan. Orang yang berjasa belum tentu dihargai oleh setiap manusia. Tetapi, saya yakin, orang yang berjasa akan mendapat pahalanya sendiri dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
No comments:
Post a Comment