Untuk memperingati Hari Kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April, film Kartini mulai tayang di bioskop-bioskop Indonesia mulai hari Rabu (19/4) yang lalu. Film biopik yang menampilkan kisah nyata dari sang pahlawan emansipasi wanita tersebut dibesut oleh sutradara ternama, Hanung Bramantyo, dan merupakan film ketiga tentang Kartini setelah R.A. Kartini (1984) dan Surat Cinta Untuk Kartini (2016).
Proyek film yang diproduksi oleh Legacy Pictures ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2014 yang lalu. Kala itu, Hanung bertemu sang produser, Robert Ronny, dan mengutarakan niatnya untuk membuat film biografi yang tidak hanya mengisahkan perjuangan Kartini dalam mengangkat derajat kaumnya, namun juga mengungkap hal-hal yang selama ini jarang diketahui khalayak umum.
Hanung paham, bahwa Kartini adalah sosok legendaris di Indonesia, tetapi juga kontroversial pada masanya. Pemikiran putri bupati Jepara tersebut sangat revolusioner, jauh melampaui zamannya. Dia tidak hanya menuntut persamaan hak antara wanita dengan pria, namun juga ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
Oleh karena itu, Hanung pun memutuskan untuk memberi nilai plus pada kisah dan karakter Kartini. Film yang naskahnya dia tulis bersama Bagus Bramanti ini bukanlah film biopik biasa. Melainkan, film yang mengekspos perjuangan Kartini di masa muda, yang sisi kepahlawanannya begitu kuat bagi kaum wanita.
Masa perjuangan Kartini, yang meninggal di usia muda (25 tahun) setelah melahirkan anaknya, terjadi saat dia berusia 18 hingga 23 tahun. Sebelum dinikahi oleh Bupati Rembang R.M. Adipati Joyodiningrat (Dwi Sasono) pada usia 24 tahun, Kartini memang sangat gencar memperjuangkan kesetaraan gender. Dia melawan tradisi dan budaya patriarki yang kala itu dikuasai oleh laki-laki.
Perjuangan Kartini (Dian Sastrowardoyo) untuk mengangkat derajat kaum wanita dimulai saat dia menjadi Raden Ayu. Semula, dia tidak mau mengikuti ayahnya, Bupati Jepara R.M. Ario Sosroningrat (Deddy Soetomo), untuk hidup di lingkungan bangsawan yang sarat tradisi dan membatasi kebebasannya sebagai seorang perempuan. Selain itu, jika hidup sebagai ningrat, Kartini harus meninggalkan ibunya, M.A. Ngasirah (Nova Eliza/Christine Hakim), yang hanya rakyat biasa.
Namun, Kartini akhirnya bersedia menjadi Raden Ayu demi mendapatkan pendidikan yang layak. Kala itu, para perempuan yang boleh bersekolah hanyalah dari kaum bangsawan, itupun hanya sampai bangku sekolah dasar. Dengan menjadi Raden Ayu, Kartini pun bisa belajar membaca, menulis, berhitung, dan, bahkan, berbahasa Belanda dengan fasih. Kemampuan tersebut nyaris mustahil diperoleh jika dia hanya menjadi rakyat jelata, seperti Ngasirah, ibunya.
Proses untuk menjadi Raden Ayu itulah yang disorot secara mendalam oleh film Kartini. Menurut sang sutradara, Hanung Bramantyo, pergumulan batin Kartini saat hendak menjadi bangsawan itu memang jarang diketahui oleh publik karena memang tidak pernah ditulis dalam buku pelajaran sejarah yang kita baca di sekolah. Padahal, keputusan Kartini untuk menjadi Raden Ayu itu, bisa dibilang, merupakan keputusan yang krusial dalam hidupnya karena menjadi awal dari gerakan emansipasi wanita yang ia perjuangkan.
Hal lain yang juga jarang diketahui adalah upaya gigih Kartini dalam memberikan pendidikan untuk rakyat kecil. Selain itu, dia juga getol mengangkat perekonomian masyarakat di sekitarnya. Dalam suatu kesempatan, Kartini pernah mengajak para pengrajin ukiran asal Jepara untuk memamerkan hasil karya mereka di negeri Belanda.
Semua perjuangan Kartini tersebut akhirnya terancam tamat setelah dia dilamar oleh bupati Rembang. Kartini sangat sedih karena dia harus menjalani masa "dipingit" sebelum menikah, sesuai tradisi Jawa. Hal itu membuat kebebasannya terpasung. Dia tidak lagi bisa bertemu dan berdiskusi dengan koleganya, para feminis dari Belanda, seperti Wilhelmina (Rianti Cartwright).
Hanung pun berusaha menampilkan dengan gamblang kegalauan yang dialami oleh Kartini. Di film ini, pergumulan emosi Kartini yang naik turun memang digambarkan dengan jelas. Banyak adegan di mana dia merasa sedih, tidak terima, tapi akhirnya hanya bisa diam, tanpa kata-kata.
Untuk menyajikan sosok Kartini yang apa adanya tersebut, Hanung melakulan riset hingga dua tahun lamanya. Dengan dibantu oleh komunitas Rumah Kartini, suami Zaskia Adya Mecca tersebut pergi ke Jepara, melihat rumah masa kecil Kartini, menelusuri perjalanan hidupnya, hingga mengunjungi makamnya.
Sebagai bahan untuk menulis skenario, Hanung juga melahap berbagai macam literatur. Yang paling utama adalah buku Habis Gelap Terbitlah Terang, yang merupakan kumpulan dari surat-surat yang ditulis oleh Kartini. Selain itu, juga ada Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer dan buku biografi Kartini yang ditulis oleh Elizabeth Keesing dan Joost Cote.
Proses syuting film Kartini sendiri berlangsung selama 45 hari di Jakarta, Jogjakarta, dan Belanda. Tim produksi juga membangun set khusus di daerah Ceger, Jakarta Timur untuk menampilkan pendapa dan rumah yang ditinggali keluarga Kartini. Lokasi aslinya yang ada di Jepara, saat ini, kondisinya sudah berbeda jauh jika dibandingkan dulu. Hal lain yang menarik, para kru juga sampai membuat sendiri kereta kuda yang digunakan untuk syuting.
Sementara itu, para pemain yang terlibat dalam film Kartini sebelum syuting diharuskan untuk belajar bahasa Jawa dan Belanda. Mereka juga harus mempelajari logatnya supaya tidak kaku saat berbicara. Khusus untuk para aktris, agar lebih menghayati peran, mereka diwajibkan memasang sanggul sendiri sebelum syuting.
Dian Sastrowardoyo, yang menjadi bintang utama dari film Kartini, tak luput dari kewajiban tersebut. Bersama dengan Acha Septriasa yang memerankan Roekmini dan Ayushita Nugraha yang memerankan Kardinah, keduanya adalah adik Kartini, mereka bertiga harus rela bersanggul dan berkebaya setiap menjalani syuting.
Menurut Dian, peran sebagai Kartini merupakan peran tersulit sepanjang karirnya. Meski sudah berpengalaman membintangi berbagai judul film, Kartini adalah film biografi sekaligus film bertema sejarah pertama bagi ibu dua anak yang masih terlihat sangat manis tersebut.
Seperti halnya Hanung, untuk menghayati peran sebagai Kartini, Dian pun melakukan riset sebelum syuting. Buku Habis Gelap Terbitlah Terang dan Panggil Aku Kartini Saja dia baca hingga habis. Dian juga belajar budaya Jawa beserta bahasa dan logatnya. Begitu pun dengan bahasa tubuh yang anggun dan lemah gemulai ala kaum ningrat dan bangsawan.
Beruntung, ada komunitas Rumah Kartini yang banyak membantu Dian dalam melakukan penelitian. Mereka sering menggelar diskusi dan dialog untuk mengupas jasa, karakter, serta pemikiran R.A. Kartini. Dian pun akhirnya memiliki wawasan dan pemahaman yang lebih kaya mengenai sosok pahlawan yang dikaguminya tersebut.
