Anak-anak muda jaman sekarang mungkin tidak banyak yang mengenal Wiji Thukul. Padahal, bagi generasi 1990-an, nama sastrawan dan aktivis asal Solo itu cukup melegenda. Di awal tahun ini, Wiji Thukul kembali menjadi buah bibir. Hal itu tak bisa dilepaskan dari dirilisnya film Istirahatlah Kata-Kata pada hari Kamis (19/1) yang lalu.
Judul "Istirahatlah Kata-Kata" sendiri diambil oleh sutradara Yosep Anggi Noen dari sepenggal kalimat dalam puisi karya Wiji Thukul. Film yang versi bahasa Inggrisnya berjudul "Solo, Solitude" ini menceritakan momen berakhirnya Orde Baru di Indonesia lewat kacamata dan keseharian sang penyair cadel tersebut.
Setelah insiden Kudatuli pada 27 Juli 1996, Wiji Thukul memang dinyatakan sebagai buron oleh pemerintah Orde Baru. Dia dituduh sebagai salah satu dalang kerusuhan tersebut. Aktivis yang bergerilya lewat puisi dan sajak itu terpaksa lari ke Pontianak, jauh dari teman dan keluarganya.
Menurut sang sutradara, sekaligus penulis naskah, Anggi, film Istirahatlah Kata-Kata berusaha memberi gambaran tentang ketakutan masyarakat pada masa itu, terutama keluarga dan kerabat dari para aktivis. Hingga saat ini, Wiji Thukul dan 12 kawannya hilang dan belum kembali. Mereka diduga menjadi korban penculikan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru.
Mengangkat cerita hilangnya para aktivis saat berjuang menggulingkan Orde Baru, tentu saja, bukan hal yang mudah. Anggi dan timnya membutuhkan waktu 1,5 tahun untuk menelusuri perjalanan Wiji Thukul dan kawan-kawannya. Mereka juga harus menggali informasi tentang kebiasaan Thukul saat bersama dengan keluarga, serta gayanya saat membacakan puisi di berbagai gerakan massa.
Puisi-puisi karya Wiji Thukul pun menjadi bahan utama untuk membuat film Istirahatlah Kata-Kata. Anggi dkk meraciknya menjadi dialog sederhana yang penuh dengan pergulatan batin sang penyair. Jauh dari kesan politis.
Puisi-puisi yang ditulis oleh Wiji Thukul memang bukan melulu berisi protes untuk pemerintah pada masa itu, namun juga tentang kehidupannya sehari-sehari. Menurut Anggi, membaca puisi Wiji Thukul seperti membaca diary tentang rumah yang sederhana, makanan yang tak terbeli, hingga cerita mengenai tetangganya. Sangat lugas, sekaligus lugu.
Lewat film Istirahatlah Kata-Kata, Anggi ingin mengajak para penonton untuk ikut merasakan menjadi seorang Wiji Thukul, yang pergi bersembunyi pada Agustus 1996, meninggalkan sang istri, Sipon, dan kedua anaknya yang masih kecil, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Pria bernama asli Widji Widodo tersebut harus mengembara dari satu kota ke kota lain, di antaranya adalah Pontianak, Kalimantan Barat, di mana ia sempat menetap selama delapan bulan di sana.
Saat menyusuri jejak Wiji Thukul di Kalimantan Barat, Anggi dan timnya mencari orang-orang yang dulu pernah berhubungan dengan Thukul. Mereka akhirnya juga bertemu dengan orang yang dulu bersedia menampung sang penyair ketika dalam masa buron.
Dari penelusuran tersebut, terkuak fakta bahwa Wiji Thukul sebenarnya lari ke Pontianak bukan karena takut, melainkan demi menyelamatkan keluarganya. Dia sadar, istri dan kedua anaknya bakal terancam bahaya jika dirinya masih menetap di Solo pada masa itu.
Thukul harus menghindari kejaran para jenderal yang marah di Jakarta. Mereka menganggap puisi karya pria kelahiran tahun 1963 itu menghasut para aktivis dan mahasiswa untuk melawan pemerintah. Ironisnya, setelah rezim Orde Baru tumbang, Thukul tak juga kembali. Bersama rekan-rekannya, pengarang puisi "Bunga dan Tembok" yang legendaris itu diduga diculik para aparat sekitar bulan April-Agustus 1998. Thukul akhirnya hilang dan tak pernah pulang.
Salah satu tantangan terbesar dalam menggarap film Istirahatlah Kata-Kata adalah mencari sosok yang pas sebagai pemeran utama. Setelah melalui serangkaian proses, akhirnya terpilihlah Gunawan Maryanto, seorang penyair dan sastrawan, layaknya Wiji Thukul.
Meski bukan merupakan aktor terkenal, akting Gunawan Maryanto mendapat banyak pujian. Demikian juga dengan penampilan Marissa Anita, yang berperan sebagai Sipon, istri Wiji Thukul, dianggap sangat cemerlang oleh para kritikus setelah tayang perdana di Locarno International Film Festival pada 9 Agustus 2016 yang lalu.
Saat diwawancarai, Marissa Anita mengaku salah satu kesulitannya memerankan Sipon adalah harus berbahasa Jawa. Meski berasal dari Surabaya, perempuan cantik yang berdarah Tionghoa dan Padang itu tetap harus menyesuaikan logat Jawa Timurannya yang medok menjadi lebih halus, khas Surakarta.
Untungnya, lawan main Marissa adalah Gunawan Maryanto, yang memang berasal dari Jawa Tengah. Akhirnya, setiap mau syuting, mantan penyiar MetroTV itu harus berlatih dulu melafalkan dialog. Jika sudah dianggap oke oleh Gunawan, baru pengambilan gambar dilanjutkan.
Sementara itu, bagi sang produser, Yulia Evina Bhara, membuat Istirahatlah Kata-Kata menembus layar bioskop adalah sebuah perjuangan. Dia harus bekerja sama dengan banyak rumah produksi untuk menghasilkan film berdurasi 97 menit ini.
Agar mendapat perhatian dari masyarakat, Yulia pun mengikutsertakan Istirahatlah Kata-Kata ke berbagai festival film internasional. Hasilnya ternyata cukup positif. Film yang juga dibintangi oleh Melanie Subono itu mendapat respon yang sangat baik dari para penonton.
Tujuan utama dari Istirahatlah Kata-Kata, untuk membuka wawasan generasi muda masa kini tentang situasi pada jaman Orde Baru, tampaknya, bakal tercapai. Film ini mengungkap sejarah bangsa lewat puisi dan diharapkan bisa menambah keragaman tontonan di layar bioskop Indonesia.
Oleh karena itu, hanya ada satu kata: Tonton!
***
Istirahatlah Kata-Kata
Sutradara: Yosep Anggi Noen
Produser: Yulia Evina Bhara, Yosep Anggi Noen
Penulis Skenario: Yosep Anggi Noen
Pemain: Gunawan Maryanto, Marissa Anita, Eduwart Boang Manalu, Melanie Subono, Dhafi Yunan, Joned Suryatmoko
Musik: Yennu Ariendra
Sinematografi: Bayu Prihantoro Filemon
Penyunting: Andhy Pulung
Produksi: Muara Foundation, KawanKawan Film, Limaenam Films, Partisipasi Indonesia
Durasi: 97 menit
Rilis: 9 Agustus 2016 (Locarno International Film Festival), 19 Januari 2017 (Indonesia)
Ratings
IMDb: 8,4/10
No comments:
Post a Comment