June 13, 2009

Mau yang “plus-plus”, dong!

Sebentar, jangan berpikiran yang macam-macam dulu. Memang, kalau mendengar kata “plus-plus”, pikiran kita selalu mengarah ke hal-hal yang negatif, seperti pijat “plus-plus”, salon “plus-plus”, karaoke “plus-plus”, pelayan “plus-plus”, pembantu “plus-plus”, sekretaris “plus-plus”, sampai sopir “plus-plus". Hehehe..

Plus-plus yang saya maksud di sini sangat jauh dari makna negatif. Plus-plus versi saya adalah plus-plus yang sesuai dengan arti “aslinya”. Plus artinya tambah alias positif. Jadi, plus-plus maksud saya adalah semua hal yang bersifat positif dan memberi nilai tambah.

Saya memang sering heran, kenapa hal-hal negatif di atas dilabeli “plus-plus”? Padahal kata-kata yang cocok sebenarnya “minus-minus”, soalnya membuat “minus” isi kantong kita. Betul, nggak?

Anehnya lagi, banyak orang yang lebih suka “plus-plus” di atas daripada “plus-plus” versi saya. Plus-plus versi saya adalah berdoa “plus-plus”, bekerja “plus-plus”, berpikir “plus-plus”, dan belajar “plus-plus”.

Kenapa kalau berdoa, bekerja, berpikir dan belajar, seringkali kita hanya “biasa-biasa” saja? Kenapa tidak berusaha memberi nilai “lebih” dalam berdoa, belajar, berpikir dan bekerja?

Prinsip “plus-plus” ini, kalau diterapkan, saya yakin akan membawa kesuksesan bagi Anda semua. Mulai saat ini, berdoalah sedikit “lebih” sering, belajarlah sedikit “lebih” banyak, berpikirlah sedikit “lebih” positif, dan bekerjalah sedikit “lebih” keras dari biasanya.

Saya yakin, kalau Anda mau berusaha untuk sedikit “plus-plus” maka Tuhan pun akan kembali memberi yang “plus-plus” juga untuk Anda.

Jadi, masih mau yang “biasa-biasa” saja? Kalau saya, mau yang “plus-plus”, dong!

June 11, 2009

Arti Sebuah Etos Kerja

Dalam hal etos kerja, para pegawai dan eksekutif di Indonesia sepertinya masih harus belajar banyak dari Amerika.

Baru-baru ini, CEO Citibank, Vikram Pandit, hanya menggaji dirinya dengan bayaran USD 1 (sekitar Rp 10 ribu) per TAHUN. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawabannya untuk memulihkan kondisi Citibank yang amburadul akibat krisis finansial global. Sebagai orang nomor satu di Citibank, dia menolak untuk mengundurkan diri dan bersumpah untuk terus bekerja sampai Citibank kembali ke posisi semula dan keluar dari krisis finansial yang dialaminya.

Kerelaan untuk bekerja nyaris tanpa dibayar inilah yang patut dicontoh oleh seluruh pegawai dan eksekutif di Indonesia. Di saat krisis seperti ini, banyak di antara kita yang malah membebani perusahaan dengan berbagai macam tuntutan, bukannya bekerja lebih keras untuk menyelamatkan perusahaan dari krisis.

Nilai loyalitas atau kesetiaan juga patut ditiru. Di saat perusahaan hampir bangkrut, jangankan rela dipotong gajinya, malah banyak eksekutif kita berpindah kerja ke perusahaan lain yang menawarkan gaji lebih tinggi.

Etos kerja yang buruk itu bisa membuat bangsa ini terjerembab ke dalam krisis. Dan sekali kita terjerumus, akan sulit untuk keluar, KECUALI kita mau berubah dan meningkatkan etos kerja yang saat ini masih sangat rendah.

Tanggung jawab, kerelaan untuk berkorban, dan kesetiaan adalah tiga hal penting yang harus selalu dimiliki oleh kita semua. Dengan tiga hal tersebut, saya yakin bangsa ini mampu mengalahkan krisis apa pun. Keputusan ada di tangan kita semua. Masih mau mementingkan diri sendiri atau mulai belajar dan berubah untuk mengutamakan kepentingan bersama?

June 10, 2009

Terima Kasih

Terima kasih. Sudah berapa kali Anda mengucapkannya hari ini? Berkali-kali? Mungkin sampai lupa menghitungnya? Atau belum sama sekali?

Terima kasih seringkali hanyalah sekedar basa-basi. Sebuah ucapan tanpa sadar yang berulang kali kita ucapkan atas sebuah pertolongan “kecil” yang diberikan oleh orang lain kepada kita.

Bagi saya, TERIMA KASIH adalah salah satu kata terindah yang pernah diciptakan manusia selain CINTA. Kenapa disebut terima kasih (cinta = kasih)? Karena terima kasih sebenarnya adalah balasan atas cinta kasih yang sudah diberikan kepada kita.

Oleh karena itu, kenapa kita tidak pernah lupa berterima kasih kepada orang lain atas sebuah pertolongan “kecil” mereka, sedangkan kepada orang-orang yang sudah mencintai kita sepenuhnya, kita sering lupa berterima kasih?

Sudahkah kita berterima kasih kepada orang tua yang sudah merawat dan membesarkan kita dengan penuh cinta kasih? Sudahkah kita berterima kasih kepada pasangan yang dengan tulus mendampingi kita seumur hidupnya? Sudahkah kita berterima kasih kepada anak-anak atas baktinya kepada kita? Dan terlebih lagi, sudahkah kita berterima kasih kepada Tuhan yang sudah menciptakan dan mengizinkan kita bernafas hari ini?

Terima kasih semuanya.

June 09, 2009

Waktu...

Ilmuwan terbesar abad ini, Albert Einstein, mengatakan bahwa waktu itu relatif. Bila kita sedang bersama kekasih, satu jam serasa satu detik. Sebaliknya, jika kita sedang memegang bara api, satu detik serasa satu jam. Intinya, waktu serasa begitu singkat bila kita menikmatinya, dan terasa sangat lama jika kita tidak menikmatinya.

Fenomena ini mungkin juga terasa bila kita dipenjara. Banyak narapidana yang merasakan waktu begitu lama. Sehari dipenjara serasa setahun di luar penjara. Menunggu waktu kebebasan yang tidak kunjung datang bahkan bisa membuat mereka stress dan tertekan jiwanya. Waktu memang bisa terasa sangat lama jika kita menunggu-nunggu sesuatu. Sepertinya, setelah dipenjaralah kita bisa memahami betul apa arti waktu dan bisa menghargai kebebasan waktu yang selama ini kita dapatkan.

Saya pribadi, akhir-akhir ini merasakan waktu begitu cepatnya berlangsung. Tanpa terasa, tahun 2009 ini sudah hampir separuh kita jalani. Begitu cepat. Padahal, seperti baru kemarin saya merayakan tahun baru 2009. Apakah ini tandanya saya menikmati hidup saya sehingga waktu terasa cepat berlalu?

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda juga merasakan hal yang sama dengan saya? Apa pun yang Anda rasakan, itu tidak menjadi masalah, karena waktu memang relatif. Yang penting sekarang ini adalah bagaimana kita bisa menghargai waktu yang sudah semesta berikan kepada kita.

Bagi saya, anugerah terbesar yang saya terima, selain cinta dan kasih sayang, bukanlah uang yang melimpah, kekayaan tanpa batas, kedudukan tinggi, karir yang hebat, tetapi WAKTU yang saya nikmati sampai saat ini. Pemberian yang satu ini tidak hanya harus dihargai tetapi juga harus digunakan sebaik-baiknya.

Bila Anda seorang orang tua, dan Anda memberikan hadiah mainan kepada anak Anda. Tetapi kemudian anak Anda malah membuang mainan tersebut. Apa yang Anda rasakan? Sakit hati, bukan? Atau, mungkin Anda marah? Itu adalah suatu hal yang wajar. Setiap orang tua pasti sakit hati dan marah bila melihat anaknya tidak menghargai pemberiannya. Apalagi jika pemberian itu didapatkan dari hasil kerja keras siang-malam demi anak tercinta.

