August 30, 2009

Fisico, Just Believe The Impossible!

Inginnya menulis catatan ini besok, tapi sepertinya tangan sudah gatal. :P

Entah kenapa, sebagai penggemar setia balap F1, saya malah nggak suka sama Michael Schumacher. Padahal, semua orang tahu, Schummy adalah pembalap terbesar sepanjang masa. Ya, sejak dulu sampai sekarang memang hanya ada dua pembalap yang saya kagumi, yang pertama adalah almarhum Ayrton Senna dan yang kedua adalah Giancarlo Fisichella.

Bagi saya, Ayrton Senna adalah orang yang secara tidak langsung menjerumuskan saya ke lubang penggemar balap F1. Posisinya hampir sama dengan Diego Maradona. Mereka berdua yang awalnya menarik perhatian saya dan membuat saya menjadi maniac F1 dan sepak bola sejak belasan tahun yang lalu. Nah, saat ini Ayrton Senna telah tiada. Dia tewas saat membalap di Imola tahun 1994 silam.

Sepeninggal Ayrton Senna, saya seperti anak burung kehilangan induknya, nggak punya pegangan. :D Tercatat, hampir tiga tahun saya mengikuti hiruk-pikuk F1 tanpa arah dan motivasi. Apalagi, waktu itu Schumacher baru jaya-jayanya karena tidak punya pesaing. Hal itu semakin membuat saya tidak suka sama dia. Hehe… Sampai akhirnya tahun 1997 ada seorang anak muda berbakat asal Italia yang muncul di dunia gemerlap F1. Dialah Giancarlo Fisichella.

Penampilan pertamanya yang cukup memukau adalah saat dia membalap untuk tim Jordan. Waktu itu dia hampir saja juara sebelum akhirnya berhenti beberapa lap sebelum finish karena mesin mobilnya jebol. Saya sudah lupa di sirkuit yang mana, tapi yang pasti tahun 1997. Sejak saat itu namanya langsung meroket dan diramal oleh banyak pengamat akan menjadi juara dunia masa depan.

Tapi, sayang seribu sayang, ramalan itu hanya tinggal ramalan. Sampai saat ini dia nggak pernah juara dunia. Faktor penyebab utama adalah dukungan tim yang kurang maksimal. Ya, Fisico (demikian Fisichella biasa dipanggil) tidak pernah bergabung dengan tim besar dan kaya macam Ferrari atau McLaren. Padahal, sebagai Italiano asli seharusnya dia diberi kesempatan untuk menungganggi kuda jingkrak Ferrari. Tapi, sampai saat ini Ferrari tidak pernah memberinya kesempatan. Mereka lebih suka menggunakan tenaga pembalap asal luar Italia. Saya yakin, seandainya membalap untuk Ferrari, Fisico akan menjadi juara dunia.

Saat ini, di usianya yang sudah 36 tahun, salah satu yang tertua di F1 selain Rubens Barrichello, Fisico membalap untuk tim terlemah, yaitu Force India. Di awal musim 2009 ini, penampilannya bisa dibilang buruk. Force India tidak bisa menambang poin sama sekali, dan menjadi satu-satunya di antara sepuluh tim yang berlaga. Karir Fisichella pun terancam. Banyak pengamat menyebutkan bahwa ini adalah musim terakhirnya di F1.

Tapi, siapa yang menyangka? Kalau Tuhan sudah berkehendak, apa pun bisa terjadi. Dalam babak kualifikasi GP Belgia kemarin, Fisichella berhasil meraih pole position pertamanya bersama Force India atau keempat sepanjang karirnya. Pole position ini sangat istimewa karena diraihnya bersama tim terlemah di F1. Dan dia mencapainya bukan karena keberuntungan, tetapi karena memang dia cepat. Ya, mobil Force India memang sudah berubah, progressnya sangat luar biasa. Bahkan, Fisico sendiri pun tidak menyangka. Impossible is nothing!

Memang, itu hanya pole position, bukan victory. Apalah artinya start dari posisi terdepan kalau tidak bisa menang. Tapi, apa pun yang akan terjadi saat lomba malam nanti (WIB), Fisico sudah membuktikan kepada para penggila F1 bahwa dia BELUM HABIS. Bahkan, kabar terakhir menyebutkan Ferrari tertarik untuk menggunakan jasanya sebagai pengganti Felipe Massa sampai akhir musim nanti. What a dream come true! Nggak sabar rasanya melihat Fisichella menggunakan kevlar warna merah menyala berlogo kuda hitam di dada. Semoga itu menjadi nyata.

Ok, daripada berandai-andai, lebih baik kita tunggu saja hasil lomba nanti malam. Mungkin akan terjadi kejutan lagi. Force India meraih kemenangan pertama musim ini? Fisico, just believe the impossible!

August 24, 2009

Zizi oh Zizi…


Pagelaran Miss Universe 2009 di Bahamas sudah usai tadi pagi WIB. Yang dinobatkan sebagai Miss Universe yang baru adalah Stefania Fernandez, dari (lagi-lagi) Venezuela. Gadis berusia 18 tahun itu menggantikan Dayana Mendoza (MU 2008) yang juga berasal dari Venezuela.

Yang menarik dari MU 2009 ini adalah keikutsertaan wakil dari Indonesia, yaitu Zivanna Letisha Siregar (Putri Indonesia 2008), yang akrab disapa Zizi. Sebelum malam final digelar, Zizi tercatat menduduki rating nomor 1 dalam polling online via internet di MU 2009. Hal ini sempat membuncahkan harapan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, penikmat kontes ratu ayu sejagat, termasuk saya.

Tetapi, apa mau dikata, unggulan di dunia maya ternyata tidak menjadi jaminan di dunia nyata. Zizi bahkan tidak mampu menembus 15 besar (prestasi yang pernah dicapai oleh Artika Sari Dewi pada MU beberapa tahun yang lalu). Kecewa? Jelas. Saya sudah membayangkan Zizi mampu masuk minimal 5 besar. Apalagi melihat fisiknya yang aduhai, sampai bikin ngacai, ketika mengenakan bikini (yang celananya saya rasa kekecilan), saya menyangka Zizi mampu bersaing dengan putri-putri yang lainnya.

Ya, inilah Miss Universe. Penampilan fisik saja tidak cukup. Beauty, breast, dan bikini bukan yang utama. Para juri di malam final tahu betul tentang hal itu. Mereka tidak hanya menilai tampak luarnya saja, tetapi juga brain dan behaviour. Ketangkasan dalam menjawab pertanyaan, kepercayaan diri yang tercermin dalam body language, cara berjalan, cara berbicara, adalah beberapa hal yang menjadi penilaian utama.

Kita bisa melihat Venezuela. Negeri yang terkenal dengan kontes ratu-ratuan ini seperti tidak pernah kering bakat untuk menjadi Miss Universe. Mereka ibarat Brazil dalam sepak bola, Amerika dalam bola basket, China dalam bulu tangkis, dan Indonesia dalam korupsi. Saya pernah membaca kalau di Venezuela banyak bertebaran sekolah-sekolah khusus untuk mencetak calon-calon ratu-ratu sejagat. Jadi, mereka memang betul-betul serius menghadapi event tahunan ini dan sudah menjadi sebuah industri tersendiri di negeri Hugo Chavez tersebut.

Oleh karena itu, bila kita masih ingin melihat wakil kita menjadi Miss Universe selanjutnya, tidak ada salahnya meniru Venezuela. Ingat, Jepang dan India sudah pernah merebut mahkota tersebut. Sebagai negara Asia, Indonesia juga tidak kalah berbakat dibanding mereka. Yang diperlukan hanya pembinaan berjenjang ala Venezuela. Masa kita harus mengirim Julia Perez, Dewi Perssik, Sarah Azhari atau Farah Quinn ke Miss Universe?

Terima Kasih, Malaysia!

Lagi-lagi bangsa Indonesia dihebohkan oleh klaim negeri jiran, Malaysia. Memang sudah basi, sih, karena hampir tiap tahun ada saja yang diklaim oleh mereka. Mulai pulau Ligitan-Sipadan, Batik, Keris, Reog, lagu Rasa Sayange, perairan blok Ambalat, sampai Manohara. Dan kali ini, yang jadi bahan rebutan adalah tari pendet dari Bali.

Hampir semua orang di negeri ini tahu kalau tari pendet berasal dari Bali. Seperti halnya tari kecak yang melegenda itu, tari pendet jelas-jelas warisan kekayaan budaya Indonesia asli. Nah, ini kok berani-beraninya Malaysia mengklaim bahwa itu milik mereka dengan cara memasukkan dalam satu iklan Visit Malaysia, the truly Asia. Kayaknya semua yang berbau Asia mau diklaim oleh Malaysia (yang dipelesetkan menjadi Malingsia atau ‘maling lu’ oleh sebagian teman-teman kita di Jawa Barat).

