Bergelut selama lebih dari tiga dekade di dunia perfilman, kualitas akting Naomi Watts memang tidak perlu diragukan lagi. Berbagai genre film sudah pernah dibintangi oleh aktris cantik asal Inggris tersebut. Bahkan, MILF beranak dua itu sempat dua kali masuk nominasi Piala Oscar kategori Best Actress lewat film 21 Grams (2003) dan The Impossible (2012).
Tahun 2016 kemarin, wanita yang dinobatkan sebagai 50 Most Beautiful People pada 2002 oleh majalah People tersebut kembali menghiasi layar lebar lewat film thriller berjudul Shut In. Bagi Naomi, ini bukan kali pertama dia membintangi film yang bertema mencekam dan menegangkan. Sebelumnya, mantan pacar almarhum Heath "The Joker" Ledger itu sudah pernah tampil di Mulholland Drive (2001) dan remake horror Jepang, The Ring (2002), yang diikuti oleh sekuelnya, The Ring Two (2005).
Kisah Shut In, yang baru tayang di bioskop-bioskop Indonesia mulai hari Jumat (31/3) ini, berfokus pada kehidupan janda sexy, Mary Portman (Naomi Watts), yang juga seorang psikolog. Suaminya, Richard (Peter Outerbridge), baru saja meninggal karena kecelakaan mobil. Anaknya yang masih ababil, Steven (Charlie Heaton), berhasil lolos dari maut. Namun, tragedi itu membuat bocah tersebut koma dan lumpuh.
Sambil merawat putra semata wayangnya, Mary membuka praktek sebagai psikolog di rumahnya. Suatu ketika, dia mendapat pasien baru bernama Tom Patterson (Jacob Tremblay), seorang anak kecil yang ibunya baru saja meninggal. Saat mendengar Tom akan dibawa ke Boston, Mary kemudian memutuskan untuk mengasuhnya. Namun, tak lama kemudian, bocah yatim piatu tersebut melarikan diri saat terjadi badai salju dan dinyatakan meninggal oleh polisi, meski tubuhnya tak pernah ditemukan.
Mary, yang merasa bersalah, kemudian mulai mendengar suara dan melihat bayangan Tom. Dia yakin yang menghantuinya adalah arwah bocah tersebut. Keadaan semakin mencekam karena badai salju masih berlangsung dan Mary terjebak di dalam rumah, hanya berdua bersama anaknya yang lumpuh..
Naskah Shut In sebenarnya sudah selesai ditulis oleh Christina Hodson pada 2012 dan masuk dalam Black List, yaitu kumpulan skenario-skenario bagus yang belum difilmkan. Tahun 2014, studio asal Prancis, EuropaCorp, kemudian memutuskan untuk memproduksinya bersama dengan Lava Bear Films.
Proses syuting baru dilakukan pada pertengahan bulan Maret 2015 di Quebec dan Vancouver, Kanada. Selain menggandeng Naomi Watts sebagai bintang utamanya, EuropaCorp juga menggaet Jacob Tremblay, aktor cilik yang melejit namanya setelah tampil memukau di film Room (2015) bersama Brie Larson.
Bagi Tremblay, Shut In adalah film mencekam keduanya di 2016. Sebelumnya, bocah yang baru berusia 10 tahun itu juga membintangi film fantasy horror, Before I Wake, bersama Kate Bosworth. Jadi, soal akting, anak kecil yang berasal dari Kanada ini sebenarnya tidak perlu diragukan. Dia sudah berpengalaman main bareng aktris-aktris terkenal.
Namun, sayangnya, nama "besar" Jacob Tremblay, dan Naomi Watts, tampaknya, tidak mampu mengangkat film yang di Prancis dirilis dengan judul Oppression tersebut. Bahkan, gara-gara aktingnya di Shut In, dan juga di The Divergent Series: Allegiant (2016), Naomi sampai masuk nominasi Golden Raspberry Awards, alias Razzie Awards, kategori Worst Actress.
Setelah Shut In tayang di Amerika pada 11 November 2016 yang lalu, respon dari para kritikus memang sangat negatif. Plotnya dianggap membingungkan dan unsur ketegangannya kurang. Secara box office, film berbujet USD 10 juta ini juga jeblok karena hanya mampu meraup pemasukan USD 8,4 juta, alias belum balik modal.
***
Shut In
Sutradara: Farren Blackburn
Produser: Ariel Zeitoun, Claude Leger, Christine Haebler
Penulis Skenario: Christina Hodson
Pemain: Naomi Watts, Oliver Platt, Charlie Heaton, Jacob Tremblay, David Cubitt, Clementine Poidatz
Saat dirilis pertama kali pada tahun 1989 di Negeri Sakura, manga Mobile Armored Riot Police, dengan sub-judul The Ghost in the Shell, langsung mendapat respon positif dari para pembaca. Komik karya Masamune Shirow, yang dalam bahasa Jepang berjudul Kokaku Kidotai, tersebut kemudian dilanjutkan dengan dua sekuelnya, yaitu Ghost in the Shell 2: Man-Machine Interface dan Ghost in the Shell 1.5: Human-Error Processor.
Seperti manga-manga lainnya, kesuksesan Ghost in the Shell yang ber-genre cyberpunk itu membuatnya diadaptasi menjadi video game dan serial animasi. DreamWorks Pictures, yang dimiliki oleh sang Maestro Steven Spielberg, kemudian mengakuisisi hak untuk membuat versi live-action-nya pada tahun 2008.
Meski sempat tersendat dan tertunda cukup lama, proses produksi film Ghost in the Shell akhirnya selesai juga. Hasilnya, sudah bisa kita nikmati mulai hari Rabu (29/3) ini di bioskop-bioskop Indonesia. Dengan mengusung aktris supersexy, Scarlett Johansson, film rilisan Paramount Pictures ini bakal membuat para cowok jomblo menghabiskan persediaan tisu di rumah.
Kisah Ghost in the Shell sendiri berfokus pada karakter Motoko Kusanagi (Scarlett Johansson). Sosok yang dijuluki The Major tersebut adalah "seorang" cyborg. Kecelakaan fatal di masa kecil membuatnya harus diubah menjadi manusia robot dengan prosthetic body dan cyberbrain.
The Major merupakan anggota dari Public Security Section 9 yang dipimpin oleh Chief Daisuke Aramaki (Takeshi Kitano). Pasukan elite yang terdiri dari mantan tentara dan polisi tersebut bekerja untuk Hanka Robotics. Tugas mereka adalah memberantas para cyberterrorist dan hacker yang menggunakan teknologi tinggi.
Film live-action Ghost in the Shell mengambil setting tahun 2029 di sebuah kota fiksi di Jepang yang bernama Niihama alias New Port City. Berdasarkan sinopsis resminya, The Major dkk bakal menghadapi musuh, kemungkinan adalah Hideo Kuze (Michael Pitt), yang berniat melakukan sabotase terhadap teknologi artificial intelligence milik Hanka Robotics.
Sementara itu, Scarlett Johansson sendiri tampaknya tidak mau setengah-setengah dalam membintangi film besutan Rupert Sanders ini. Pemeran Black Widow dalam Marvel Cinematic Universe tersebut berlatih keras agar fisiknya sesuai dengan karakter The Major.
Mantan istri Ryan Reynolds itu setiap pagi nge-gym sebelum syuting. Dia punya tim martial art dan trainer militer pribadi yang melatihnya setiap hari. Tubuh MILF dengan ukuran dada 32DD itupun berubah menjadi atletis. Jika dilihat dari belakang, punggungnya berotot, sangat mirip dengan sosok Motoko Kusanagi di versi anime-nya.
Sang sutradara juga memuji totalitas ScarJo. Apalagi, saat melakukan adegan laga. Aktingnya membuat Rupert Sanders tercengang. Dia sangat kuat dan menakutkan. Mampu melontarkan pukulan dengan cepat dan membabi buta. Bahkan, bintang film Lucy (2014) itu nyaris membuat seorang stuntman semaput ketika melakoni adegan water fight alias pertempuran air.
Di samping melakukan banyak adegan pertarungan, ScarJo juga tampil sangat sexy di Ghost in the Shell. Jika kita melihat salah satu trailer-nya, tampak The Major terjun dari atas gedung dan beraksi dengan kostum transparannya. Sekilas, terlihat seperti telanjang.
Dari salah satu posternya, tampak ScarJo sedang menerjang jendela kaca sambil menodongkan pistol. Kostum nude-nya terkesan sangat futuristik. Warnanya putih susu. Pakaian canggih tersebut berfungsi sebagai kamuflase, bisa membuat The Major beraksi tanpa terlihat.
Sebelum diperankan oleh ScarJo, karakter The Major sebenarnya diperuntukkan untuk Margot Robbie. Namun, aktris sexy asal Australia itu kemudian membatalkan keterlibatannya dalam Ghost in the Shell. Dia lebih memilih peran sebagai Harley Quinn dalam Suicide Squad (2016).
Selain ScarJo, film berdurasi 106 menit ini juga dibintangi oleh Rila Fukushima yang berperan sebagai robot dengan penampakan luar seorang geisha. Model sexy asal Jepang dengan wajah khas itu sebelumnya sudah pernah main di film Hollywood, yaitu di The Wolverine (2013) bareng Hugh Jackman.
Seperti superhero lainnya, The Major juga dilengkapi dengan kendaraan canggih, yaitu mobil Lotus Esprit yang didesain oleh Giorgetto Giugiaro dan motor Honda NM4 Vultus. Moge skutik yang menjadi tunggangan ScarJo tersebut sempat dipamerkan di Osaka Motorcycle Show 2017.
Honda memang sengaja merancang NM4 Vultus agar sesuai dengan karakter Ghost in the Shell yang futuristik. Mereka membuat desain awal yang kemudian dikembangkan oleh tim produksi filmnya. Tampilan knalpot menjadi lebih rapih daripada generasi sebelumnya dan balutan warna hitamnya juga lebih segar.
Sayangnya, disamping berbagai hal positif tadi, film produksi DreamWorks Pictures ini juga sempat diterpa isu negatif. Para pengamat dari Amerika menilai pihak produser telah melakukan whitewashing karena memilih ScarJo, yang bule tulen, sebagai pemeran The Major yang berasal dari Jepang.
Meski demikian, para fans manga asal Negeri Sakura ternyata tidak mempermasalahkan pemilihan casting karakter Motoko Kusanagi yang dibintangi oleh aktris kulit putih. Bahkan, sejak semula, mereka sudah menduga bahwa The Major tidak akan diperankan oleh orang Jepang atau Asia lainnya. Bagi para penggemar Ghost in the Shell, hal ini tidak perlu dipersoalkan.
Isu mengenai whitewashing itu, sepertinya, memang tidak terlalu berpengaruh. Setelah dirilis secara terbatas di Shinjuku pada 16 Maret 2017 yang lalu, film berbujet USD 120 juta ini mendapat respon cukup positif dari para kritikus. Kita tunggu saja apakah rating Ghost in the Shell bisa bertahan di atas setelah tayang secara global mulai akhir bulan Maret ini.
***
Ghost in the Shell
Sutradara: Rupert Sanders
Produser: Avi Arad, Ari Arad, Steven Paul, Michael Costigan
Penulis Skenario: Jamie Moss, William Wheeler, Ehren Kruger
Berdasarkan: Ghost in the Shell by Masamune Shirow
Pemain: Scarlett Johansson, Michael Pitt, Pilou Asbæk, Chin Han, Juliette Binoche, Rila Fukushima
Musik: Clint Mansell, Lorne Balfe
Sinematografi: Jess Hall
Penyunting: Neil Smith, Billy Rich
Produksi: Paramount Pictures, DreamWorks Pictures, Reliance Entertainment, Amblin Partners, Arad Productions
Distributor: Paramount Pictures
Durasi: 106 menit
Budget: USD 120 juta
Rilis: 16 Maret 2017 (Shinjuku), 29 Maret 2017 (Indonesia), 31 Maret 2017 (Amerika Serikat)
Belgia dikenal sebagai negara penghasil komik. Selain The Adventures of Tintin, satu lagi produk negeri tetangga Belanda tersebut yang terkenal di dunia adalah The Smurfs. Komik yang mengisahkan tentang sekumpulan makhluk mungil, lucu, dan berwarna biru itu merupakan karya kartunis Peyo, yang bernama asli Pierre Culliford.
