August 24, 2009

Terima Kasih, Malaysia!

Lagi-lagi bangsa Indonesia dihebohkan oleh klaim negeri jiran, Malaysia. Memang sudah basi, sih, karena hampir tiap tahun ada saja yang diklaim oleh mereka. Mulai pulau Ligitan-Sipadan, Batik, Keris, Reog, lagu Rasa Sayange, perairan blok Ambalat, sampai Manohara. Dan kali ini, yang jadi bahan rebutan adalah tari pendet dari Bali.

Hampir semua orang di negeri ini tahu kalau tari pendet berasal dari Bali. Seperti halnya tari kecak yang melegenda itu, tari pendet jelas-jelas warisan kekayaan budaya Indonesia asli. Nah, ini kok berani-beraninya Malaysia mengklaim bahwa itu milik mereka dengan cara memasukkan dalam satu iklan Visit Malaysia, the truly Asia. Kayaknya semua yang berbau Asia mau diklaim oleh Malaysia (yang dipelesetkan menjadi Malingsia atau ‘maling lu’ oleh sebagian teman-teman kita di Jawa Barat).

Karena hal ini, wajar bila banyak orang Indonesia, terutama seniman-seniman dari Bali yang gondok, dongkol, marah, geram, dan sakit hati (tapi ada juga yang pasrah). Ibaratnya, Anda punya barang berharga, dan barang itu adalah warisan turun-temurun dari nenek moyang, tiba-tiba barang itu diambil dan diaku-aku sebagai milik orang lain. Bagaimana perasaan Anda?

Dibalik rasa geram dan marah tersebut, sebenarnya ada hal yang lebih penting, yaitu: apakah kemarahan kita itu dikarenakan ego sebagai orang yang tercuri atau karena kita memang benar-benar cinta pada budaya kita? Ingat, banyak orang yang marah ketika kekasihnya selingkuh atau direbut orang lain. Termasuk saya. Tetapi, kalau mau jujur, sebenarnya kemarahan itu lebih banyak disebabkan oleh ego atau harga diri yang merasa terinjak-injak dan diremehkan, bukan karena cinta. Betul?

Pertanyaan saya selanjutnya, seberapa banyak dari Anda yang benar-benar cinta dengan budaya Indonesia? Berapa banyak dari Anda yang pernah melihat tari pendet? Jujur, saya belum pernah melihat tari pendet sampai kemarin ditayangkan di televisi. Saya cuma tahu namanya saja. Saya hanya pernah melihat tari kecak. Orang bilang, tak kenal maka tak sayang. Bagaimana kita bisa sayang dengan budaya kita kalau tidak pernah melihat atau mengenalnya? Bisa jadi kita lebih mengenal budaya luar negeri daripada budaya sendiri. Sebarapa banyak yang mengenal moonwalk-nya Michael Jackson atau dance ala America? Sangat banyak, bukan?

Oleh karena itu, jangan hanya marah-marah saja ketika barang kita dicuri tetapi kita sendiri sebenarnya tidak pernah benar-benar mencintainya. Ada pepatah yang berbunyi: rasa cinta baru terasa setelah dia pergi. Setelah diambil orang, kita baru merasa kehilangan, tetapi ketika ada, kita sia-siakan. Marilah kita hargai budaya-budaya kita kalau memang cinta. Kenali mereka, sayangi mereka, dan perhatikan mereka. Semoga kesadaran ini bisa sedikit mengobati rasa sakit hati kita. Dan salah satu sisi positifnya, nasionalisme dan rasa persatuan kita sebagai bangsa Indonesia kembali disentil dan dibangunkan. Terima kasih, Malaysia!

No comments: