July 13, 2009

Don’t Judge a Book by It’s Cover

Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan berjalan dengan malu-malu menuju kantor pimpinan Harvard University. Mereka meminta janji.

Sang sekretaris universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge. "Kami ingin bertemu pimpinan Harvard," kata sang pria lembut. "Beliau hari ini sibuk," sahut sang sekretaris cepat. "Kami akan menunggu," jawab sang wanita.

Selama empat jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi nyatanya tidak. Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pimpinan. "Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi," katanya pada sang pimpinan Harvard.

Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang diluar kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul.

Sang pimpinan Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut. Sang wanita berkata padanya, "Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini. Bolehkan?" tanyanya, dengan mata yang menjeritkan harap.

Sang pimpinan Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut. "Nyonya," katanya dengan kasar, "Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan."

"Oh, bukan," Sang wanita menjelaskan dengan cepat, "Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard." Sang pimpinan Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, "Sebuah gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung?! Kami memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard."

Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang pimpinan Harvard senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, "Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?" Suaminya mengangguk. Wajah sang pimpinan Harvard menampakkan kebingungan.

Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California. Di sana mereka mendirikan sebuah universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi diperdulikan oleh Harvard. Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di AS.

(Sumber: dari sebuah mailing-list)

Dalam menilai sesuatu, seringkali kita seperti pimpinan Harvard itu, acap silau oleh baju dan lalai. Padahal, baju hanya bungkus, apa yang disembunyikannya kadang sangat tak ternilai. Jadi, janganlah kita selalu abai karena baju-baju acap menipu.

Demikian juga yang saya amati ketika sedang berbelanja buku. Saya mendapati buku-buku yang menjadi best seller di toko buku kebanyakan adalah buku-buku yang mempunyai cover menarik dan ditulis oleh orang-orang yang sudah mempunyai nama ‘besar’ dan populer. Saya tidak mengatakan buku-buku yang ‘menarik’ tersebut tidak bermutu. Yang ingin saya kritisi, sebagai pembaca, kadang-kadang saya juga menemukan sebuah buku yang ternyata sangat bagus, menurut penilaian saya, tetapi kurang laku dan letaknya ‘nyelempit’ di rak buku yang tidak mudah dijangkau. Setelah saya teliti, ternyata buku tersebut ditulis oleh orang yang ‘tidak dikenal’ dan penerbitnya dari ‘antah-berantah’ serta covernya ‘asal-asalan’. Intinya, secara kemasan sangat tidak menarik, tetapi brilian isinya.

Fenomena ini juga terjadi di situs jejaring sosial facebook. Teman-teman saya di situs itu sangat beragam, mulai dari politisi, artis, penulis, motivator, profesional, pengusaha, wartawan, guru, dosen, atlet, ibu rumah tangga, rekan bisnis, teman sekolah, teman kuliah, dsb. Pokoknya, mulai dari orang-orang yang terkenal sampai orang-orang yang tidak saya kenal sebelumnya.

Dari sekian ratus teman-teman saya di dunia maya tersebut, banyak yang mem-posting catatan atau sekedar meng-update statusnya setiap hari. Nah, saya amati, bila yang mem-posting catatan atau status adalah teman-teman yang mempunyai nama ‘besar’, maka dengan segera puluhan bahkan ratusan orang yang menyatakan ‘suka’ dan memberikan komentar. Sedangkan bila yang mem-posting teman-teman yang ‘biasa’, seringkali tidak ada satu pun yang menyatakan ‘like’ atau memberi ‘comment’. Padahal, posting-an teman-teman yang ‘biasa’ ini acapkali lebih bermutu (menurut saya) daripada posting-an teman-teman dengan nama ‘besar’ tersebut. Tetapi, bukan berarti posting-an nama-nama ‘besar’ itu tidak bagus, lho...

Dalam hal menghargai sesuatu atau seseorang, tampaknya kita memang harus banyak belajar dari Amerika. Pada bulan November 2008 lalu, bangsa tersebut sudah membuktikan dirinya mampu memberikan penilaian yang objektif, bukan subjektif. Ya, dengan terpilihnya Barrack Obama sebagai presiden keturunan Afro-Amerika pertama, menjadi tanda bahwa mayoritas orang-orang Amerika sudah mementingkan substansi (pokok, inti, atau isi yang terkandung di dalam) daripada figur atau citra luar seorang pemimpin.