Hal inilah yang membuat saya juga sangat berusaha untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya. Saya tidak ingin semesta marah karena melihat pemberiannya yang sangat berharga, yaitu WAKTU, saya buang dan saya sia-siakan. Saya tidak ingin semesta mengambil lagi waktu yang sudah diberikan kepada saya. Saya ingin membuktikan bahwa saya adalah anak yang berbakti dan layak diberi kesempatan untuk menggunakan waktu yang sudah diberikan untuk kebaikan saya dan kebaikan orang-orang di sekililing saya.

Segalanya bisa saya dapatkan kembali. Kecuali, waktu.

To Finish First, You Must First Finish

Bagi seorang pembalap, memenangkan lomba adalah tujuan utamanya. Untuk bisa memenangkan lomba, seorang pembalap harus mencapai garis finish terlebih dahulu dibandingkan pembalap-pembalap lainnya. Sederhana sekali.

Bila memenangkan lomba sangat sederhana, kenapa banyak pembalap yang tidak bisa melakukannya? Jawabannya: mencapai garis finish terlebih dahulu memang sederhana, yang sulit adalah terus membalap puluhan lap (putaran) dengan konsisten untuk menyelesaikan lomba.

Bukanlah suatu pekerjaan sederhana untuk tetap fokus dan berkonsentrasi berjam-jam dalam menyelesaikan suatu lomba. Seorang pembalap dituntut untuk tidak membuat kesalahan sekecil apa pun saat lomba, karena bila lengah 1 detik saja, nyawa adalah taruhannya.

Kesalahan-kesalahan hanya boleh dilakukan saat simulasi lomba (biasanya menggunakan program komputer mirip video game) Di sana Anda bisa menabrakkan mobil berkali-kali tanpa takut kehilangan nyawa. Jadi, di sini ungkapan: don’t make mistakes if you want to fail (baca note/catatan/tulisan saya sebelumnya), tidak berlaku. Yang berlaku adalah ungkapan: don’t make a mistake if you want to live. Hehehe..

Seseorang bernama Jenson Button, tahun ini sudah membuktikannya. Dalam ajang balap mobil Formula1, pembalap tim Brawn-GP ini sudah memenangkan 6 lomba di antara 7 lomba yang sudah diadakan tahun 2009 ini. Sebuah prestasi yang dihasilkan berkat kerja keras, fokus, dan konsistensi.

Bagi Jenson Button, prinsip yang berlaku adalah: to finish first, you must first finish. Untuk mencapai garis finish pertama kali, terlebih dahulu Anda harus mampu menyelesaikan lomba, kira-kira begitulah artinya. Jadi, tidak ada artinya bila Anda membalap dengan cepat, lalu tiba-tiba mobil Anda ngadat di tengah jalan sebelum Anda menyelesaikan lomba. Atau mungkin Anda kehilangan fokus dan menabrakkan mobil saat memimpin lomba. Semuanya menjadi sia-sia belaka.

Demikian juga dalam kehidupan ini, bila Anda mempunyai suatu tujuan, jangan sampai Anda kehilangan fokus dan menabrak “dinding” di tengah jalan. Lebih cepat belum tentu lebih baik kalau Anda “membalap” secara ngawur. Jangan berpikir untuk cepat-cepatan terlebih dahulu, berpikirlah untuk menyelesaikan lombanya. Itu yang paling penting.

Bila Anda saat ini sedang mengejar suatu posisi dalam karir Anda, jangan hanya fokus untuk cepat-cepat mencapai posisi itu, tetapi fokuslah juga bagaimana Anda bisa terus bertahan dalam menyelesaikan PROSES untuk mencapai posisi itu. Banyak sekali orang yang grusa-grusu, ingin cepat, ingin instant, ingin duluan, ingin terlihat hebat karena dia menjadi yang pertama, tetapi hasilnya dia menyerah di tengah jalan. Mobilnya mogok karena terus-terusan digeber sampai lupa mengisi bensin, atau karena terlalu bernafsu, akhirnya lengah dan menabrak dinding pengaman.

Kesimpulannya, kehidupan ini bukan hanya balap adu cepat, tetapi juga adu ketahanan, adu konsistensi, adu konsentrasi, dan harus diselesaikan dalam puluhan lap (putaran), bukan hanya satu lap saja. Jenson Button sudah mengajarkan banyak hal kepada saya. Dan saya harap, Anda juga bisa belajar darinya.

Sisipan:

Sekelumit tentang Jenson Button

Jenson Button adalah seorang pembalap berbakat. Dia mengawali karirnya di F1 tahun 2000. Sayangnya, dia banyak membalap untuk tim-tim kecil dan menengah, bukan tim-tim kaya seperti Ferrari dan McLaren, sehingga bakatnya seperti tersia-siakan.

Bukan itu saja masalah yang dihadapi Jenson Button. Musim balap tahun ini hampir saja dia pensiun karena tim yang dibelanya, Honda F1 Racing, mengundurkan diri akibat krisis finansial global.

Satu yang saya yakini, Tuhan tidak pernah tinggal diam melihat umatNya yang sudah berusaha. Honda F1 Racing akhirnya dibeli secara patungan oleh konsorsium yang dipimpin mantan karyawannya (Ross Brawn-Direktur Teknik dan Kepala Perancang Honda F1 Racing) dan namanya berubah menjadi Brawn-GP.

Dengan dana yang pas-pasan dan tanpa sponsor, kecuali Virgin Group-nya Richard Branson (karena itu warnaya putih bersih, tidak seperti tim-tim lain yang warna-warni), tim yang saat ini merupakan tim termiskin di F1, melanjutkan perjuangannya di ajang balap mobil paling bergengsi di dunia, F1 Racing.

Jenson Button sendiri tidak jadi pensiun, dia tetap membalap untuk Brawn-GP meskipun gajinya harus dipotong (mungkin termasuk yang paling rendah di antara para pembalap F1 saat ini). Bagi dia, membalap adalah hidupnya. Bahkan, mungkin dia rela tidak dibayar asal bisa tetap membalap di F1.

Saat ini, Jenson Button sudah separuh jalan dalam mencapai impiannya, menjadi seorang juara dunia F1. Dan saya yakin, tahun ini Jenson Button akan benar-benar menjadi juara dunia F1 yang baru. The next world champion and the next legend has born! Unbelievable Jenson Button!

June 08, 2009

Don’t Make Mistakes if You Want to Fail

Jangan membuat kesalahan-kesalahan jika Anda ingin gagal. Bukankah terbalik? Seharusnya: jangan membuat kesalahan-kesalahan jika Anda ingin berhasil. Itu mungkin menurut Anda. Kalau menurut saya, seharusnya seperti kalimat yang pertama tadi: jangan membuat kesalahan-kesalahan jika Anda ingin gagal.
Dengan kata lain, kita harus membuat kesalahan-kesalahan jika ingin berhasil? Yup! Betul sekali! Aneh, bukan? Jangan bingung dulu. Sebenarnya hal ini sangat sederhana.

Sewaktu saya sekolah dulu (SMP tepatnya), ada pelajaran yang sebenarnya tidak saya sukai, yaitu matematika (saya yakin hampir dari Anda semua juga). Tetapi berhubung guru yang mengajar termasuk guru yang “killer”, terpaksa saya harus suka, karena kalau tidak, bisa-bisa saya tidak naik kelas gara-gara matematika.

Di dalam keterpaksaan mengerjakan soal-soal matematika, berulang kali saya membuat kesalahan-kesalahan, dan berulang kali juga saya harus menerima hukuman dari sang guru gara-gara kesalahan saya itu. Salah lagi, dihukum lagi. Salah lagi, dihukum lagi. Salah lagi, dihukum lagi. Begitu seterusnya selama tiga tahun (saya diajar oleh guru matematika yang sama selama tiga tahun di SMP).

Karena sudah bosan dihukum, akhirnya saya bertekad untuk BELAJAR lebih keras supaya saya bisa mengerjakan soal-soal matematika tersebut dengan benar. Saya belajar dari kesalahan-kesalahan yang sudah saya buat sebelumnya. Saya terus berlatih mengerjakan soal-soal matematika. Salah lagi, dihukum lagi, belajar lagi, berlatih lagi, terus berulang-ulang saya lakukan. Dan puncaknya, waktu nilai EBTANAS (sekarang UNAS) diumumkan, untuk mata pelajaran matematika, saya mendapat nilai 10.00 alias SEMPURNA. Wow! Saya sendiri juga tidak pernah menyangka.