Menurutnya, peran sebagai Kartini bukan sekadar akting biasa, melainkan sebuah tugas mulia. Dian mengaku harus bisa memerankannya dengan sempurna untuk menghargai jasa Kartini yang sangat besar. Untuk ukuran perempuan pada abad ke-19, apa yang dilakukan Kartini memang sangat revolusioner. Bagi Dian, jasa Kartini tersebut harus dirayakan dan dihargai setiap hari, bukan cuma setahun sekali.
Selain menonjolkan perjuangan Kartini, Dian juga dituntut untuk mampu menampilkan kegalauan batinnya. Alhasil, sebelum syuting, bintang Ada Apa dengan Cinta? tersebut sering mendengarkan lagu-lagu klasik untuk memancing perasaannya agar lebih emosional dalam berakting.
Yang menarik, sutradara Hanung Bramantyo semula mengeplot Dian Sastro sebagai Ngasirah, ibu Kartini. Namun, Distro akhirnya meminta sendiri kepada Hanung untuk memilihnya sebagai pemeran Kartini.
Meski sempat ragu, terutama karena perbedaan umur (Kartini dalam film berusia 18-23 tahun, sedangkan Dian sudah 35 tahun), Hanung kemudian memberikan peran tersebut. Kualitas akting dan jam terbang Dian Sastro yang sudah tinggi menjadi pertimbangan utamanya.
Selain Dian, film produksi Legacy Pictures ini juga diperkuat oleh berbagai aktor dan aktris papan atas tanah air. Mereka berperan sebagai ayah, ibu, kakak, dan adik-adik Kartini. Sebut saja nama-nama seperti Deddy Soetomo, Christine Hakim, Djenar Maesa Ayu, Reza Rahadian, Denny Sumargo, Adinia Wirasti, Acha Septriasa, hingga Ayushita Nugraha.
Dalam hidup Kartini, keluarga memang sangat berperan. Ada yang mendukung perjuangannya, seperti sang kakak, R.M. Panji Sosrokartono (Reza Rahadian), yang bersekolah di Belanda dan membuat Kartini suka membaca dan berpikiran luas. Serta kedua adiknya, Kardinah (Ayushita), yang enggan menikah, dan Roekmini (Acha Septriasa), yang membantu Kartini mengupayakan pendidikan untuk kaum wanita dan rakyat jelata.
Namun, juga ada anggota keluarga yang tidak sependapat, seperti sang ayah, R.M. Adipati Ario Sosroningrat (Deddy Soetomo), yang meragukan pemikiran Kartini. Selain itu, sang kakak tertua, R.M. Slamet Sosroningrat (Denny Sumargo), bahkan memberikan tekanan keras. Dia dengan tegas melarang Kartini surat-suratan dengan teman-teman feminisnya dari Belanda.
Upaya para pemain dan tim produksi untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang sosok Kartini dan keluarganya, tampaknya, cukup berhasil. Setelah tayang hampir seminggu, film biopik ini mendapat respon sangat positif dari para kritikus. Bahkan, disebut-sebut sebagai salah satu film terbaik Indonesia tahun ini.
***
Kartini
Sutradara: Hanung Bramantyo
Produser: Robert Ronny
Penulis Skenario: Hanung Bramantyo, Bagus Bramanti
Pemain: Dian Sastrowardoyo, Deddy Sutomo, Christine Hakim, Acha Septriasa, Ayushita Nugraha, Reza Rahadian, Adinia Wirasti, Nova Eliza, Djenar Maesa Ayu, Denny Sumargo, Dwi Sasono, Rianti Cartwright
Musik: Andi Rianto, Charlie Meliala
Sinematografi: Faozan Rizal
Penyunting: Wawan I. Wibowo
Produksi: Legacy Pictures, Screenplay Films
Durasi: 122 menit
Rilis: 19 April 2017 (Indonesia)
Rating (hingga 24 April 2017)
IMDb: 8,1/10
No comments:
Post a Comment