Beauty and the Beast (1991) adalah salah satu film animasi terbaik yang pernah ditelurkan oleh Walt Disney Pictures. Meski sudah 26 tahun berlalu, para penonton masih ingat dengan nuansa magis yang disajikan oleh film musikal romantis yang diadaptasi dari dongeng tradisional asal Prancis tersebut.
Tak heran, saat versi live-action-nya bakal diproduksi oleh Disney, para fans lawas maupun baru langsung menantikannya dengan antusias. Dan, penantian panjang itu akhirnya tuntas saat film yang dibintangi oleh Emma Watson tersebut dirilis secara global pada hari Jumat (17/3) ini.
Kisahnya kurang lebih masih sama dengan Beauty and the Beast versi original. Seorang pangeran tampan dikutuk menjadi monster yang mengerikan karena kesombongannya. Si Buruk Rupa (Dan Stevens) kemudian menahan si Cantik Belle (Emma Watson) di kastilnya. Dia harus mendapatkan cinta dari kembang desa tersebut supaya bisa kembali ke wujud aslinya sebagai manusia.
Belle, kali ini, digambarkan sebagai cewek yang cerdas. Dia adalah seorang inventor yang eksentrik, seperti bokapnya, Maurice (Kevin Kline). Bahkan, Belle mampu menciptakan sebuah "mesin cuci" agar ia tetap bisa melakukan hobinya, yaitu membaca buku, sambil menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
Dalam beberapa film terakhirnya, baik animasi maupun live-action, Disney memang berusaha menampilkan karakter cewek yang kuat dan pemberani, bukan lagi sosok princess yang lemah dan kemayu seperti dulu. Sebut saja Alice in Wonderland (2010), Tangled (2010), Brave (2012), Frozen (2013), Maleficent (2014), Cinderella (2015), hingga Moana (2016), semuanya menyajikan tokoh cewek jagoan.
Emma Watson sendiri menegaskan bahwa Beauty and the Beast versi terbaru ini membawa pesan penting untuk kaum perempuan. Meski tergolong sebagai dongeng, kisahnya tidak melulu tentang cinta dan pangeran tampan. Film berdurasi 129 menit ini mengajarkan kepada perempuan untuk berani menghadapi hambatan yang terjal demi mencapai kebahagiaan mereka sendiri.
Emma Watson juga membantah dugaan para fans bahwa karakter Belle mengalami sindrom Stockholm, yakni timbulnya rasa suka atau cinta dari seorang tawanan kepada penculiknya setelah sekian lama disekap. Menurut Duta PBB untuk gerakan kesetaraan gender He for She tersebut, hubungan Belle dengan Beast diawali oleh rasa benci. Gadis desa itu juga sering melawan kehendak Beast. Jadi, bukan pasrah dan menerima nasib seperti sindrom Stockholm.
Sementara itu, bagi Bill Condon, proyek Beauty and the Beast versi live-action ini adalah sebuah tantangan besar. Menurutnya, versi animasi yang dirilis pada 1991 merupakan karya yang sempurna. Oleh karena itu, sutradara dua seri terakhir The Twilight Saga: Breaking Dawn (2011-2012) tersebut dituntut untuk melebihinya, dan membuat kisah dongeng ini menjadi lebih nyata.
Secara garis besar, Condon mengaku banyak mengadaptasi adegan dari versi animasi Beauty and the Beast menjadi bentuk live action. Dia menggunakan teknologi CGI (computer-generated imagery) untuk menampilkan suasana kastil maupun desa kecil tempat Belle tinggal. Dari trailer-nya, terlihat bahwa semuanya tampak begitu detail dan nyata.
Seperti versi animasinya, satu hal lagi yang sangat penting dari Beauty and the Beast versi live-action ini adalah unsur musikalnya. Emma Watson, selaku pemeran utama, tak luput ikut menyumbangkan suaranya. Selama tiga bulan, cewek manis kelahiran 15 April 1990 itu berada di kamp latihan. Empat kali dalam seminggu dia berlatih menyanyi. Selain itu, pemeran Hermione Granger dalam franchise Harry Potter tersebut berlatih menari lima kali seminggu, sekaligus melakukan reading, alias membaca naskah, tiga kali seminggu.