Ada yang mengatakan, dan saya setuju sekali dengan pendapat ini, kalau kasus seperti Barrack Obama vs. John McCain terjadi di Indonesia, bisa dipastikan McCain yang akan menang. Mayoritas orang-orang di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh figur daripada gagasan/ide dalam menentukan pilihannya. McCain, seorang kulit putih yang sepuh tapi masih ganteng dan gagah itu pasti lebih digemari. Apalagi, dia adalah pensiunan tentara, pahlawan perang dan berpengalaman puluhan tahun dalam dunia politik. Rambutnya yang putih beruban juga semakin meneguhkan dirinya sebagai seorang ‘begawan’ yang bijaksana. Bisa dipastikan figur seperti ini akan ‘membius’ pemilih-pemilih di Indonesia. Bandingkan dengan Obama yang kurus, keriting, berkulit hitam (dari kaum minoritas), anak Menteng (asalnya dari negeri antah-berantah), masih muda, dan lebih minim pengalaman politik daripada McCain (kita bisa mengibaratkan posisi Obama saat itu sebagai keturunan Tionghoa dan beragama Buddha yang mencalonkan diri menjadi capres Indonesia). Bisa-bisa akan muncul pernyataan dari tim kampanye pesaingnya: “Kaum minoritas belum saatnya menjadi presiden Indonesia.”

Di Indonesia, kuantitas; bungkus; kemasan; baju; penampilan; dan citra (image) masih sangat dominan mempengaruhi opini masyarakat dibandingkan kualitas; substansi; dan isi (content). Elektabilitas SBY yang jauh lebih tinggi dibandingkan pesaing-pesaingnya dalam pilpres 2009 (menurut hasil quick count) membuktikan teori ini. Dalam hal pencitraan atau ‘jaga image’, SBY memang sangat brilian dan unggul jauh dibanding kompetitornya. Penampilannya yang selalu rapi dan necis, fisiknya yang gagah, sikapnya yang santun, gaya bicaranya yang sopan dan terstruktur rapi, sifatnya yang pendiam dan terlihat ‘berwibawa’, menjadi ‘bungkus’ yang memikat banyak orang, apalagi ditunjang dengan sumber daya politik yang besar karena posisinya sebagai incumbent, membuat SBY menjadi sosok yang ‘undefeatable’ alias tidak terkalahkan dalam ‘membirukan’ Indonesia. Padahal, dalam soal isi (content) atau gagasan yang ditawarkan, saya pikir SBY tidak lebih baik dibandingkan lawan-lawannya. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan kalau ada calon lain yang menawarkan program yang lebih berkualitas, SBY tetap akan terpilih karena orang-orang sudah ‘terbius’ dengan pesonanya.

Dari contoh-contoh di atas, saya menyimpulkan bahwa kemasan memang penting, tetapi ada yang lebih penting lagi, yaitu isi. Saya juga mulai untuk membiasakan diri belajar dari SIAPA PUN dan APA PUN karena yang saya cari adalah substansinya, bukan figurnya. Apa yang dibawa, bukan siapa yang membawa. Yang cantik, belum tentu menarik dan yang menarik, belum tentu baik. Nama-nama ‘besar’ dan populer tersebut memang baik (dan menarik), tetapi mereka bukan Tuhan yang sempurna. Mereka juga bisa membuat kesalahan. Jadi, berhentilah mengkultuskan individu seakan-akan mereka semua adalah dewa. Berikan apresiasi atau penghargaan secara objektif kepada yang layak, siapa pun orangnya. Don’t judge a book by it’s cover. Jangan menilai (isi) buku berdasarkan sampulnya saja, tetapi baca dulu sampai tuntas, setelah itu baru beri penilaian sesuai dengan perspektif Anda masing-masing. Kalau positif, lanjutkan! Kalau negatif, HANYUTKAN!

Sedikit tambahan, dalam mengapresiasi sesuatu atau seseorang, jangan takut untuk mengkritik nama-nama ‘besar’ tersebut bila (menurut Anda) ada yang tidak sesuai karena kritik itu membangun. Kritik itu seperti obat, pahit, tapi dibutuhkan asal dosis dan waktunya tepat.

Saya sendiri memang suka mengkritik, tetapi saya lebih suka dikritik karena kritikan tersebut saya anggap sebagai peringatan bahwa saya masih seorang manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Bayangkan, kalau saya tidak pernah dikritik, mungkin saya akan menjadi orang yang pongah dan sombong. Mungkin saya akan merasa diri saya sudah matang. Dan kabar buruknya, buah yang sudah matang selanjutnya akan menjadi busuk, entah karena membusuk dengan sendirinya atau karena sudah melalui saluran pencernaan yang mengkonsumsinya. Lebih baik dikritik daripada dibiarkan membusuk. Lagi pula, makin dikritik, makin menarik. Lebih kritis, lebih dinamis. Betul?

No comments: