State of Fear adalah sebuah judul novel fiksi-ilmiah karya penulis terkenal Michael Crichton. Novel tersebut mengisahkan tentang state of fear yang dihubungkan dengan isu pemanasan global (sumber: Jawa Pos, Edisi: 19 Juli 2009, Resensi Buku ‘State of Fear’ oleh Audifax). Tetapi, kali ini saya tidak akan membahas tentang global warming (pemanasan global) karena Anda bisa membaca sendiri dengan lebih jelas dan gamblang di buku Michael Crichton tersebut, yang katanya sangat memperkosa logika, seperti halnya The DaVinci Code-nya Dan Brown yang sangat memperkosa iman.
Saya mencoba untuk mengaitkan state of fear (artinya: kondisi ketakutan, atau bisa juga diartikan: negara yang diliputi ketakutan) dengan kejadian nyata (non-fiksi) yang baru saja terjadi dan menghebohkan Indonesia, yaitu teror bom Jakarta di The JW Marriott Hotel dan The Ritz Carlton Hotel beberapa hari yang lalu.
Dalam era yang serba maju dan terbuka seperti sekarang ini, manusia hanya bisa diatur dan disatukan ketika ada suatu ancaman yang membuat mereka merasa ketakutan. Ancaman itu harus merupakan musuh bersama dan ditakuti bersama. Di era Orde Baru dulu, ancaman yang digunakan adalah ‘komunisme’ yang dimanipulasi sedemikian rupa sehingga membuat orang takut dan dengan demikian menjadi lebih mudah diatur.
Setelah runtuhnya komunisme pada akhir tahun 80’an (yang ditandai dengan bubarnya Uni Soviet), lalu sepuluh tahun kemudian disusul dengan lengsernya Orde Baru oleh kekuatan reformasi, ancaman komunisme seakan mati dengan sendirinya. Saat ini komunisme bukan lagi menjadi hal yang menakutkan bagi sebagian besar masyarakat.
Dengan berakhirnya era komunisme dan bersamaan dengan dimulainya era informasi (internet), dunia (baca: Amerika) menjadi khawatir karena manusia menjadi bebas dari rasa takut dan menjadi lebih berani sehingga tidak mudah untuk dikuasai lagi. Maka dari itu, ancaman baru perlu dicari. Dan laksana gayung bersambut, tanggal 11 September 2001, WTC runtuh karena teror. Disusul kemudian pada tanggal 12 Oktober 2002, Bali meledak juga oleh teror bom. Mulai saat itulah, secara resmi, dunia (baca: Amerika) menemukan ‘mainan’ baru: TERORISME.
Bobolnya WTC sendiri, menurut sebagian pengamat, memang disengaja (dibiarkan bobol). Sesuai dengan yang digambarkan di film semi-dokumenter Fahrenheit 9/11, para pengamat kritis tersebut menyatakan bahwa kecil kemungkinannya sistem keamanan Amerika yang begitu canggih itu bisa kebobolan, sehingga pesawat-pesawat ukuran jumbo tersebut bisa dengan leluasa menabrak menara kembar WTC layaknya bermain video game. (Anti-tesis dari teori ini, yang mengatakan bahwa ‘kecolongan’ itu memang alami dan tidak disengaja, bisa dilihat di film United 93, yang mengisahkan tentang perlawanan para penumpang di dalam salah satu pesawat yang dibajak).
Teori ‘kesengajaan’ tersebut selaras dengan teori ‘state of fear’ di atas. Sebelum peristiwa 9/11, Amerika kebingungan mencari ‘sparring partner’ alias lawan latih tanding. Sejak era perang Vietnam, lalu perang dingin dengan Uni Soviet dan dilanjutkan perang Iraq, rakyat Amerika sepertinya sudah bosan dan ‘eneg’ berperang. Tetapi, peristiwa 9/11 tersebut seakan langsung membangkitkan lagi nasionalisme bangsa Amerika dan sekaligus memberikan legitimasi kepada pemerintahan George W. Bush waktu itu untuk kembali memuaskan libidonya untuk berperang. Dan lawan yang dipilih bukan lagi sebuah negara, tetapi sekelompok orang yang mereka sebut sebagai teroris (dalam hal ini adalah Jaringan Al-Qaeda dengan pemimpinnya yang sangat karismatik, yaitu The Billionaire of Arabia, Osama bin Laden).
Dengan terpilihnya ‘musuh’ baru ini, masyarakat dunia dikondisikan sedemikian rupa agar meyakini bahwa terorisme adalah ancaman terbesar bagi umat manusia saat ini. Dengan ketakutan yang ada, maka orang-orang bisa lebih diatur dan diarahkan agar lebih menurut kepada sang pengatur atau sang penguasa (baca: Amerika).
Nah, state of fear inilah yang menurut banyak pengamat juga dimainkan dengan baik oleh Presiden SBY. Tidak terlalu lama setelah bom di JW Marriott-Ritz Carlton meledak, (sumber: Jawa Pos, Edisi: 18 Juli 2009) SBY dengan sangat pandai memanfaatkan peristiwa tersebut untuk sekalian ‘mengebom’ pihak-pihak yang berpotensi mempersoalkan hasil pilpres yang dikatakan punya rencana menduduki secara paksa gedung KPU. Dia juga membeberkan rencana adanya gerakan revolusi, membuat Indonesia seperti Iran, dan gerakan agar SBY tidak bisa dilantik sebagai presiden.
Hal tersebut diungkapkan SBY dalam jumpa pers di Kantor Presiden di hari yang sama setelah teror bom terjadi, tanggal 17 Juli 2009. Bahkan, SBY juga mengungkapkan kenyataan masih belum dihukumnya orang yang dulu membunuh dan menghilangkan orang. Memang, dia tidak menuduh secara langsung teror kemarin dilakukan oleh pribadi tertentu. Tetapi, pernyataan SBY tersebut sudah pasti sangat membuat ‘takut’ dan menciutkan ‘nyali’ orang-orang yang mungkin mempunyai rencana untuk mempersoalkan keabsahan hasil pilpres yang lalu.
SBY juga mengatakan bahwa pengeboman tersebut dilakukan oleh sekelompok teroris. Tetapi, itu belum tentu dilakukan oleh jaringan yang selama ini dikenal sebagai pelaku bom sebelumnya. Bahkan, dia membuka informasi intelijen tentang adanya latihan menembak dengan sasaran foto dirinya serta upaya berbuat rusuh pascapilpres.
Serangkaian pernyataan SBY tersebut, selain bertujuan menggertak lawan-lawannya supaya tidak unjuk gigi pascapilpres, juga sebagai counter-attack alias serangan balik atas tuduhan kecurangan di pilpres yang banyak dilontarkan para kompetitor kepadanya. Dan saya rasa, apa yang dilakukan oleh SBY kemarin cukup berhasil.
Saat ini sudah mulai terbentuk opini di masyarakat luas bahwa teror bom ini dilakukan oleh lawan-lawan yang tidak puas karena kalah dalam pilpres. Dengan munculnya prasangka buruk di masyarakat seperti saat ini, saya yakin, para pesaing SBY akan berpikir dua kali bila mereka akan mencoba untuk memprotes hasil pilpres. Jangankan membuat keributan, demonstrasi damai pun bisa dianggap melakukan teror oleh masyarakat karena ‘state of fear’ sudah tercipta di dalam pikiran sebagian besar orang saat ini, mungkin juga termasuk Anda yang sedang membaca catatan ini.
Menurut informasi yang saya dapatkan dari Budiman Sudjatmiko (anggota DPR-RI Terpilih untuk periode 2009-2014 dari PDIP) melalui Facebook, kasus serupa sudah pernah terjadi di Spanyol saat Madrid dibom pada tahun 2004. Saat itu, Perdana Menteri Spanyol yang sedang berkuasa, Jose Maria Aznar dari PP (partai sayap kanan), menuduh kelompok oposisi ETA dari Basque yang mendalangi aksi itu. Dengan dalih tersebut, Aznar mengharapkan rakyat akan melegitimasi tindakannya yang akan membungkam suara-suara kritis dari wilayah Basque karena rakyat akan menganggap kelompok kritis tersebut sebagai teroris.
Tetapi, kenyataanlah yang berbicara kemudian. Tuduhan itu ternyata tidak berdasar sama sekali karena proses penyelidikan mengindikasikan hasil yang berbeda. Tidak lama setelah itu, Jose Maria Aznar jatuh dari kekuasaan yang salah satunya disebabkan oleh kesalahannya dalam mengambil kebijakan politik luar negeri dalam rangka pengiriman pasukan ke Iraq karena ikut-ikutan Amerika. Partai oposisi, yaitu PSOE (Partai Buruh Sosialis Spanyol), menyatakan bahwa bom Madrid tersebut adalah reaksi kelompok teroris atas pengiriman pasukan Spanyol ke Iraq. Oleh karena itu, rakyat Spanyol tidak setuju Aznar ikut campur tangan dalam perang Iraq dan akhirnya jatuhlah sang perdana menteri.