Untuk menggarap scoring, Disney kembali mempercayakan kepada Alan Menken, yang dulu juga menjadi sound director versi animasinya. Bersama Howard Ashman, komposer pemenang delapan kali Piala Oscar tersebut mengantarkan Beauty and the Beast (1991) meraih dua Academy Awards kategori Best Original Score dan Best Song, lewat lagu Tale as Old as Time yang kala itu dibawakan oleh Celine Dion dan Peabo Bryson.
Kali ini, di versi live-action-nya, theme song legendaris Beauty and the Beast tersebut dinyanyikan ulang oleh duet Ariana Grande dan John Legend. Tak ketinggalan, juga ada Josh Groban yang membawakan original soundtrack berjudul Evermore.
Sutradara Bill Condon mengaku merinding saat mendengarkan lagu ciptaan Menken, yang memang sangat pas dan sudah melekat di pikiran orang-orang sejak dua dekade yang lalu. Apalagi, saat adegan Beast menyanyikan lagu Evermore untuk menggambarkan perasaannya ketika mengembalikan Belle kepada ayahnya, Condon menjamin para penonton pasti bakal merinding.
Selain Belle dan Beast, sebenarnya ada satu tokoh lagi yang sangat penting, yaitu Gaston (Luke Evans). Dia adalah pemuda desa kaya raya yang naksir berat kepada Belle. Namun, cintanya bertepuk sebelah tangan, alias di-friendzone, alias di-PHP. Seperti kamu nge-PHP aku.. #curcol
Saat diwawancarai, Luke Evans mengaku harus mengikuti audisi dua kali untuk mendapatkan peran Gaston. Bahkan, aktor berusia 37 tahun tersebut sampai harus bernyanyi di depan sutradara Bill Condon, sebelum akhirnya terpilih dalam jajaran cast Beauty and the Beast.
Menurut Evans, tokoh Gaston yang diperankannya memang bukan karakter yang disukai penonton. Dia adalah tokoh antagonis yang arogan dan keras kepala. Namun, meski nyebelin, Evans menegaskan Gaston tetap punya sisi yang menarik.
Oleh karena itu, pemeran Owen Shaw dalam franchise Fast & Furious itu berusaha agar para penonton tidak terlalu membenci sosok Gaston sejak awal. Evans ingin menampilkan sisi lain dari karaketer villain tersebut dengan menambahkan beberapa unsur komedi, terutama dalam hubungannya dengan tokoh LeFou yang diperankan oleh Josh Gad. Intinya, aktor asal Wales itu ingin membuat para penonton enjoy dengan Gaston.
Evans juga sangat berterima kasih kepada pembuat animasi Beauty and the Beast, karena film jadul tersebut sangat memudahkannya dalam mendapatkan gambaran tentang Gaston. Saat dirilis pada 1991, Evans, yang kala itu masih berusia 12 tahun, mengaku sempat menonton di bioskop bersama ibunya. Dia ingat, sang ibu lalu membeli CD-nya karena Beauty and the Beast versi animasi tersebut memang bagus banget dan lagu-lagunya juga enak didengar.
Seperti halnya Emma Watson dan Dan Stevens, Luke Evans juga harus menyanyi di versi live-action ini. Bahkan, hal itu menjadi bagian favoritnya. Dengan mengenakan kostum klasik, saat sedang break, para pemain Beauty and the Beast selalu bernyanyi bersama. Alhasil, suasana syutingnya setiap hari menjadi sangat menyenangkan dan fun.
Selain Emma Watson, Dan Stevens, Luke Evans, dan Josh Gad, sebenarnya ada dua aktor terkenal lain yang terlibat dalam Beauty and the Beast, yaitu Ewan McGregor dan Ian McKellen. Namun, wujud mereka berdua tidak tampak karena hanya menjadi pengisi suara si tempat lilin Lumiere dan si jam kayu Cogsworth.