Mulai saat itu, saya menyadari bahwa kesalahan-kesalahan yang saya buat, dan hukuman-hukuman yang saya terima itulah yang memacu saya untuk terus belajar dan berlatih. Seandainya saya jarang membuat kesalahan, mungkin saya akan malas-malasan belajar, dan bisa jadi saya akan GAGAL dalam ujian akhir.

Oleh karena itu, saat ini saya tidak takut lagi membuat kesalahan, saya tidak takut lagi mendapat hukuman, malah saya sering menghukum diri saya sendiri bila saya membuat kesalahan. Tetapi, tidak lupa juga saya memberikan penghargaan bagi diri sendiri bila berhasil mencapai sesuatu. Singkatnya, saya menerapkan reward and punishment bagi diri saya sendiri.

Bagi Anda yang saat ini mungkin sering membuat kesalahan, tidak usah takut, tidak usah sedih, tidak usah merasa rendah diri. Cintailah kesalahan itu seperti Anda mencintai keberhasilan. Yang perlu Anda lakukan hanyalah merajut kesalahan-kesalahan itu dengan benang-benang emas yang disebut BELAJAR dan BERLATIH, sehingga akhirnya menghasilkan rajutan emas yang bernama KEBERHASILAN.

June 07, 2009

No Sacrifice, No Victory

Saya pernah bertanya kepada rekan-rekan saya: maukah Anda selalu mengalah? Rata-rata menjawab: Tidak. Kalau pun harus mengalah, itu karena terpaksa. Saya rasa hal itu sangat wajar, sebab setiap orang pasti ingin menang, bukan? Sudah menjadi kodrat manusia untuk menginginkan kemenangan dalam hidupnya karena setiap manusia adalah seorang pemenang.

Yang menjadi pertanyaan, dengan jalan seperti apa kita meraih kemenangan tersebut? Banyak orang menghalalkan segala cara demi mencuri kemenangan. Banyak orang yang tidak jujur dalam mengejar kemenangannya. Banyak orang ingin menang secara instant, tanpa melalui proses terlebih dahulu. Menurut saya, mereka semua bukanlah pemenang sesungguhnya. Mereka adalah pecundang yang mencuri medali kemenangan.

Ada seorang pemuda yang hobby berenang, tetapi dia menderita alergi klor (bahan untuk menjernihkan air kolam renang). Penyakit yang dideritanya tersebut tidak membuatnya menyerah dalam mengejar impiannya menjadi perenang top dunia. Dia mengorbankan dirinya dengan menahan rasa sakit setiap kali berlatih renang. Malah hal itu membuatnya berenang secepat mungkin agar tak terlalu lama bersentuhan dengan air. Pemuda itu bernama Ian Thorpe, pemenang lima medali emas Olimpiade.

Ada lagi seorang anak kecil yang didiagnosis kekurangan hormon pertumbuhan. Penyakit itu sempat membuatnya patah semangat. Karena ingat akan cita-citanya menjadi pemain sepak bola terbaik di dunia, akhirnya dia bangkit dan menjalani hari-harinya dengan terapi hormon untuk menyembuhkan penyakitnya. Sambil menjalani perawatan, dia tidak lupa untuk terus berlatih sepak bola. Hingga sekarang, tinggi badannya “hanya” 169 cm (cukup pendek untuk ukuran pemain sepak bola di Eropa). Di usianya yang belum genap 22 tahun, baru saja dia memenangkan gelar Liga Champions Eropa 2009 bersama klubnya, FC Barcelona. Anak itu adalah Lionel Messi, pemain sepak bola terbaik saat ini (menurut saya) dan calon pemenang Piala Dunia 2010 bersama Argentina (semoga :p).

Ian Thorpe dan Lionel Messi adalah pemenang-pemenang sejati. Satu-satunya yang membedakan mereka dengan para pecundang yang bertopeng pemenang adalah: PENGORBANAN. Di saat orang lain menghabiskan masa mudanya dengan bersenang-senang, mereka mengorbankan dirinya untuk menjalani terapi perawatan penyakitnya dan terus berlatih, berlatih, dan berlatih. Memang menyakitkan, tetapi itulah pengorbanan yang harus dibayar demi sebuah kemenangan sejati. My pain, my gain. Itu kata Ian Thorpe. Tanpa pengorbanan, tidak ada kemenangan. No sacrifice, no victory.