Mulanya, The Smurfs adalah karakter pendukung dalam serial komik Johan and Peewit, yang pertama kali muncul pada tahun 1958. Namun, penampakan mereka yang menggemaskan langsung membuat para pembaca jatuh hati. Smurfs kemudian dibuatkan komik spin-off-nya dan menjadi serial tersendiri sejak tahun 1959.
Fenomena kurcaci biru imut itu pun segera menjangkiti dunia. Perkembangannya tak tertahankan. Berbagai merchandise tentang Smurfs laris manis di pasaran. Anak-anak sangat menyukainya. Kisahnya sendiri kemudian juga diadaptasi menjadi serial animasi di televisi dan, bahkan, merambah layar lebar.
Tahun 2017, film terbaru The Smurfs, yang berjudul The Lost Village, kembali menghiasi bioskop-bioskop internasional. Para moviemania di Indonesia, seperti biasa, sudah bisa menikmatinya lebih awal, mulai hari Selasa (28/3) ini.
Berbeda dengan dua film sebelumnya, The Smurfs (2011) dan The Smurfs 2 (2013), yang merupakan hybrid antara live-action dan animasi, The Lost Village merupakan film animasi 3D yang full menggunakan komputer. Kisahnya juga tidak berhubungan dengan dua film pendahulunya yang dibintangi oleh Neil Patrick Harris tersebut. Jadi, meski masih sama-sama diproduksi oleh Sony Pictures, film yang ketiga ini merupakan reboot, bukan sekuel.
Cerita The Lost Village diawali oleh Smurfette (Demi Lovato) yang bermain-main masuk ke Hutan Terlarang, alias Forbidden Forest. Di sana, dia sempat melihat ada makhluk yang mirip dirinya menjatuhkan sebuah peta rahasia. Ternyata, itu adalah petunjuk untuk menuju Desa yang Hilang.
Meski sempat dilarang oleh Papa Smurf (Mandy Patinkin), Smurfette yang penasaran tetap berkeras untuk mencari The Lost Village yang selama ini hanya menjadi mitos tersebut. Satu-satunya Smurf cewek itu akhirnya berpetualang dengan ditemani oleh tiga Smurf yang menjadi sobat karibnya, yaitu Brainy (Danny Pudi), Clumsy (Jack McBrayer), dan Hefty (Joe Manganiello).
Dari trailer-nya, bisa dilihat keempat sekawan itu memasuki Hutan Terlarang yang dipenuhi oleh hal-hal magis dan makhluk makhluk aneh. Berbagai kejadian lucu dan menggelikan menghiasi perjalanan mereka selama mencari The Lost Village. Dan, yang tak terlupakan, juga ada gangguan dari musuh utama para Smurf, si penyihir jahat, Gargamel (Rainn Wilson).
Yang paling menarik, di The Lost Village bakal muncul karakter-karakter baru. Salah satunya adalah SmurfWillow. Pengisi suaranya tidak main-main, yaitu aktris kawakan pemenang Piala Oscar, Julia "Pretty Woman" Roberts. Selain itu, juga ada SmurfStorm (Michelle Rodriguez, iya, ini M-Rod-nya Fast & Furious), SmurfBlossom (Ellie Kemper), SmurfLily (Ariel Winter), dan SmurfMelody yang suaranya diisi oleh Meghan Trainor. Penyanyi yang sedang naik daun ini juga bakal membawakan lagu berjudul "I'm a Lady".
Bagi Julia Roberts, Smurfs: The Lost Village adalah pengalaman ketiganya terlibat dalam film animasi. Sebelumnya, MILF berbibir sexy itu sudah pernah menjadi dubber di The Ant Bully (2006) dan Charlotte's Web (2006). Roberts mengaku telah mengenal The Smurfs sejak masih belia dan dia merasa senang karena akhirnya bisa ikut ambil bagian dalam kisah yang banyak menghibur anak-anak sedunia tersebut.
Dalam sebuah wawancara, aktris yang membintangi film adaptasi novel Eat Pray Love (2010) itu menyatakan bahwa karakter yang dia isi suaranya merupakan Papa Smurf versi cewek. SmurfWillow adalah figur ibu di The Lost Village dan merupakan sosok yang pemberani, kuat, dan bijaksana.
Sang sutradara, Kelly Asbury, juga mengaku senang karena bisa mengajak Julia Roberts ikut serta dalam film besutannya ini. Menurutnya, kinerja bintang Erin Brockovich (2000) itu sangat luar biasa dan mampu memberi kedalaman pada karakter Smurf yang dia perankan.
Sebelum menggarap film yang awalnya diberi judul Get Smurfy ini, Kelly Asbury sudah berpengalaman menghasilkan film animasi Shrek 2 (2004) dan Gnomeo & Juliet (2011) yang juga cukup sukses di pasaran. Dalam membesut The Lost Village, sutradara yang juga pengarang buku anak-anak itu berusaha menampilkan karakter Smurfs semirip mungkin dengan aslinya, sesuai dengan gambaran dari komik karya Peyo.
Dari trailer-nya, kita bisa melihat suasana Smurfs Village dan Forbidden Forest yang berwarna-warni. Selain itu, Asbury juga menampilkan berbagai macam makhluk ajaib, seperti capung yang menghembuskan api, kelinci hijau yang menyala, serta beraneka bentuk bunga yang indah. Tak lupa, dia juga menyelipkan humor yang menggelitik di tengah petualangan Smurfette dkk.
Film berdurasi 90 menit ini baru akan tayang di Amerika Serikat pada 7 April 2017. Jadi, hingga kini, masih belum diketahui bagaimana pendapat dari para kritikus. Yang pasti, Sony Pictures menargetkan film Smurfs ketiganya tersebut mampu sesukses dua pendahulunya, yang meraup pemasukan masing-masing USD 563 juta dan USD 347 juta, meski rating-nya negatif.
***
Smurfs: The Lost Village
Sutradara: Kelly Asbury
Produser: Jordan Kerner, Mary Ellen Bauder Andrews
Penulis Skenario: Stacey Harman, Pamela Ribon
Berdasarkan: The Smurfs by Peyo
Pemain: Demi Lovato, Rainn Wilson, Joe Manganiello, Jack McBrayer, Danny Pudi, Mandy Patinkin, Julia Roberts
Musik: Christopher Lennertz
Penyunting: Bret Marnell
Produksi: Sony Pictures Animation, The Kerner Entertainment Company
Distributor: Columbia Pictures
Durasi: 90 menit
Rilis: 28 Maret 2017 (Indonesia), 7 April 2017 (Amerika Serikat)
Salah satu keunggulan film horror, bila dibandingkan dengan film action blockbuster, adalah mampu menyajikan tontonan yang menarik (dan menakutkan, tentu saja) dengan bujet minimal. Sebut saja film-film seperti Insidious (2010), Sinister (2012), maupun The Conjuring (2013), yang hanya menelan biaya beberapa juta dollar, tapi mampu meraup pemasukan hingga puluhan, bahkan, ratusan juta dollar.
Salah satu yang paling fenomenal adalah Paranormal Activity (2007). Dengan modal hanya USD 15 ribu, film horror yang menerapkan found footage style tersebut berhasil mengumpulkan pundi-pundi hingga USD 193 juta secara global!
Bulan ini, ada satu lagi film horror yang menggunakan formula bujet minim, tapi menuai respon positif, yaitu The Devil's Candy. Film produksi Snoot Entertainment tersebut sebenarnya sudah dirilis sejak tahun 2015 yang lalu, tapi baru diputar di Amerika Serikat pada 17 Maret 2017 dan tayang di Indonesia mulai hari Rabu (22/3) kemarin.
The Devil's Candy mengisahkan tentang seorang pelukis bernama Jess Hellman (dari namanya aja udah serem: Hellman, manusia neraka. Semacam Hellboy. Hehe) yang diperankan oleh Ethan Embry. Bersama dengan istrinya, Astrid (Shiri Appleby), dan putri semata wayangnya, Zooey (Kiara Glasco), Jess pindah ke rumah impian mereka, di sebuah pedesaan di daerah Texas.
Semula, keluarga kecil tersebut hidup bahagia. Namun, itu tak berlangsung lama. Ternyata, di dalam rumah yang terpencil itu bersemayam roh jahat yang berusaha merasuki Jess dengan cara merusak karya-karya lukisannya. Apa sebenarnya tujuan setan tersebut? Mampukah Jess menyelamatkan diri dan keluarganya?
Jika dilihat dari trailer-nya, film rilisan IFC Midnight tersebut memang jauh dari kesan mewah. Sepertinya, sutradara Sean Byrne memang tidak menggunakan teknologi CGI (computer-generated imagery) atau efek visual khusus yang biasanya menelan biaya tinggi.
Meski demikian, setelah tayang di Toronto International Film Festival (TIFF) pada 13 September 2015 yang lalu, The Devil's Candy berhasil mendapat sambutan positif dari para kritikus. Film yang naskahnya juga ditulis oleh Sean Byrne ini dinilai cukup mencekam dengan plot cerita yang sangat baik.
Meski tidak dibumbui dengan adegan sadis, The Devil's Candy dianggap mampu menyajikan atmosfer mengerikan yang dibangun secara perlahan. Suasananya sangat menegangkan dan membuat bulu kuduk merinding, seperti menonton film horror klasik semacam Rosemary's Baby (1968) dan The Omen (1976).
Satu hal lagi yang membuat The Devil's Candy ini unik, dan berbeda dengan film-film horror lainnya, adalah soal penataan musik yang sangat kuat. Dalam film berdurasi 79 menit tersebut, musik heavy metal menjadi backsound yang sangat dominan. Karakter Jess dan Zooey memang dikisahkan sebagai penggemar Metallica dan selalu memutar musik-musik cadas di mobil mereka.
Salah satu penata musik di The Devil's Candy adalah Sunn O))), sebuah band metal eksperimental asal Seattle. Tak heran, di setiap adegan penting, kabarnya, selalu muncul raungan gitar yang memekakkan telinga dan membuat suasana semakin mencekam. Clem Bastow dari The Guardian, bahkan, sampai menyebut film besutan Sean Byrne ini sebagai film horror metal.
***
The Devil's Candy
Sutradara: Sean Byrne
Produser: Jess Calder, Keith Calder
Penulis Skenario: Sean Byrne
Pemain: Ethan Embry, Shiri Appleby, Kiara Glasco, Pruitt Taylor Vince, Craig Nigh, Marco Perella
Musik: Mads Heldtberg, Michael Yezerski, Sunn O)))
Sinematografi: Simon Chapman
Penyunting: Andy Canny
Produksi: Snoot Entertainment
Distributor: IFC Midnight
Durasi: 79 menit
Rilis: 13 September 2015 (TIFF), 17 Maret 2017 (Amerika Serikat), 22 Maret 2017 (Indonesia)
Rating (hingga 22 Maret 2017)
IMDb: 6,7/10
Rotten Tomatoes: 93%
Meski menjadi salah satu planet tetangga yang paling dekat dengan Bumi, Mars masih menyimpan berjuta misteri hingga kini. Berbagai teori menyatakan, planet merah ini, dulunya, berjuta-juta tahun yang lampau, pernah dihuni oleh makhluk hidup. Namun, entah mengapa, mungkin karena bencana yang maha dahsyat, seperti yang memusnahkan dinosaurus dari muka Bumi, bentuk kehidupan itu tidak pernah dijumpai lagi.
Jika dibandingkan dengan Planet Venus, yang juga "dekat" dengan Bumi, lingkungan Mars, secara teori, memang lebih bersahabat bagi kehidupan. Akan tetapi, saat ini, kondisinya sangat mengenaskan. Tidak ideal untuk dihuni oleh manusia. Sangat gersang, seperti hati seorang janda tua yang dulu pernah dikhianati oleh mantan suaminya. Suhu dan tekanan udaranya juga sangat rendah. Komposisinya sebagian besar karbondioksida. Tidak mungkin manusia bisa bernapas dengan bebas di sana.
Hingga kini, misi-misi luar angkasa ke Planet Mars memang terus dilakukan, terutama oleh Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Mereka mengirimkan pesawat tanpa awak, alias robot, yang disebut Mars Curiosity Rover, untuk mengeksplorasi permukaan planet keempat di tata surya tersebut. Dan, mungkin saja, jika Tuhan mengijinkan, juga untuk menemukan jejak-jejak kehidupan di sana!
Kisah tentang pencarian bentuk kehidupan lain di Planet Mars inilah yang diangkat ke layar lebar oleh sutradara Daniel Espinosa dengan judul Life. Film ber-genre sci-fi berbalut horror yang dibintangi oleh Ryan Reynolds dan Jake Gyllenhaal tersebut mulai tayang di bioskop-bioskop Indonesia mulai hari Rabu (22/3) ini.
Life menceritakan tentang enam astronot yang menemukan mikroba jenis baru dalam perjalanan pulang dari Planet Mars menuju International Space Station (ISS). Di dalam stasiun luar angkasa tersebut, mereka melakukan penelitian terhadap sampel yang diyakini sebagai bukti pertama adanya kehidupan di Mars!
Namun, kesuksesan yang semula juga dirayakan oleh seluruh penduduk Bumi tersebut, dalam waktu singkat, langsung berubah menjadi teror yang mengerikan. Organisme asing dari Planet Mars tadi ternyata bisa tumbuh membesar, semakin kuat, dan, bahkan, menjadi makhluk yang mempunyai tingkat kecerdasan tinggi.
Tak pelak, si Alien yang sempat diberi nama Calvin itu kemudian memburu enam kru ISS yang dipimpin oleh Dr. David Jordan (Jake Gyllenhaal) dan Dr. Miranda North (Rebecca Ferguson), yang, ehm, sangat sexy untuk ukuran seorang ilmuwan. Keenam orang tersebut harus menyelamatkan diri mereka, sekaligus membunuh si makhluk asing agar tidak sampai ke Bumi.
Jika dilihat dari trailer-nya, Life memang disiapkan sebagai thriller yang menawarkan ketegangan luar biasa. Kita bisa ikut merasakan ketakutan enam astronot yang melayang-layang di stasiun luar angkasa yang sempit, tanpa medan gravitasi, sambil diburu makhluk ganas yang haus darah. Bisa dibilang, film berdurasi 103 menit ini adalah perpaduan antara Alien (1979) dan Gravity (2013).
Sang sutradara, Daniel Espinosa, mengakui film besutannya tersebut memang terinspirasi dari Alien karya Ridley Scott, yang menjadi film favoritnya. Bedanya, jika Alien-nya Sigourney Weaver yang legendaris itu ber-setting di masa depan dengan teknologi canggih, Life mengambil kisah di masa kini, dengan para tokohnya yang berlatar belakang science. Semacam Gravity, tapi dengan bumbu horror dan darah.
Awalnya, Daniel Espinosa mengajak Ryan Reynolds untuk menjadi pemeran utama. Keduanya memang sudah pernah bekerja sama sebelumnya di Safe House (2012). Dalam film yang juga dibintangi oleh Denzel Washington dan Vera Farmiga tersebut, Reynolds berperan sebagai agen CIA bernama Matt Weston.
Namun, dalam perkembangannya, Reynolds ternyata tidak bisa fokus karena jadwalnya bentrok dengan syuting The Hitman's Bodyguard (2017). Suami Blake Lively tersebut tidak mundur dari Life, tetapi peran utamanya diserahkan kepada Jake Gyllenhaal. Dia kemudian hanya menjadi pemeran pendukung.
Bagi Jake G, ini adalah pertama kalinya dia beradu akting dengan Ryan Reynolds. Selain itu, Life adalah film perdananya yang bertema luar angkasa. Sebelum ini, aktor yang pernah masuk nominasi Piala Oscar lewat Brockback Mountain (2006) itu lebih sering tampil di film-film drama dan komedi.
Selain mengusung tiga nama beken, Jake Gyllenhaal, Rebecca Ferguson dan Ryan "Deadpool" Reynolds, yang memerankan karakter Roy Adams, Life juga diperkuat oleh tiga aktor dan aktris dari berbagai etnis. Antara lain, Hiroyuki Sanada, Ariyon Bakare dan Olga Dihovichnaya. Mereka berperan sebagai kru ISS, yang pada kenyataannya memang dihuni oleh para astronot dari berbagai negara.
Berkebalikan dengan Jake G, Life adalah film luar angkasa ketiga yang pernah dibintangi oleh Hiroyuki Sanada. Sebelumnya, aktor asal Jepang itu sudah pernah tampil di Sunshine (2007) bareng Cillian Murphy, Chris Evans dan Rose Byrne, serta di serial televisi Extant (2014). Tampaknya, bintang 47 Ronin (2013) itu memang hobi berperan sebagai astronot.
Pada mulanya, film Life yang diproduksi Skydance Media ini bakal dirilis oleh Paramount Pictures. Namun, akhirnya batal dan hak pendistribusiannya diambil alih oleh Columbia Pictures yang dimiliki oleh Sony. Jadwal rilisnya kemudian juga dimajukan, dari 26 Mei 2017 menjadi 24 Maret 2017. Hal tersebut untuk menghindari persaingan dengan jagoan Disney, Pirates of the Caribbean: Dead Men Tell No Tales (2017).
Tanggal 24 Maret dipilih karena bertepatan dengan Memorial Day, yang merupakan hari peringatan untuk mengenang para pahlawan nasional Amerika Serikat yang telah gugur. Hal tersebut sesuai dengan kisah film Life yang menyelipkan tentang kepahlawanan para astronot dan ilmuwan di luar angkasa.
Setelah menggelar world premiere di South by Southwest Film Festival (SXSW) pada 18 Maret 2017, upaya sutradara Daniel Espinosa dalam memadukan ketegangan yang dramatis ala Gravity dengan sci-fi horror ala Alien tampaknya cukup berhasil. Life mendapat respon cukup positif dari para penonton dan kritikus.
***
Life
Sutradara: Daniel Espinosa
Produser: David Ellison, Dana Goldberg, Bonnie Curtis, Julie Lynn
Penulis Skenario: Rhett Reese, Paul Wernick
Pemain: Jake Gyllenhaal, Rebecca Ferguson, Ryan Reynolds, Hiroyuki Sanada, Ariyon Bakare, Olga Dihovichnaya
Musik: Jon Ekstrand
Sinematografi: Seamus McGarvey
Penyunting: Frances Parker, Mary Jo Markey
Produksi: Skydance Media
Distributor: Columbia Pictures
Durasi: 103 menit
Budget: USD 58 juta
Rilis: 18 Maret 2017 (SXSW), 22 Maret 2017 (Indonesia), 24 Maret 2017 (Amerika Serikat)
Go Go Power Rangers! Generasi yang tumbuh pada era 1990-an pasti tak asing dengan Mighty Morphin Power Rangers. Serial televisi yang mengisahkan tentang sekelompok ababil asal Angel Grove, California, dengan kekuatan super tersebut menjadi tontonan wajib kala itu. Bisa dibilang, belum sah disebut sebagai anak gaul jika belum menonton Power Rangers.
Hari Rabu (22/3) ini, para fans lawas Power Rangers bisa bernostalgia. Lionsgate resmi merilis versi layar lebar dari tim superhero yang kisah aslinya diadaptasi dari serial asal Jepang, Kyoryu Sentai Zyuranger, tersebut.
Seperti halnya Goggle V yang legendaris itu, Kyoryu Sentai Zyuranger merupakan bagian dari serial Super Sentai yang diproduksi oleh Toei Company. Dalam bahasa Jepang, Sentai (bukan Hentai #eh) artinya pasukan khusus. Saban Entertainment dari Amerika Serikat kemudian mengadaptasinya menjadi versi Barat dan merilisnya dengan judul Mighty Morphin Power Rangers (MMPR) pada tahun 1993.
Sementara itu, Power Rangers terbaru yang diproduksi oleh Lionsgate ini sebenarnya bukan film layar lebar pertama. Sebelumnya, sudah ada dua film yang dirilis oleh 20th Century Fox, yaitu Mighty Morphin Power Rangers: The Movie (1995) dan Turbo: A Power Rangers Movie (1997). Namun, ketiganya tidak berkaitan. Versi tahun 2017 ini merupakan reboot, alias mulai dari awal.
Kisahnya tentang lima ababil yang bersekolah di kota kecil, Angel Grove. Secara kebetulan, salah seorang dari mereka yang bernama Billy Cranston (RJ Cyler), yang juga mengidap autisme, menemukan sebuah batu misterius. Ternyata, itu adalah Zeo Crystal, yang memiliki kemampuan untuk mengubah lima bocah tersebut menjadi Ranger dengan kekuatan super.
Kelima superhero baru tersebut kemudian dilatih oleh Zordon (Bryan Cranston), mantan Red Ranger yang usianya sudah sangat, sangat uzur, alias berjuta-juta tahun. Dia dibantu oleh Alpha 5 (Bill Hader), sebuah robot imut yang bisa berubah-ubah menjadi berbagai bentuk.
Seperti di versi serialnya, yang menjadi tokoh antagonis di Power Rangers versi film ini adalah Rita Repulsa, yang diperankan oleh MILF sexy, Elizabeth Banks. Sosok alien dengan kostum khas berwarna hijau itu sebenarnya mantan Green Ranger. Seperti Zordon, umurnya juga sangat, sangat tua, yaitu 65 juta tahun.
Dengan dibantu oleh dua monster pengikutnya, Goldar dan Putties, Rita Repulsa menginvasi Bumi dan berusaha mencuri Zeo Crystal, yang menjadi kunci kesaktian Power Rangers. Mampukah lima superhero ababil yang belum berpengalaman itu menghentikan rencana jahat tante-tante dari galaxy lain tersebut?
Menurut sang sutradara, Dean Israelite, Power Rangers garapannya ini bakal menawarkan sesuatu yang baru dan berbeda. Alur ceritanya disesuaikan dengan kondisi terkini dan merupakan pengembangan dari serial aslinya. Oleh karena itu, kata-kata Mighty Morphin akhirnya dia hilangkan dari judul film.
Bagi Israelite, me-reboot Power Rangers adalah sebuah tantangan besar. Sebab, para fans lawas pasti bakal membandingkan versi orisinal dengan versi terbarunya. Meski demikian, sutradara Project Almanac (2015) itu yakin karyanya kali ini mampu bersaing untuk menggaet penggemar baru, terutama di tengah menjamurnya film-film superhero milik Marvel dan DC Comics.
Jika ditilik dari trailer perdananya yang dirilis pada bulan Oktober 2016 yang lalu, Power Rangers versi Israelite ini memang jauh berbeda dengan serial aslinya yang tayang pada 1993-1995. Mulai dari alur cerita, sinematografi, hingga desain kostum para Ranger tampak lebih futuristis.
Lionsgate, selaku produser, memang menggelontorkan dana cukup besar demi mewujudkan sinematografi yang apik. Efek visual tampaknya menjadi jualan utama dari Power Rangers versi terbaru yang menelan bujet hingga USD 105 juta ini.
Teknologi CGI (computer-generated imagery) yang mahal, antara lain, digunakan untuk menyajikan adegan tempur yang penuh ledakan antara para Ranger melawan Rita Repulsa. Selain itu, efek CGI juga diterapkan untuk menampilkan Megazord, yaitu kumpulan robot Power Rangers raksasa, yang menurut Israelite bentuknya mirip T-Rex dan sangat keren tersebut.
Perbedaan lainnya, dalam versi original, lima remaja yang menjadi Power Rangers adalah anak-anak yang berprestasi dan populer di sekolah. Suasana Angel Grove juga digambarkan dekat dengan pantai dan sangat cerah. Berbeda dengan versi filmnya.
Kali ini, yang menjadi Power Rangers adalah para ababil yang bermasalah. Ada yang autis, ada yang korban bullying, ada yang terlibat kasus kriminal, dan, bahkan, ada yang lesbian. Setting Angel Grove juga lebih banyak ditampilkan pada malam hari. Suasananya gelap. Tidak heran, versi yang terbaru ini dianggap sebagai versi kelam dari serial original-nya.
Oh, iya. Yang menjadi lesbian di versi film ini adalah Trini, alias Yellow Ranger, yang diperankan oleh Becky G. Power Rangers yang naskahnya ditulis oleh John Gatins ini pun resmi menjadi film blockbuster pertama yang menampilkan karakter superhero LGBT!
Meski mengusung isu kekinian, sutradara Dean Israelite juga mengaku tidak meninggalkan ciri khas Power Rangers, yaitu menjaga adanya kesetaraan gender. Selain itu, para anggotanya juga terdiri dari berbagai etnis dan ras. Menurutnya, keberagaman menjadi hal yang paling penting, sehingga tim produksi memutuskan untuk mempertahankan karakter asli dari setiap pemain.
Kelima jagoan Power Rangers memang multikultural. Selain Billy / Blue Ranger (RJ Cyler), yang berkulit hitam, dan Trini / Yellow Ranger (Becky G), si cewek latino, juga ada Zack / Black Ranger (Ludi Lin) yang bermata sipit, alias Cina banget. Sementara itu, Jason / Red Ranger (Dacre Montgomery) dan Kimberly / Pink Ranger (Naomi Scott) merupakan bule tulen.
Bedanya dengan serial televisi, kali ini tidak ada karakter Tommy, alias White Ranger, yang dulu menjadi pacar Pink Ranger. Ada rumor, Tommy sengaja disimpan dan bakal muncul di sekuelnya. Mungkin, petunjuknya akan ditampilkan di mid-credits scene, ala film-film superhero Marvel. Lionsgate memang berniat membuat seri lanjutan jika reboot Power Rangers ini sukses.
Hanya saja, harapan para produser untuk meraup pemasukan besar, tampaknya, bakal menemui jalan terjal. Power Rangers dirilis hanya beda sepekan dengan Beauty and the Beast, yang kini sedang merajai bioskop-bioskop di seluruh dunia. Respon dari para kritikus, sejauh ini, juga kurang positif. Kita tunggu saja, apakah film berdurasi 124 menit ini pada akhirnya mampu mendobrak box office.
***
Power Rangers
Sutradara: Dean Israelite
Produser: Haim Saban, Brian Casentini, Marty Bowen, Wyck Godfrey
Penulis Skenario: John Gatins
Pengarang Cerita: Matt Sazama, Burk Sharpless, Michele Mulroney, Kieran Mulroney
Berdasarkan: Power Rangers by Haim Saban, Super Sentai by Toei Company
Pemain: Dacre Montgomery, Naomi Scott, RJ Cyler, Becky G, Ludi Lin
Bill Hader, Bryan Cranston, Elizabeth Banks
Musik: Brian Tyler
Sinematografi: Matthew J. Lloyd
Penyunting: Martin Bernfeld, Dody Dorn
Produksi: Lionsgate, Temple Hill Entertainment
Distributor: Lionsgate
Durasi: 124 menit
Budget: USD 105 juta
Rilis: 22 Maret 2017 (Regency Village Theater & Indonesia), 24 Maret 2017 (Amerika Serikat)
Beauty and the Beast (1991) adalah salah satu film animasi terbaik yang pernah ditelurkan oleh Walt Disney Pictures. Meski sudah 26 tahun berlalu, para penonton masih ingat dengan nuansa magis yang disajikan oleh film musikal romantis yang diadaptasi dari dongeng tradisional asal Prancis tersebut.
Tak heran, saat versi live-action-nya bakal diproduksi oleh Disney, para fans lawas maupun baru langsung menantikannya dengan antusias. Dan, penantian panjang itu akhirnya tuntas saat film yang dibintangi oleh Emma Watson tersebut dirilis secara global pada hari Jumat (17/3) ini.
Kisahnya kurang lebih masih sama dengan Beauty and the Beast versi original. Seorang pangeran tampan dikutuk menjadi monster yang mengerikan karena kesombongannya. Si Buruk Rupa (Dan Stevens) kemudian menahan si Cantik Belle (Emma Watson) di kastilnya. Dia harus mendapatkan cinta dari kembang desa tersebut supaya bisa kembali ke wujud aslinya sebagai manusia.
Belle, kali ini, digambarkan sebagai cewek yang cerdas. Dia adalah seorang inventor yang eksentrik, seperti bokapnya, Maurice (Kevin Kline). Bahkan, Belle mampu menciptakan sebuah "mesin cuci" agar ia tetap bisa melakukan hobinya, yaitu membaca buku, sambil menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
Dalam beberapa film terakhirnya, baik animasi maupun live-action, Disney memang berusaha menampilkan karakter cewek yang kuat dan pemberani, bukan lagi sosok princess yang lemah dan kemayu seperti dulu. Sebut saja Alice in Wonderland (2010), Tangled (2010), Brave (2012), Frozen (2013), Maleficent (2014), Cinderella (2015), hingga Moana (2016), semuanya menyajikan tokoh cewek jagoan.
Emma Watson sendiri menegaskan bahwa Beauty and the Beast versi terbaru ini membawa pesan penting untuk kaum perempuan. Meski tergolong sebagai dongeng, kisahnya tidak melulu tentang cinta dan pangeran tampan. Film berdurasi 129 menit ini mengajarkan kepada perempuan untuk berani menghadapi hambatan yang terjal demi mencapai kebahagiaan mereka sendiri.
Emma Watson juga membantah dugaan para fans bahwa karakter Belle mengalami sindrom Stockholm, yakni timbulnya rasa suka atau cinta dari seorang tawanan kepada penculiknya setelah sekian lama disekap. Menurut Duta PBB untuk gerakan kesetaraan gender He for She tersebut, hubungan Belle dengan Beast diawali oleh rasa benci. Gadis desa itu juga sering melawan kehendak Beast. Jadi, bukan pasrah dan menerima nasib seperti sindrom Stockholm.
Sementara itu, bagi Bill Condon, proyek Beauty and the Beast versi live-action ini adalah sebuah tantangan besar. Menurutnya, versi animasi yang dirilis pada 1991 merupakan karya yang sempurna. Oleh karena itu, sutradara dua seri terakhir The Twilight Saga: Breaking Dawn (2011-2012) tersebut dituntut untuk melebihinya, dan membuat kisah dongeng ini menjadi lebih nyata.
Secara garis besar, Condon mengaku banyak mengadaptasi adegan dari versi animasi Beauty and the Beast menjadi bentuk live action. Dia menggunakan teknologi CGI (computer-generated imagery) untuk menampilkan suasana kastil maupun desa kecil tempat Belle tinggal. Dari trailer-nya, terlihat bahwa semuanya tampak begitu detail dan nyata.
Seperti versi animasinya, satu hal lagi yang sangat penting dari Beauty and the Beast versi live-action ini adalah unsur musikalnya. Emma Watson, selaku pemeran utama, tak luput ikut menyumbangkan suaranya. Selama tiga bulan, cewek manis kelahiran 15 April 1990 itu berada di kamp latihan. Empat kali dalam seminggu dia berlatih menyanyi. Selain itu, pemeran Hermione Granger dalam franchise Harry Potter tersebut berlatih menari lima kali seminggu, sekaligus melakukan reading, alias membaca naskah, tiga kali seminggu.
Untuk menggarap scoring, Disney kembali mempercayakan kepada Alan Menken, yang dulu juga menjadi sound director versi animasinya. Bersama Howard Ashman, komposer pemenang delapan kali Piala Oscar tersebut mengantarkan Beauty and the Beast (1991) meraih dua Academy Awards kategori Best Original Score dan Best Song, lewat lagu Tale as Old as Time yang kala itu dibawakan oleh Celine Dion dan Peabo Bryson.
Kali ini, di versi live-action-nya, theme song legendaris Beauty and the Beast tersebut dinyanyikan ulang oleh duet Ariana Grande dan John Legend. Tak ketinggalan, juga ada Josh Groban yang membawakan original soundtrack berjudul Evermore.
Sutradara Bill Condon mengaku merinding saat mendengarkan lagu ciptaan Menken, yang memang sangat pas dan sudah melekat di pikiran orang-orang sejak dua dekade yang lalu. Apalagi, saat adegan Beast menyanyikan lagu Evermore untuk menggambarkan perasaannya ketika mengembalikan Belle kepada ayahnya, Condon menjamin para penonton pasti bakal merinding.
Selain Belle dan Beast, sebenarnya ada satu tokoh lagi yang sangat penting, yaitu Gaston (Luke Evans). Dia adalah pemuda desa kaya raya yang naksir berat kepada Belle. Namun, cintanya bertepuk sebelah tangan, alias di-friendzone, alias di-PHP. Seperti kamu nge-PHP aku.. #curcol
Saat diwawancarai, Luke Evans mengaku harus mengikuti audisi dua kali untuk mendapatkan peran Gaston. Bahkan, aktor berusia 37 tahun tersebut sampai harus bernyanyi di depan sutradara Bill Condon, sebelum akhirnya terpilih dalam jajaran cast Beauty and the Beast.
Menurut Evans, tokoh Gaston yang diperankannya memang bukan karakter yang disukai penonton. Dia adalah tokoh antagonis yang arogan dan keras kepala. Namun, meski nyebelin, Evans menegaskan Gaston tetap punya sisi yang menarik.
Oleh karena itu, pemeran Owen Shaw dalam franchise Fast & Furious itu berusaha agar para penonton tidak terlalu membenci sosok Gaston sejak awal. Evans ingin menampilkan sisi lain dari karaketer villain tersebut dengan menambahkan beberapa unsur komedi, terutama dalam hubungannya dengan tokoh LeFou yang diperankan oleh Josh Gad. Intinya, aktor asal Wales itu ingin membuat para penonton enjoy dengan Gaston.
Evans juga sangat berterima kasih kepada pembuat animasi Beauty and the Beast, karena film jadul tersebut sangat memudahkannya dalam mendapatkan gambaran tentang Gaston. Saat dirilis pada 1991, Evans, yang kala itu masih berusia 12 tahun, mengaku sempat menonton di bioskop bersama ibunya. Dia ingat, sang ibu lalu membeli CD-nya karena Beauty and the Beast versi animasi tersebut memang bagus banget dan lagu-lagunya juga enak didengar.
Seperti halnya Emma Watson dan Dan Stevens, Luke Evans juga harus menyanyi di versi live-action ini. Bahkan, hal itu menjadi bagian favoritnya. Dengan mengenakan kostum klasik, saat sedang break, para pemain Beauty and the Beast selalu bernyanyi bersama. Alhasil, suasana syutingnya setiap hari menjadi sangat menyenangkan dan fun.
Selain Emma Watson, Dan Stevens, Luke Evans, dan Josh Gad, sebenarnya ada dua aktor terkenal lain yang terlibat dalam Beauty and the Beast, yaitu Ewan McGregor dan Ian McKellen. Namun, wujud mereka berdua tidak tampak karena hanya menjadi pengisi suara si tempat lilin Lumiere dan si jam kayu Cogsworth.
Di samping berbagai hal positif di atas, film yang menelan bujet hingga USD 160 juta ini juga tidak lepas dari isu negatif. Terutama, yang berkaitan dengan munculnya karakter gay dalam diri LeFou yang diperankan oleh Josh Gad.
Sosok yang menjadi tangan kanan Gaston tersebut sebenarnya tidak benar-benar terlihat sebagai gay jika kita hanya menonton trailer-nya. Bahkan, para penonton mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa LeFou adalah seorang gay seandainya sutradara Bill Condon tidak membocorkannya saat diwawancarai oleh majalah Attitude pada awal bulan Maret yang lalu.
Menurut Condon, sosok LeFou di satu sisi sangat ingin menjadi Gaston, tapi di sisi lain juga ingin "mencium" Gaston. Condon sebenarnya tidak bermaksud memunculkannya. Bahkan, tidak ada di skenario yang menyebut LeFou sebagai gay. Namun, akhirnya dia berpikir bahwa itu bagus juga. Momen gay pertama yang muncul di film Disney.
Para anti-LGBT pun langsung bereaksi keras. Mereka menuduh Disney sedang mencoba memasukkan agenda LGBT dalam pikiran dan hati anak-anak serta menjadikan karakter gay sebagai sesuatu yang wajar. Akibatnya, beberapa bioskop di Amerika Utara, terutama yang dimiliki oleh organisasi berbasis agama, memboikot Beauty and the Beast dan tidak akan menayangkannya.
Josh Gad, selaku pemeran LeFou, berusaha meredakan kontroversi tersebut. Menurutnya, karakter gay hanya menjadi bumbu dan bukan sesuatu yang penting. Para penonton sebaiknya fokus pada inti cerita Beauty and the Beast versi terbaru ini yang dikemas secara modern dengan menggambarkan keinklusifan dan mengikuti perkembangan zaman.
Sutradara Bill Condon juga menyatakan bahwa segala kritik tentang karakter gay ini sudah berlebihan. Menurutnya, para penonton bakal paham bahwa itu hanya bagian kecil dari keseluruhan filmnya dan tidak perlu dibesar-besarkan.
Apa yang dikatakan Condon itu mungkin benar. Meski diterpa oleh isu gay, setelah tayang perdana di Spencer House, London, Inggris pada 23 Februari 2017 dan di El Capitan Theatre, Hollywood, California pada 6 Maret 2017 yang lalu, Beauty and the Beast versi live-action ini mendapat respon cukup positif dari berbagai kritikus dan situs review. Penjualan tiket presale-nya di situs Fandango, bahkan, menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah, mengalahkan rekor film Disney lainnya, Finding Dory (2016).
***
Beauty and the Beast
Sutradara: Bill Condon
Produser: David Hoberman, Todd Lieberman
Penulis Skenario: Stephen Chbosky, Evan Spiliotopoulos
Berdasarkan: Disney's Beauty and the Beast, Beauty and the Beast
by Jeanne-Marie Leprince de Beaumont
Pemain: Emma Watson, Dan Stevens, Luke Evans, Kevin Kline, Josh Gad, Ewan McGregor, Stanley Tucci, Audra McDonald, Gugu Mbatha-Raw, Ian McKellen, Emma Thompson
Narator: Hattie Morahan
Musik: Alan Menken
Sinematografi: Tobias Schliessler
Penyunting: Virginia Katz
Produksi: Walt Disney Pictures, Mandeville Films
Distributor: Walt Disney Studios Motion Pictures
Durasi: 129 menit
Budget: USD 160 juta
Rilis: 23 Februari 2017 (Spencer House), 17 Maret 2017 (Amerika Serikat & Indonesia)
Pernah menonton Disturbia yang melejitkan nama Shia LaBeouf pada tahun 2007? Mulai hari Rabu (15/3) kemarin, di beberapa bioskop Indonesia sedang diputar Dark Summer, yang plotnya hampir mirip dengan film yang juga dibintangi oleh Carrie-Anne Morse tersebut. Tapi, kali ini berbumbu horror, bukan hanya thriller.
Seperti halnya Disturbia, Dark Summer mengisahkan tentang seorang pemuda ababil bernama Daniel (Keir Gilchrist) yang sedang menjalani tahanan rumah selama musim panas. Bocah yang baru berusia 17 tahun itu dihukum karena kedapatan nge-stalking teman sekelasnya, seorang cewek caem bernama Mona Wilson (Grace Phipps), secara online.
Suatu ketika, Mona ditemukan tewas bunuh diri. Daniel pun menjadi parno dan yakin bahwa arwah cewek sexy yang bakal membuat para cowok kehabisan tisu itu menghantui dirinya. Apalagi, Daniel tidak bisa kemana-mana dan sedang sendirian di rumah karena ibunya ke luar kota untuk urusan bisnis.
Berbagai teror misterius pun terjadi. Benarkah itu perbuatan hantu Mona? Mampukah Daniel bertahan dan melewati musim panas yang mencekam tersebut?
Selain mengandalkan para pemain muda seperti Keir Gilchrist dan Grace Phipps, Dark Summer juga dibintang oleh aktor kawakan, Peter Stormare. Pria asal Swedia itu kerap menjadi tokoh antagonis dan muncul dalam berbagai film Hollywood, seperti Fargo (1996), Armageddon (1998), Bad Boys II (2003), Constantine (2005) dan John Wick: Chapter 2 (2017)-nya Keanu Reeves yang baru dirilis bulan lalu.
Di kursi sutradara, yang membesut Dark Summer adalah Paul Solet. Namanya mulai dikenal setelah menelurkan Grace (2009). Film horror yang kisahnya berdasarkan pada film pendek berjudul sama rilisan tahun 2006 itu mendapat respon cukup positif dari berbagai kritikus dan situs review.
Sayangnya, kali ini, Paul Solet gagal mengulangi kesuksesan Grace. Setelah dirilis secara terbatas oleh IFC Midnight pada 9 Januari 2015 yang lalu, Dark Summer mendapat tanggapan negatif. Film horror yang hanya berdurasi 81 menit ini dinilai tidak mampu menyajikan ketegangan yang mencekam seperti Disturbia-nya Shia LaBeouf.
***
Dark Summer
Sutradara: Paul Solet
Produser: Ross Dinerstein
Penulis Skenario: Mike Le
Pemain: Keir Gilchrist, Stella Maeve, Maestro Harrell, Grace Phipps, Peter Stormare
Musik: Austin Wintory
Sinematografi: Zoran Popovich
Penyunting: Benjamin Cassou
Produksi: Content Media
Distributor: IFC Midnight
Durasi: 81 menit
Rilis: 9 Januari 2015 (Amerika Serikat), 15 Maret 2017 (Indonesia)
Skandal Bre-X sempat heboh dan menjadi buah bibir di Indonesia pada bulan Maret 1997. Skandal yang terjadi pada masa akhir rezim Orde Baru tersebut kemudian dikenal sebagai skandal tambang emas terbesar yang pernah mengguncang dunia.
Kasus Bre-X bermula setelah perusahaan tambang asal Kanada tersebut mengumumkan penemuan cadangan emas sebanyak jutaan ton di pedalaman Busang, Kalimantan Timur. Hal itu membuat harga saham Bre-X langsung melejit.
Namun, di kemudian hari, terungkap bahwa penemuan tambang emas itu merupakan tipuan belaka. Berdasarkan penelitian tim independen, ternyata, tidak ada emas seperti yang diklaim oleh Bre-X. Harga sahamnya pun langsung terjun bebas. Uang puluhan milyar dollar Amerika Serikat milik instansi maupun masyarakat seketika menguap.
Kisah nyata tentang penipuan tambang emas terbesar di dunia itulah yang diangkat ke layar lebar oleh sutradara Stephen Gaghan dengan judul Gold. Plotnya, bisa dibilang, sangat mirip. Hanya saja, untuk menghindari tuntutan hukum di kemudian hari, nama para karakter dan perusahaan di film yang baru tayang di Indonesia mulai hari Rabu (15/3) ini dibuat berbeda dengan kejadian aslinya.
Yang menjadi tokoh utama di film Gold adalah Kenny Wells (Matthew McConaughey), seorang pengusaha yang tengah dihimpit kesulitan finansial. Meski hampir bangkrut, Wells yang meneruskan bisnis tambang keluarganya tersebut tetap berusaha mencari investor.
Secercah harapan kemudian tampak setelah Wells bertemu ahli geologi bernama Michael Acosta di Hotel Jakarta Palace pada 1988. Dia mengajak bekerja sama dan menjanjikan nasib mereka bakal berubah jika bisa menemukan tambang emas di Borneo, alias Kalimantan, pulau terbesar di Indonesia.
Dengan modal menipis, Wells, yang aslinya seorang prospektor tambang, akhirnya sepakat dengan tawaran tersebut. Pengalaman Acosta yang mengenal hutan belantara di Indonesia menjadi salah satu nilai plus. Selain itu, dia juga memiliki kedekatan dengan masyarakat setempat, yaitu Suku Dayak, yang menjadi penduduk asli Pulau Kalimantan.
Perjuangan Wells dan Acosta untuk mencari tambang emas tidaklah mudah. Mereka harus tinggal di hutan dengan cuaca yang ekstrem. Proses penggalian yang mereka lakukan hanya menghasilkan sampel yang buruk. Para pekerja mulai meninggalkan mereka. Bahkan, Wells nyaris mati karena terserang penyakit malaria.
Namun, usaha keras Wells kemudian menuai hasil. Acosta melaporkan telah menemukan kandungan emas yang sangat besar di kawasan tersebut. Tak pelak, kabar tersebut langsung tersebar dan membuat harga saham perusahaan milik Wells, Washoe Mining Corporation, melambung tinggi di Bursa Efek New York, alias Wall Street.
Hanya saja, seperti kisah aslinya, kemudian terungkap bahwa estimasi kandungan emas yang berlimpah itu ternyata hanya khayalan belaka. Acosta telah melakukan penipuan. Dia mencampur sampel bebatuan dengan emas, sehingga yang muncul di laporan laboratorium seolah-olah kandungan emas di Kalimantan tersebut memang yang terbesar di dunia.
Karakter Michael Acosta di film Gold ini hampir pasti merujuk pada Michael De Guzman, seorang geolog asal Filipina, beristrikan orang Dayak, yang mengklaim telah menemukan cadangan emas jutaan ton di Kalimantan pada tahun 1993.
Setelah skandal Bre-X terungkap, De Guzman dikabarkan tewas. Dia melompat dari helikopter yang dikemudikan oleh seorang pilot, dari ketinggian 800 meter. Mayat De Guzman kemudian ditemukan di rawa-rawa di tengah hutan Kalimantan.
Namun, banyak pihak yang meyakini bahwa De Guzman masih hidup. Mayat yang ditemukan oleh tim ekspedisi di belantara Kalimantan tersebut diragukan sebagai mayatnya. Apalagi, pemerintah rezim Orde Baru kala itu, kabarnya, tak mengizinkan mayatnya diserahkan kepada keluarganya di Filipina.
Skandal Bre-X ini sempat ditulis menjadi sebuah buku berjudul Sebongkah Emas di Kaki Pelangi oleh Bondan "Maknyus" Winarno. Buku terbitan tahun 1997 itu merupakan hasil investigasi mendalam yang dilakukan oleh pakar kuliner sekaligus mantan wartawan tersebut. Di dalamnya, termasuk penjelasan tentang kejanggalan di balik "tewas"-nya De Guzman.
Sementara itu, sang tokoh utama, Kenny Wells, jelas merupakan representasi dari David Walsh, CEO Bre-X Minerals Limited, yang di film Gold ini diubah namanya menjadi Washoe Mining Corporation, yang berlokasi di Nevada, Amerika Serikat. Padahal, Bre-X aslinya berasal dari Kanada.
Selain Washoe, perusahaan lain yang muncul di film Gold adalah Newport dan Hancock. Kemungkinan besar, Newport ini didasarkan pada perusahaan yang menjadi rival utama Bre-X, yaitu Freeport, yang menguasai tambang emas di Papua.
Yang menarik, di film berdurasi 121 menit ini juga ada sosok Danny Soeharto. Dilihat dari namanya, karakter yang satu ini jelas merujuk pada salah satu putra Soeharto, presiden Indonesia dan pemimpin rezim Orde Baru kala itu.
Karakter Danny, yang diperankan oleh aktor asal Thailand, dikisahkan sangat flamboyan dan gemar pesta. Dia menjalin kesepakatan dengan Wells dan mendapat jatah saham 40%. Dengan beking Danny, posisi Washoe Mining Corporation menjadi kuat. Sang pesaing, Newport, yang semula bekerja sama dengan tentara untuk mengusir mereka dari Kalimantan, akhirnya menyerah dan bertekuk lutut.
Film Gold ini sebenarnya bukan melulu soal uang, saham, penipuan, emas, dan korupsi. Sebagai pemanis, juga ada Bryce Dallas Howard. Bintang Jurassic World (2015) tersebut memerankan karakter Kay, yang menjadi pacar Wells. Oleh karena itu, beberapa adegan percintaan juga menghiasi film rilisan TWC-Dimension ini.
Sementara itu, Matthew McConaughey mengaku bersedia membintangi sekaligus memproduseri Gold karena terkesan dengan naskahnya. Peraih Piala Oscar lewat Dallas Buyers Club (2013) yang terkenal dengan "Alright, alright, alright"-nya itu memang termasuk aktor yang selektif dalam memilih peran. Dalam berakting, ia tidak mementingkan uang dan sangat memperhatikan kualitas skenarionya.
Edgar Ramirez, pemeran Michael Acosta, memuji dedikasi McConaughey selama penggarapan film Gold. Bintang Interstellar (2014) itu menaikkan berat badannya sampai 21 kilogram dan membotaki kepalanya demi peran sebagai Kenny Wells.
Satu hal yang patut disayangkan, meski ber-setting di Indonesia, proses syuting film berbujet USD 20 juta ini dilakukan di Thailand. Alhasil, ada beberapa penggambaran yang tak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Misalnya, ada perahu melintas di sungai pinggir gedung hotel. Lalu, terlihat banyak taxi berwarna kuning. Semua itu adalah ciri khas suasana Kota Bangkok, bukan Jakarta.
Setelah ditayangkan secara luas pada 27 Januari 2017 yang lalu, Gold mendapat respon kurang positif dari para kritikus dan situs review. Akting Matthew McConaughey yang impresif juga tidak mampu mengangkat pemasukan film ini, yang hingga kini baru mengumpulkan USD 9 juta.
***
Gold
Sutradara: Stephen Gaghan
Produser: Matthew McConaughey, Patrick Massett, John Zinman, Teddy Schwarzman, Michael Nozik
Penulis Skenario: Patrick Massett, John Zinman
Pemain: Matthew McConaughey, Édgar Ramírez, Bryce Dallas Howard, Corey Stoll, Toby Kebbell, Craig T. Nelson, Bruce Greenwood
Musik: Daniel Pemberton
Sinematografi: Robert Elswit
Penyunting: Douglas Crise
Produksi: Boies/Schiller Films, Black Bear Pictures, Highway 61 Films
Distributor: TWC-Dimension
Durasi: 121 menit
Budget: USD 20 juta
Rilis: 30 Desember 2016 (Amerika Serikat), 15 Maret 2017 (Indonesia)
Karyn Kusama mulai dikenal oleh insan perfilman Hollywood setelah menelurkan Girlfight (2000). Film besutan sutradara perempuan kelahiran 21 Maret 1968 tersebut mampu memenangkan Director's Prize dan Grand Jury Prize di Sundance Film Festival serta Prix de la Jeunesse di Cannes Film Festival.
Pada 2005, Kusama mendapat kesempatan untuk menggarap big movies pertamanya, sekaligus film keduanya, yang berjudul Aeon Flux. Sayangnya, film rilisan Paramount Pictures yang dibintangi oleh Charlize Theron tersebut kurang sukses di pasaran, karena "hanya" mampu meraup pemasukan USD 52 juta secara global. Tidak menutupi bujetnya yang mencapai USD 62 juta.
Kapok dengan kegagalan Aeon Flux, Kusama menegaskan tidak bakal lagi menggarap film di mana dia tak punya wewenang untuk mengambil keputusan akhir. Sutradara yang membesut film-film dari studio besar biasanya memang tidak memiliki kontrol penuh. Para produserlah yang berkuasa.
Namun, pada 2009, Kusama cukup sukses saat merilis Jennifer's Body yang dibintangi oleh duo sexy, Megan Fox dan Amanda Seyfried. Film komedi horror tersebut mampu meraih pendapatan USD 31 juta, hampir dua kali lipat dari bujetnya yang mencapai USD 16 juta. Sayangnya, para kritikus memberi tanggapan kurang positif untuk film rilisan 20th Century Fox ini.
Setelah hiatus selama enam tahun, Kusama kembali berkarya pada 2015 yang lalu. Kali ini, dia menghasilkan The Invitation, yang baru tayang di Indonesia mulai hari Jumat (10/3) kemarin. Di Amerika sendiri, film thriller misteri ini hanya dirilis dalam bentuk video-on-demand pada 8 April 2016.
The Invitation mengisahkan tentang suami-istri, Will (Logan Marshall-Green) dan Eden (Tammy Blanchard). Pasangan ini pada mulanya sangat bahagia dan saling mencintai, hingga akhirnya sebuah tragedi merenggut nyawa putra semata wayang mereka. Karena kesedihan yang mendalam, Eden kemudian menghilang. Kabur entah kemana.
Namun, setelah dua tahun berlalu, Eden kembali muncul. Hanya saja, kali ini dia membawa suami baru! Untuk merayakan comeback-nya, Eden pun mengadakan jamuan makan malam dan mengundang teman-teman lamanya untuk reuni. Termasuk, sang mantan, Will.
Karena masih belum move-on dan dihantui oleh kenangan masa lalu, Will semula agak curiga dengan undangan Eden, meski ia tak kuasa untuk menolaknya. Apalagi, setelah Will menemukan bukti-bukti misterius di bekas rumahnya. Agenda mengerikan apa yang sebenarnya disiapkan oleh Eden di balik undangan reuni tersebut?
Pada bulan Mei 2012, saat masa pra-produksi, sempat diumumkan nama-nama tenar semacam Luke Wilson, Zachary "Sylar" Quinto, Topher Grace dan Johnny Galecky bakal membintangi The Invitation. Namun, entah mengapa, semuanya batal. Sebagai gantinya, dipilihlah Logan Marshall-Green, yang berpengalaman membintangi Prometheus (2012) dan bakal tampil di Spider-Man: Homecoming (2017), untuk menjadi pemeran utamanya.
Meski kurang dikenal karena hanya dirilis dalam bentuk video on demand, The Invitation ternyata mendapat respon cukup positif dari para kritikus. Film berbujet minimalis ini, hanya USD 1 juta, dinilai dengan cerdas membangun ketegangan yang sangat mencekam, meski ceritanya berjalan lambat. Bisa dibilang, inilah karya terbaik Karyn Kusama setelah film pertamanya, Girlfight (2000).
***
The Invitation
Sutradara: Karyn Kusama
Produser: Phil Hay, Matt Manfredi, Martha Griffin, Nick Spicer
Penulis Skenario: Phil Hay, Matt Manfredi
Pemain: Logan Marshall-Green, Tammy Blanchard, Michiel Huisman, Emayatzy Corinealdi, Lindsay Burdge, Mike Doyle, Jay Larson, John Carroll Lynch
Musik: Theodore Shapiro
Sinematografi: Bobby Shore
Penyunting: Plummy Tucker
Produksi: Gamechanger Films, Lege Artis, XYZ Films
Distributor: Drafthouse Films
Durasi: 100 menit
Budget: USD 1 juta
Rilis: 13 Maret 2015 (SXSW), 8 April 2016 (Amerika Serikat), 10 Maret 2017 (Indonesia)
Dunia mengenal Neil Armstrong (bersama Edwin Aldrin dan Michael Collins dari Apollo 11) sebagai manusia pertama yang menjejakkan kaki di bulan pada 1969. Namun, beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada 1962, ada satu astronot lagi yang namanya kurang ter-ekspose, yaitu John Glenn, sebagai orang Amerika pertama yang berhasil terbang ke luar angkasa dan mengelilingi orbit Bumi.
Seperti halnya Apollo 11, kesuksesan John Glenn bukanlah kesuksesan pribadi, melainkan hasil kerja keras seluruh tim di NASA (Badan Luar Angkasa Amerika Serikat). Banyak figur-figur tersembunyi yang sebenarnya sangat berjasa dalam mengantarkan Glenn mencatat sejarah, namun tidak diketahui oleh publik. Termasuk di antara mereka adalah tiga orang wanita kulit hitam yang kisahnya diangkat ke layar lebar dengan judul Hidden Figures.
Diadaptasi dari buku non-fiksi berjudul sama karya Margot Lee Shetterly, film yang baru tayang di Indonesia pada hari Jumat (10/3) tersebut mengisahkan tentang tiga ahli matematika, Katherine Johnson (Taraji P. Henson), Dorothy Vaughan (Octavia Spencer), dan Mary Jackson (Janelle Monae). Mereka bertugas menghitung trayektori penerbangan luar angkasa untuk Proyek Mercury dan misi-misi lainnya.
Amerika Serikat, pada tahun 1961, merasa kecolongan setelah Uni Soviet berhasil mengirimkan kosmonot Yuri Gagarin sebagai manusia pertama yang terbang ke luar angkasa. Paman Sam pun bertekad untuk mengejar ketertinggalannya. Hal itu kemudian memicu terjadinya "Perang Bintang" di antara dua negara adidaya tersebut.
Katherine Johnson, figur utama dalam film ini, adalah seorang single mother dengan tiga anak. Kemampuannya yang cemerlang dalam hal matematika membuatnya terpilih masuk dalam Space Task Group di NASA yang memiliki misi untuk membawa manusia mengelilingi orbit Bumi.
Meski membanggakan, bekerja di Space Task Group bukanlah hal yang mudah bagi Katherine yang merupakan golongan minoritas. Bahkan, dobel minoritas. Yang pertama, dia berkulit hitam. Yang kedua, dia juga seorang perempuan, di mana rekan kerjanya semua lelaki berkulit putih. Dua label tersebut sempat membuat dia sulit diterima oleh kelompoknya.
Pada masa itu, diskriminasi ras dan gender memang masih kental di Amerika. Katherine pun harus berjuang mengatasi berbagai macam perlakuan rasis, mulai dari tidak bisa minum kopi dari teko yang sama, hingga kesulitan mencari tempat kalau kebelet pipis, karena Space Task Group tidak menyediakan toilet khusus bagi mereka yang berkulit hitam!
Meski demikian, Katherine tidak berjuang sendirian. Dia ditemani oleh dua orang rekannya, ahli matematika, yang sama-sama berkulit hitam, yaitu Dorothy dan Mary. Ketiga wanita inilah yang berjasa besar dalam memuluskan misi John Glenn menjadi orang Amerika pertama yang berhasil mengelilingi orbit Bumi.
Selain dua rekan senasib sepenanggungan tersebut, Katherine cukup beruntung karena Space Task Group dipimpin oleh seorang direktur yang sangat toleran, yaitu Al Harrison (Kevin Costner). Kalimatnya yang legendaris adalah "Here at NASA, we all pee the same color."
Adapun, sutradara Theodore Melfi mengakui alasannya menggarap Hidden Figures, selain karena berkaitan dengan sejarah Amerika yang belum terungkap, adalah untuk lebih memperkenalkan sosok-sosok wanita kuat seperti Katherine Johnson, Dorothy Vaugn dan Mary Jackson, karena yang mereka lakukan sangat penting bagi kemajuan umat manusia.
Selain itu, lewat Hidden Figures, Melfi ingin menyampaikan sebuah potret besar. Bahwa keberhasilan Amerika menyaingi, bahkan, mengalahkan Uni Soviet dalam program luar angkasa, tak lain, berkat jasa orang-orang yang sebelumnya disepelekan dan termarginalkan tersebut. Merekalah sosok-sosok tersembunyi di balik kesuksesan NASA.
Satu hal lagi, meski menceritakan tentang perjuangan tiga perempuan Afro-Amerika, Melfi menolak jika Hidden Figures dilabeli sebagai filmnya orang kulit hitam. Menurutnya, film berdurasi 127 menit ini adalah film tentang tiga orang wanita luar biasa yang telah melakukan hal luar biasa. Jadi, bukan semata-mata karena mereka berbeda (berkulit hitam) yang kemudian menonjol dan menjadi perhatian.
Secara personal, Melfi merasa dekat dengan tiga single mother yang menjadi karakter utama dalam Hidden Figures, karena dia sendiri juga dibesarkan oleh seorang ibu tunggal. Sama seperti ibunya, tiga wanita tersebut juga ingin melakukan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Alhasil, saat menggarap film ini, Melfi seperti melihat cerminan hidup yang dijalaninya sejak kecil.
Sebelum memutuskan untuk membesut Hidden Figures, Melfi sebenarnya sempat ditawari untuk menyutradarai Spider-Man: Homecoming (2017)-nya Tom Holland. Namun, alkhirnya dia menolak tawaran Marvel tersebut.
Melihat respon positif yang diterima Hidden Figures, Melfi tampaknya tidak menyesali keputusannya yang telah menolak Spider-Man. Meski tidak berhasil meraih Piala Oscar, Hidden Figures terbukti mampu bersaing di Academy Awards dan masuk nominasi Film Terbaik.
Sementara itu, sebagai pemeran Katherine Johnson, sebelumnya sempat beredar dua nama beken, Viola Davis dan Oprah Winfrey. Namun, Melfi akhirnya menjatuhkan pilihannya pada Taraji P. Henson. Dia mengaku sudah sejak lama ingin bekerja sama dengan bintang serial Empire tersebut.
Sebagai tokoh utama, Taraji dinilai sangat brilian dalam memerankan seorang ahli matematika, profesi yang biasanya didominasi oleh kaum pria. Berbeda dengan perannya sebagai ibu-ibu ambisius nan menyebalkan di Empire, di Hidden Figures dia mampu tampil lembut sebagai Katherine Johnson.
Saat diwawancarai, Taraji mengaku melakukan observasi terlebih dahulu mengenai tokoh yang akan ia perankan. Selain itu, misi utamanya terlibat dalam film berbujet USD 25 juta ini adalah untuk meyakinkan para wanita muda agar mereka percaya pada otak yang mereka miliki. Bahwa bukan hanya pria yang bisa ahli dalam ilmu eksak dan matematika.
Taraji juga menegaskan bahwa bukan hanya perannya saja yang membuat cerita Hidden Figures ini begitu kuat, tapi juga berkat peran dua perempuan lainnya, Octavia Spencer dan Janelle Monae. Mereka bertiga adalah bagian yang tak terpisahkan karena mereka adalah sebuah tim.
Octavia Spencer sendiri sejak awal langsung tertarik bermain di Hidden Figures setelah membaca skenarionya. Sedangkan, Janelle Moane digaet lewat audisi. Sutradara Theodore Melfi kala itu memang mencari sosok baru yang fresh. Akhirnya, muncul Janelle yang enerjik dan pembawaannya menyenangkan.