Di samping berbagai hal positif di atas, film yang menelan bujet hingga USD 160 juta ini juga tidak lepas dari isu negatif. Terutama, yang berkaitan dengan munculnya karakter gay dalam diri LeFou yang diperankan oleh Josh Gad.
Sosok yang menjadi tangan kanan Gaston tersebut sebenarnya tidak benar-benar terlihat sebagai gay jika kita hanya menonton trailer-nya. Bahkan, para penonton mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa LeFou adalah seorang gay seandainya sutradara Bill Condon tidak membocorkannya saat diwawancarai oleh majalah Attitude pada awal bulan Maret yang lalu.
Menurut Condon, sosok LeFou di satu sisi sangat ingin menjadi Gaston, tapi di sisi lain juga ingin "mencium" Gaston. Condon sebenarnya tidak bermaksud memunculkannya. Bahkan, tidak ada di skenario yang menyebut LeFou sebagai gay. Namun, akhirnya dia berpikir bahwa itu bagus juga. Momen gay pertama yang muncul di film Disney.
Para anti-LGBT pun langsung bereaksi keras. Mereka menuduh Disney sedang mencoba memasukkan agenda LGBT dalam pikiran dan hati anak-anak serta menjadikan karakter gay sebagai sesuatu yang wajar. Akibatnya, beberapa bioskop di Amerika Utara, terutama yang dimiliki oleh organisasi berbasis agama, memboikot Beauty and the Beast dan tidak akan menayangkannya.
Josh Gad, selaku pemeran LeFou, berusaha meredakan kontroversi tersebut. Menurutnya, karakter gay hanya menjadi bumbu dan bukan sesuatu yang penting. Para penonton sebaiknya fokus pada inti cerita Beauty and the Beast versi terbaru ini yang dikemas secara modern dengan menggambarkan keinklusifan dan mengikuti perkembangan zaman.
Sutradara Bill Condon juga menyatakan bahwa segala kritik tentang karakter gay ini sudah berlebihan. Menurutnya, para penonton bakal paham bahwa itu hanya bagian kecil dari keseluruhan filmnya dan tidak perlu dibesar-besarkan.
Apa yang dikatakan Condon itu mungkin benar. Meski diterpa oleh isu gay, setelah tayang perdana di Spencer House, London, Inggris pada 23 Februari 2017 dan di El Capitan Theatre, Hollywood, California pada 6 Maret 2017 yang lalu, Beauty and the Beast versi live-action ini mendapat respon cukup positif dari berbagai kritikus dan situs review. Penjualan tiket presale-nya di situs Fandango, bahkan, menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah, mengalahkan rekor film Disney lainnya, Finding Dory (2016).
***
Beauty and the Beast
Sutradara: Bill Condon
Produser: David Hoberman, Todd Lieberman
Penulis Skenario: Stephen Chbosky, Evan Spiliotopoulos
Berdasarkan: Disney's Beauty and the Beast, Beauty and the Beast
by Jeanne-Marie Leprince de Beaumont
Pemain: Emma Watson, Dan Stevens, Luke Evans, Kevin Kline, Josh Gad, Ewan McGregor, Stanley Tucci, Audra McDonald, Gugu Mbatha-Raw, Ian McKellen, Emma Thompson
Narator: Hattie Morahan
Musik: Alan Menken
Sinematografi: Tobias Schliessler
Penyunting: Virginia Katz
Produksi: Walt Disney Pictures, Mandeville Films
Distributor: Walt Disney Studios Motion Pictures
Durasi: 129 menit
Budget: USD 160 juta
Rilis: 23 Februari 2017 (Spencer House), 17 Maret 2017 (Amerika Serikat & Indonesia)
Rating (hingga 17 Maret 2017)
IMDb: 6,9/10
Rotten Tomatoes: 67%
Metacritic: 65/100
No comments:
Post a Comment