Sebagai catatan tambahan untuk ‘check and balance’ supaya Anda semua mendapat informasi yang akurat dan seimbang, hasil penyelidikan Polri sampai saat ini (sumber: Jawa Pos, Edisi: 19 Juli 2009) mengindikasikan bahwa hampir dipastikan pengeboman bermodus bunuh diri tersebut terkait dengan jaringan Noordin M. Top yang berkewarganegaraan Malaysia dan Slamet Kastari yang berkebangsaan Singapura. Mereka berdua adalah pimpinan kelompok teroris, yang telah melakukan serangkaian aksi pemboman di tanah air dalam satu dekade terakhir, yang masih tersisa.
Keempat rekan mereka sudah binasa sebelumnya, yaitu Dr. Azahari bin Husein yang tewas tertembus timah panas anggota tim Densus-88 Anti-Teror Polri dalam penggerebekan di Batu tahun 2005, serta sisanya adalah trio bomber (Imam Samudra, Muchlas, dan Amrozi) yang sudah dieksekusi mati tahun lalu. Jadi, teori bahwa kasus ini adalah kasus politis untuk sementara runtuh. Ini adalah murni kasus ideologis.
Sampai saat ini, saya pribadi sepakat dengan hasil penyelidikan sementara. Karena kalau ini kasus politis, kecil kemungkinan pelakunya bersedia melakukan bom bunuh diri. Aksi hara-kiri (bunuh diri a la Jepang) dan kamikaze (pasukan berani mati a la Jepang pada era Perang Dunia Kedua) biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang ultranasionalis yang sangat fanatik dengan ideologinya atau yang memiliki fanatisme berlebihan terhadap keyakinan atau agama tertentu.
Sedangkan, kenyataan di Indonesia sangat bertolak belakang dengan hal itu. Dinamika politik sekarang ini sudah sangat pragmatis sekali. Saya tidak setuju dengan pernyataan beberapa pengamat yang mengatakan bahwa kekecewaan yang besar karena kalah dalam pilpres bisa berubah menjadi ideologi. Dan maaf saja, saya juga tidak percaya kalau saat ini ada orang Indonesia yang rela mati demi membela idealisme politik semata (soal kalah-menang di pilpres).
Saya yakin para capres-cawapres (Mega-Prabowo dan JK-Wiranto) termasuk para pendukungnya yang berlaga dalam pilpres kemarin sudah siap kalah karena mereka sudah mengetahui tingkat elektabilitasnya rendah melalui hasil survey. Entah kalau yang kalah SBY-Boediono, apakah mereka bisa menerima? Karena hasil surveynya kan sangat tinggi sekali.
Jadi, jika di jaman Orde Baru dulu, orang-orang yang kontra dengan pemerintah langsung dicap komunis, sedangkan saat ini bisa-bisa yang kontra langsung dicap teroris. Sebuah program anti-virus yang sama dengan versi yang lebih ‘up to date’ untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
Itulah yang menjadi ‘ketakutan’ saya. Tetapi, saya harap hal itu tidak menjadi kenyataan karena saya percaya bahwa SBY, yang kata banyak orang adalah seorang negarawan, tidak akan menggunakan cara-cara pengecut a la Orde Baru tersebut.
Saya berkesimpulan, sudah menjadi kodrat bahwa kebebasan dan kemerdekaan yang kita cita-citakan akan selalu dihantui oleh ketakutan, baik yang sudah diatur (by design) atau pun yang terjadi secara alami (by default). Meski demikian, saya pribadi tidak akan menyerah kepada ketakutan dan akan selalu memperjuangkan kebebasan yang sudah saya pilih.
Akhir kata, terlepas dari segala macam pro dan kontra, saya yakin kita semua sepakat bahwa dunia harus dibebaskan dari rasa takut (free of fear) dan terorisme harus dienyahkan. Apa pun alasannya. Apa pun bentuknya. Karena takdir kita bukan untuk bertahan hidup, tetapi untuk memenangkan kehidupan ini. Bersama-sama dan bersatu-padu. Jangan pernah berhenti berjuang. Pertempuran baru saja dimulai.
“Dunia kita berada dalam genggaman tangan mereka yang punya keberanian untuk bermimpi dan berlari tanpa takut akan resiko hidup.”
-Paulo Coelho (Novelist America Latin)-
No comments:
Post a Comment