Kolaborasi ketiga aktris di atas terbukti membuat Hidden Figures sukses meraup pemasukan USD 195 juta hingga saat ini. Selain itu, berbagai situs review memberi rating sangat positif. Bahkan, CinemaScore menganugerahkan nilai A+. Sepanjang sejarah, tidak sampai 60 film yang pernah mendapatkan skor sebagus itu.
***
Hidden Figures
Sutradara: Theodore Melfi
Produser: Peter Chernin, Donna Gigliotti, Theodore Melfi, Jenno Topping, Pharrell Williams
Penulis Skenario: Theodore Melfi, Allison Schroeder
Berdasarkan: Hidden Figures by Margot Lee Shetterly
Pemain: Taraji P. Henson, Octavia Spencer, Janelle Monáe, Kevin Costner, Kirsten Dunst, Jim Parsons
Musik: Hans Zimmer
Sinematografi: Mandy Walker
Penyunting: Peter Teschner
Produksi: Fox 2000 Pictures, Chernin Entertainment, Levantine Films, TSG Entertainment
Distributor: 20th Century Fox
Durasi: 127 menit
Budget: USD 25 juta
Rilis: 10 Desember 2016 (SVA Theatre), 25 Desember 2016 (Amerika Serikat), 10 Maret 2017 (Indonesia)
Selama ini, Martin Scorsese dikenal sebagai seorang sutradara kawakan yang sangat berpengaruh di dunia perfilman. Mulanya, sosok keturunan Italia yang sudah berusia 74 tahun itu bercita-cita menjadi pastor. Namun, akhirnya dia memilih sekolah film di New York University dan lulus pada tahun 1966.
Berbeda dengan sutradara ternama Hollywood lainnya, yang mementingkan sisi komersial, proyek-proyek film Scorsese lebih banyak berhubungan dengan passion-nya, yang sepertinya tidak mungkin menghasilkan uang banyak. Namun, karya-karya pria yang sudah menikah lima kali itu kerap mendapat sambutan positif dari insan perfilman.
Jika kita mengamati film-film garapan Scorsese sejak tahun 1970-an hingga saat ini, bakal terlihat ciri khasnya yang selalu menyampaikan pesan tersembunyi untuk direnungkan para penonton setianya. Sebut saja beberapa judul legendaris seperti Taxi Driver (1976), Raging Bull (1980), Goodfellas (1990), Casino (1995), Gangs of New York (2002), The Aviator (2004), The Departed (2006), Shutter Island (2010), Hugo (2011), hingga The Wolf of Wall Street (2013).
Akhir tahun 2016 yang lalu, Scorsese kembali merilis karya terbarunya. Kali ini, dia mengadaptasi novel Silence (judul aslinya Chinmoku) karya penulis Jepang, Shusaku Endo, yang terbit pada tahun 1966. Film drama berbalut sejarah tersebut baru mulai tayang di Indonesia mulai hari Jumat (10/3) ini.
Silence sendiri berkisah tentang dua pendeta muda Ordo Jesuit dari Portugal, Sebastiao Rodrigues (Andrew Garfield) dan Francisco Garupe (Adam Driver). Mereka berkelana ke Jepang, tepatnya ke Nagasaki, untuk mencari keberadaan sang mentor, Pastor Cristovao Ferreira (Liam Neeson), yang tiba-tiba menghilang saat sedang menyebarkan ajaran Katolik di Negeri Sakura tersebut.
Kala itu, tepatnya di abad ke-17, ajaran Kristen memang dilarang di Jepang yang tengah dikuasai oleh Shogun Tokugawa. Mereka yang ketahuan memeluk agama tersebut bakal disiksa dan dieksekusi secara sadis. Mulai dari digantung dalam posisi terbalik dengan kepala di dalam lubang, hingga disiram perlahan-lahan dengan air panas sampai mati!
Pada masa yang disebut sebagai Kakure Kirishitan (Hidden Christians) tersebut, puluhan ribu orang Kristen Jepang disiksa, dianiaya dan dibunuh. Apalagi, setelah Pemberontakan Shimabara (1637-1638), yang dilakukan oleh orang-orang Katolik Jepang, mampu dikalahkan oleh Keshogunan Tokugawa.
Selama 250 tahun kemudian, agama Kristen dilarang, dan larangan tersebut baru dicabut pada tahun 1873. Hingga kini, umat Kristiani masih merupakan minoritas di Jepang. Jumlahnya kurang dari 1% di negeri yang didominasi oleh agama Shinto dan Buddha tersebut.
Rodrigues dan Garupe khawatir mentor mereka, Romo Ferreira, telah dipaksa untuk murtad oleh rezim Tokugawa. Pada saat itu, memang dikenal yang namanya ritual Fumie, di mana orang-orang Kristen dipaksa untuk menginjak-injak ikon keagamaan, seperti salib, sebagai bukti bahwa mereka telah melepaskan keyakinan terhadap iman yang selama ini mereka peluk. Pilihannya hanya dua: murtad atau mati.
Tantangan yang harus dihadapi Rodrigues dan Garupe memang sangat berat. Selain mencari Pastor Ferreira yang hilang, mereka juga harus meloloskan diri dari buruan pasukan Keshogunan Tokugawa yang dipimpin oleh Inoue Masashige (Issey Ogata). Dengan hanya bermodalkan iman dan keyakinan, mampukah dua misionaris muda itu menuntaskan misi mereka dan bertahan hidup dalam kesunyian?
Martin Scorsese sendiri mengaku pertama kali membaca novel Silence pada tahun 1988. Permasalahan utama yang disajikan oleh sang pengarang, Shusaku Endo, dalam buku tersebut ternyata juga ia hadapi sejak masih sangat muda. Tentang iman dan keyakinan. Scorsese sejak kecil memang banyak terlibat dengan agama dan dibesarkan dalam keluarga Katolik yang taat.
Selama 25 tahun kemudian, Scorsese berusaha keras untuk mengadaptasi Silence menjadi sebuah film. Bisa dibilang, ini adalah "proyek passion"-nya yang sangat lama. Sejak 1990, dua tahun setelah merilis film bertema religiusnya yang paling kontroversial, The Last Temptation of Christ (1988), sutradara yang kerap bekerja sama dengan Leonardo DiCaprio itu mulai menggarap naskah Silence.
Berkat kolaborasinya dengan Jay Cocks, yang memang sudah sejak lama menjadi partner Scorsese, skenario tersebut akhirnya tuntas. Butuh waktu 15 tahun baginya untuk menyelesaikan naskah adaptasi dari novel Silence, yang pada 1971 sebenarnya sudah pernah difilmkan oleh sutradara Jepang, Masahiro Shinoda.
Pada 2009, tersiar kabar bahwa proses produksi Silence bakal dimulai. Sejumlah aktor kawakan, seperti Daniel Day-Lewis, Benicio Del Toro, dan Gael Garcia Bernal, sempat digadang-gadang untuk menjadi pemeran utamanya. Namun, proyek ini akhirnya ditunda karena Scorsese lebih memilih untuk menggarap Shutter Island (2010) dan Hugo (2011).
Barulah pada awal 2014, setelah menyelesaikan The Wolf of Wall Street (2013), Scorsese memiliki waktu untuk membesut proyek passion-nya yang sudah lama tertunda itu. Lokasi syuting pun segera dicari, dan akhirnya dia memilih Taipei, Taiwan, meski kisah Silence sendiri ber-setting di Nagasaki, Jepang.
Scorsese kemudian menggaet dua aktor muda yang sedang menanjak, Andrew Garfield dan Adam "Kylo Ren" Driver, serta dua aktor kawakan, Liam "Taken" Neeson dan Ken Watanabe, sebagai pemeran utama. Sayangnya, Watanabe akhirnya mengundurkan diri karena jadwalnya bentrok. Perannya digantikan oleh Tadanobu Asano.
Bagi Andrew Garfield, Silence adalah film keduanya di tahun 2016 setelah Hacksaw Ridge, dan dua-duanya memiliki nuansa religius yang kental. Tampaknya, mantan pacar Emma Stone itu memang sedang mencoba peran-peran yang menantang setelah dicap gagal sebagai Spider-Man.
Seperti halnya Hacksaw Ridge, Silence juga mendapat sambutan positif. Setelah tayang perdana di Vatikan pada 29 November 2016, yang dihadiri oleh setidaknya 400 orang pastor, film berbujet USD 40 juta itu mendapat pujian dari berbagai kritikus. Scorsese, sekali lagi, dianggap mampu menelurkan sebuah karya yang sarat makna dan sangat layak untuk direnungkan, baik secara emosional maupun spiritual.
Silence bahkan sempat dijagokan untuk meraih Piala Oscar dan masuk dalam daftar sepuluh Movies of the Year versi American Film Institute. Sayangnya, karena dirilis agak terlambat di Amerika Serikat, pada 23 Desember 2016, film berdurasi 161 menit ini kurang mendapat perhatian dari para voter Academy Awards, dan akhirnya hanya mampu masuk nominasi Best Cinematography.
***
Silence
Sutradara: Martin Scorsese
Produser: Barbara De Fina, Randall Emmett, Vittorio Cecchi Gori, Emma Tillinger Koskoff, Gaston Pavlovich, Martin Scorsese, Irwin Winkler
Penulis Skenario: Jay Cocks, Martin Scorsese
Berdasarkan: Silence by Shūsaku Endō
Pemain: Andrew Garfield, Adam Driver, Tadanobu Asano, Ciarán Hinds, Liam Neeson
Musik: Kim Allen Kluge, Kathryn Kluge
Sinematografi: Rodrigo Prieto
Penyunting: Thelma Schoonmaker
Produksi: SharpSword Films, AI Film, Emmett/Furla/Oasis Films, CatchPlay, IM Global, Verdi Productions, YLK Sikelia, Fábrica de Cine
Distributor: Paramount Pictures
Durasi: 161 menit
Budget: USD 40 juta
Rilis: 29 November 2016 (Vatikan), 23 Desember 2016 (Amerika Serikat), 10 Maret 2017 (Indonesia)
Kong is back! Ya, monyet gigantis yang mudah baper saat melihat cewek cantik itu kembali menghiasi layar lebar. Film terbarunya, Kong: Skull Island, bakal tayang di bioskop-bioskop Indonesia mulai hari Rabu (8/3) ini.
Kong: Skull Island tercatat sebagai franchise King Kong yang kedelapan. Film yang pertama diproduksi sudah sangat lama, hampir seabad silam. Kala itu, film klasik besutan Merian C. Cooper dan Ernest B. Schoedsack yang dirilis pada tahun 1933 tersebut mendapat respon sangat positif. Situs Rotten Tomatoes, bahkan, menobatkannya sebagai film horror terhebat dan menempati urutan ke-20 film terbaik sepanjang masa.
Kesuksesan film pertama King Kong tersebut membuat RKO Radio Pictures memproduksi sekuelnya yang berjudul Son of Kong (1933). Kisah tentang gorilla raksasa itupun segera mendunia. Tidak hanya dikenal di Amerika, tapi berkembang menjadi fenomena global.
Tiga puluh tahun kemudian, studio film asal Jepang, Toho, yang menjadi pemilik franchise Godzilla, bekerja sama dengan RKO untuk merilis film crossover antara Kong dengan monster kadal tersebut. Judulnya, King Kong vs. Godzilla (1962). Yang kemudian diikuti oleh film berikutnya, King Kong Escapes (1967).
Pada tahun 1976, produser film asal Italia, Dino De Laurentiis, yang juga paman dari boss klub sepak bola Napoli, Aurelio De Laurentiis, me-remake King Kong dengan versinya sendiri. Plot ceritanya mirip dengan versi original. Namun, setting-nya bukan lagi di tahun 1930-an, tapi di masa modern (1970-an). Para karakternya juga berbeda. Tidak ada lagi Ann Darrow, Jack Driscoll, ataupun Carl Denham.
Sepuluh tahun kemudian, De Laurentiis kembali merilis sekuel dari King Kong versinya sendiri dengan judul King Kong Lives (1986). Akan tetapi, sambutan dari para kritikus dan para penonton sangat negatif. Bisa dibilang, ini adalah film King Kong terjelek yang pernah dibuat.
Dua dekade berlalu, Peter Jackson, yang disokong oleh Universal Pictures, mencoba membangkitkan kembali sang Raja Kera. Dengan mengandalkan Naomi Watts sebagai bintang utama, sutradara franchise The Lord of the Rings itu me-remake King Kong. Kali ini, plot ceritanya benar-benar sama dengan versi original. Setting-nya di tahun 1930-an dan para karakternya pun sama persis.
Meski akhirnya kurang sesuai harapan secara komersial, "hanya" meraup pemasukan USD 550 juta, padahal bujetnya raksasa (USD 207 juta), King Kong (2005)-nya Peter Jackson mendapat respon sangat positif dari para kritikus. Pada 2008, Empire Magazine memasukkan film yang durasinya sangat panjang ini (lebih dari tiga jam) dalam daftar 500 Greatest Movies of All Time.
Menyadari bahwa film tentang monster raksasa masih diminati, pada bulan Juli 2014, di ajang San Diego Comic-Con, Legendary Pictures, yang sebelumnya sukses me-reboot Godzilla (2014), mengumumkan bakal memproduksi film tentang asal-usul King Kong dengan judul Skull Island. Awalnya, mereka menggandeng Universal Pictures sebagai distributor. Namun, hak pendistribusian kemudian dialihkan ke Warner Bros. Pictures.
Pengalihan tersebut didasari oleh rencana besar Legendary Pictures untuk menciptakan MonsterVerse, alias Monster Universe, yang bakal mempertemukan King Kong dan Godzilla, seperti yang pernah dilakukan Toho pada tahun 1962. Sebelumnya, Legendary memang sudah terikat kontrak dengan Warner Bros. untuk memproduksi tiga film tentang Godzilla.
Judul Skull Island pun akhirnya diubah sedikit menjadi Kong: Skull Island. Film berdurasi 118 menit ini bakal menjadi film kedua dari MonsterVerse-nya Legendary Pictures, dan merupakan prekuel dari Godzilla (2014), karena keduanya memang berada dalam satu universe yang sama.
Rencananya, Godzilla vs. Kong bakal dirilis pada 29 Mei 2020. Namun, sebelum menikmati pertarungan antara dua makhluk mitologis raksasa tersebut, para monstermania akan lebih dahulu dihibur oleh sekuel Godzilla: King of the Monsters pada 22 Maret 2019.
Sementara itu, Kong: Skull Island sendiri merupakan reboot dan bukan remake. Plot ceritanyanya sama sekali berbeda dengan King Kong versi original tahun 1933, maupun King Kong (2005)-nya Peter Jackson. Jadi, jangan berharap ada nama-nama karakter seperti Ann Darrow ataupun Jack Driscoll.
Kisah Kong: Skull Island mengambil setting di tahun 1973. Selang waktunya memang terpaut cukup jauh dengan Godzilla (2014) yang ber-setting di masa kini. Namun, kisah keduanya tetap berhubungan karena sama-sama melibatkan Project Monarch, organisasi rahasia milik pemerintah Amerika yang khusus menangani makhluk raksasa asing yang tak dikenal.
Kali ini, yang menjadi tokoh utama adalah James Conrad (Tom Hiddleston), mantan anggota pasukan khusus Inggris, Special Air Service (SAS), yang berpengalaman dalam Perang Vietnam. Dia disewa oleh Bill Randa (John Goodman), pemimpin senior dari Monarch, untuk memburu dan menelusuri jejak spesies asing di Skull Island.
Selain Conrad dan Randa, tokoh penting lainnya adalah Letkol Preston Packard (Samuel L. Jackson), tentara Amerika yang menjadi pemimpin skuadron helikopter Sky Devils, dan Mason Weaver (Brie Larson), jurnalis foto spesialis perang, sekaligus pencinta damai. Sebagai pemanis, ada San Lin (Jing Tian), biologis muda yang kemolekannya bakal membuat para pria kehabisan tisu.
Di Skull Island, rombongan ekspedisi Monarch ternyata tidak hanya bertemu Kong, yang dipuja oleh suku primitif Iwi sebagai raja dan dewa, namun juga Skullcrawlers, predator raksasa yang mirip kadal. Dalam video klip yang dirilis beberapa waktu yang lalu, tampak dua monster tersebut sedang bertarung. Ini tentu saja mengingatkan para penonton dengan adegan King Kong melawan dinosaurus T-Rex di film besutan Peter Jackson tahun 2005.
Berbeda dengan film-film King Kong sebelumnya, Skull Island, pulau terpencil yang belum dipetakan, kali ini dikisahkan terletak di Samudra Pasifik Selatan, bukan lagi di dekat Indonesia. Mungkin, para produser di Hollywood sudah paham bahwa Indonesia bukan lagi negara terasing yang dihuni oleh makhluk-makhluk mitologis, semacam burung rajawali raksasa peliharaan Brama Kumbara.
Sebagai bentuk promo, Legendary Pictures menjalin kerja sama dengan Google. Para fans King Kong kini bisa menemukan letak pulau fiktif, Skull Island, lewat aplikasi Google Maps! Sapa tau aja ada yang ingin travelling ke sana. Hehe..
Untuk menampilkan scene di Skull Island yang misterius, tim produksi melakukan proses syuting di Vietnam bagian utara, lalu berlanjut di Pulau Oahu, Hawaii, dan Gold Coast, Australia. Pengambilan gambar yang dimulai pada 19 Oktober 2015 itu akhirnya tuntas pada 18 Maret 2016.
Sutradara Jordan Vogt-Roberts mengklaim Kong: Skull Island adalah film pertama yang menyajikan hutan belantara Vietnam dalam porsi besar. Setting film ini memang pada tahun 1970-an, saat Perang Vietnam masih berkecamuk. Para tokoh utamanya pun berlatar belakang tentara.
Dengan menampilkan pemandangan Vietnam yang belum banyak dikenal, Vogt-Roberts ingin membuat para penonton Kong: Skull Island terkesima. Seperti saat mereka melihat keindahan Selandia Baru di franchise The Lord of the Rings garapan Peter Jackson.
Hanya saja, syuting di hutan rimba Vietnam ternyata sempat membuat Brie Larson keder. Bintang film Room (2015) itu nyaris mengundurkan diri karena takut. Lawan mainnya, Tom "Loki" Hiddleston, juga mengaku was-was. Para petugas keamanan yang mendampingi mereka menyatakan banyak binatang maupun tanaman yang berpotensi mematikan di belantara tropis tersebut.
Untungnya, Larson akhirnya tidak jadi mundur. Aktris dengan ukuran dada 32B itu merasa tertantang untuk menyelesaikan syuting Kong: Skull Island, yang merupakan film non-indie pertamanya. Calon pemeran superhero Captain Marvel itu akhirnya merasa terhormat bisa terlibat dalam produksi film yang menurutnya serba besar dan menakjubkan ini.
Satu hal lagi yang menarik, dalam membesut Kong: Skull Island, sutradara Jordan Vogt-Roberts mengaku terinspirasi dari film-film perang klasik, terutama perang Vietnam, seperti Apocalypse Now (1979) dan Platoon (1986). Tak heran, jika dilihat dari trailer-nya, nuansa film Kong terbaru ini seperti film perang. Bahkan, salah satu poster yang dirilis juga sangat mirip dengan poster Apocalypse Now besutan Francis Ford Coppola yang legendaris itu.
Sutradara yang sebelumnya sering menggarap serial komedi di televisi tersebut memang meracik ide cerita dari berbagai referensi. Selain film-film perang, Vogt-Roberts mengaku terinspirasi dari Princess Mononoke rilisan Ghibli Studio dalam menampilkan sosok makhluk-makhluk raksasa di Kong: Skull Island.
Jadi, film produksi besar (non-indie) pertama yang dibesut oleh Vogt-Roberts ini sebenarnya merupakan campuran dari berbagai macam genre. Memang, terdengar sedikit aneh. Tapi, pihak Legendary Pictures ternyata mendukung konsep baru tersebut.
Sutradara yang awalnya seorang developer video game itu menyadari bahwa bebannya cukup berat. Dia paham bahwa karakter si primata raksasa itu sudah menjadi ikon budaya pop global. Tantangannya adalah membangkitkan kembali pamor King Kong dengan kemasan yang lebih modern dan tidak terkesan sebagai film murahan.
Belajar dari kegagalan Peter Jackson, yang meskipun mendapat review positif dari para kritikus, tapi ternyata kurang laku di pasaran, Vogt-Roberts berjanji bahwa Kong versinya bakal berbeda dengan sebelumnya. Gorilla raksasa tersebut bukan lagi sosok monster yang suka naksir cewek-cewek cantik, tapi merupakan seekor mamalia yang cerdas.
Untuk menampilkan sosok Kong, yang kali ini "diperankan" oleh Terry Notary, sutradara Vogt-Roberts menggunakan bantuan CGI (computer-generated imagery) 100% dengan teknik motion capture performance. Sang aktor utama, Tom Hiddleston, mengaku tak pernah "ketemu" Kong waktu syuting. Lokasinya hanya ditandai dengan selotip.
Vogt-Roberts juga berkoar bahwa Kong bikinan dia merupakan Kong terbesar yang pernah muncul di layar lebar. Tingginya lebih dari 100 kaki (30 meter)! Dua kali lipat dari King Kong versi original tahun 1933 yang "hanya" 50 kaki. Apalagi, jika dibandingkan dengan Kong "mini" karya Peter Jackson yang "cuma" 25 kaki.
Jika menilik rencana Legendary Pictures yang berniat mengadu Kong dengan Godzilla pada 2020, maka bisa dimaklumi ukurannya dikisahkan sebesar itu. Bakal tidak sebanding seandainya Kong boncel versi 2005 bertarung dengan reptil raksasa yang super-duper gede tersebut.
Petunjuk mengenai Godzilla vs. Kong kabarnya bakal muncul di post-credit scene. Pemimpin Redaksi Splash Report, Kellvin Chavez, yang sudah mengikuti test screening Kong: Skull Island pada bulan Februari yang lalu, menghimbau para calon penonton untuk tidak segera meninggalkan tempat duduk setelah film selesai, karena bakal ada cuplikan penting yang ditayangkan. Semacam film-film superhero-nya Marvel.
Awalnya, film yang kisahnya dikarang oleh Dan Gilroy dan John Gatins ini direncanakan tayang pada 4 November 2016. Namun, kemudian diundur menjadi 10 Maret 2017, sekaligus untuk memperingati ulang tahun ke-84 franchise King Kong yang dulu "dilahirkan" oleh RKO Radio Pictures.
Upaya Legendary Pictures untuk mengulang kesuksesan versi original pada tahun 1933, tampaknya, menuai hasil. Setelah premiere di Cineworld Empire Leicester Square di London pada 28 Februari 2017, Kong: Skull Island mendapat tanggapan positif dari para kritikus. Situs Rotten Tomatoes menilai film berbujet USD 190 juta ini sangat memanjakan mata para penonton. Ceritanya menarik, dengan alur yang cepat dan tidak bertele-tele. Akting para pemain, yang didukung oleh peraih Piala Oscar semacam Brie Larson, dianggap cukup solid.
Pujian juga disematkan kepada sang sutradara. Kritikus Pete Hammond dari Deadline menilai Jordan Vogt-Roberts mampu memberi "jiwa" pada Kong: Skull Island. Meski konsep ceritanya tergolong sederhana, namun proses produksinya sangat berkelas sehingga membuat film ini layak disebut sebagai blockbuster, bukan film ecek-ecek.
Kritikus Owen Gleiberman dari The Hollywood Reporter juga menyatakan visualisasi di film ini sangat memukau dan orisinal. Para penonton, yang mungkin sudah berkali-kali menonton film tentang King Kong, dijamin tidak akan bosan. Kisahnya pun menarik, seperti petualangan klasik karya Jules Verne.
Dengan segala macam respon positif tersebut, Kong versi terbaru ini, tampaknya, memang layak untuk ditonton. All hail the King!
***
Kong: Skull Island
Sutradara: Jordan Vogt-Roberts
Produser: Thomas Tull, Jon Jashni, Mary Parent, Alex Garcia
Penulis Skenario: Dan Gilroy, Max Borenstein
Pengarang Cerita: John Gatins, Dan Gilroy
Berdasarkan: King Kong by Merian C. Cooper, Edgar Wallace
Pemain: Tom Hiddleston, Samuel L. Jackson, John Goodman, Brie Larson, Jing Tian, John Ortiz, Terry Notary, John C. Reilly
Musik: Henry Jackman
Sinematografi: Larry Fong
Penyunting: Richard Pearson
Produksi: Legendary Pictures, Tencent Pictures
Distributor: Warner Bros. Pictures
Durasi: 118 menit
Budget: USD 190 juta
Rilis: 28 Februari 2017 (Odeon Leicester Square), 8 Maret 2017 (Indonesia), 10 Maret 2017 (Amerika Serikat)