Karena hal ini, wajar bila banyak orang Indonesia, terutama seniman-seniman dari Bali yang gondok, dongkol, marah, geram, dan sakit hati (tapi ada juga yang pasrah). Ibaratnya, Anda punya barang berharga, dan barang itu adalah warisan turun-temurun dari nenek moyang, tiba-tiba barang itu diambil dan diaku-aku sebagai milik orang lain. Bagaimana perasaan Anda?

Dibalik rasa geram dan marah tersebut, sebenarnya ada hal yang lebih penting, yaitu: apakah kemarahan kita itu dikarenakan ego sebagai orang yang tercuri atau karena kita memang benar-benar cinta pada budaya kita? Ingat, banyak orang yang marah ketika kekasihnya selingkuh atau direbut orang lain. Termasuk saya. Tetapi, kalau mau jujur, sebenarnya kemarahan itu lebih banyak disebabkan oleh ego atau harga diri yang merasa terinjak-injak dan diremehkan, bukan karena cinta. Betul?

Pertanyaan saya selanjutnya, seberapa banyak dari Anda yang benar-benar cinta dengan budaya Indonesia? Berapa banyak dari Anda yang pernah melihat tari pendet? Jujur, saya belum pernah melihat tari pendet sampai kemarin ditayangkan di televisi. Saya cuma tahu namanya saja. Saya hanya pernah melihat tari kecak. Orang bilang, tak kenal maka tak sayang. Bagaimana kita bisa sayang dengan budaya kita kalau tidak pernah melihat atau mengenalnya? Bisa jadi kita lebih mengenal budaya luar negeri daripada budaya sendiri. Sebarapa banyak yang mengenal moonwalk-nya Michael Jackson atau dance ala America? Sangat banyak, bukan?

Oleh karena itu, jangan hanya marah-marah saja ketika barang kita dicuri tetapi kita sendiri sebenarnya tidak pernah benar-benar mencintainya. Ada pepatah yang berbunyi: rasa cinta baru terasa setelah dia pergi. Setelah diambil orang, kita baru merasa kehilangan, tetapi ketika ada, kita sia-siakan. Marilah kita hargai budaya-budaya kita kalau memang cinta. Kenali mereka, sayangi mereka, dan perhatikan mereka. Semoga kesadaran ini bisa sedikit mengobati rasa sakit hati kita. Dan salah satu sisi positifnya, nasionalisme dan rasa persatuan kita sebagai bangsa Indonesia kembali disentil dan dibangunkan. Terima kasih, Malaysia!

August 06, 2009

Hanya Ada Satu Jalan Menuju Sukses

Banyak jalan menuju sukses? Itu adalah kata-kata motivasi yang sering kita dengar dan benar adanya menurut banyak orang. Meski demikian, hal tersebut bukanlah harga mati. Oleh karena itu, saat ini saya mencoba untuk memberikan sebuah perspektif yang berbeda. Sebuah cara pandang lain yang mungkin berguna bagi kita semua.

Menurut ‘penerawangan’ saya (Ki Joko Bodo Mode: On), hanya ada satu jalan menuju sukses. Anda boleh setuju, boleh juga tidak. Itu adalah hak Anda masing-masing. Untuk memuaskan nafsu penasaran Anda, dalam beberapa menit ke depan akan saya jelaskan kenapa hanya ada satu jalan menuju sukses.

Saudara-saudara yang saya cintai dan kasihi, banyak orang mengira bahwa sukses itu mudah dan bisa dilakukan dengan banyak cara. Bahkan, banyak orang menghalalkan segala cara demi mencapai sebuah kesuksesan. Itu semua bermula dari sebuah pemikiran bahwa sukses itu bisa ditempuh lewat berbagai macam jalan, mulai dari jalan ke kiri, ke kanan, ke depan, sampai lewat belakang.

Orang-orang yang mengira sukses bisa ditempuh dengan banyak jalan berpandangan bahwa orang-orang gagal adalah orang-orang yang telah salah dalam memilih jalan. Pendapat ini memang tidak keliru, tetapi saya tidak sepenuhnya setuju. Dalam pengamatan saya, antara orang berhasil dan gagal sebenarnya menempuh jalan yang sama, bahkan persis.

Misalnya, bila kita ingin sukses sebagai pembalap, maka kita pun harus melintasi jalan yang sama dengan yang dilewati oleh Michael Schumacher, Lewis Hamilton atau Fernando Alonso. Tidak ada jalan pintas atau jalan ‘tikus’ untuk mencapai apa yang sudah didapatkan oleh Schumacher. Jalan yang harus ditempuh sama persis, yaitu jalan untuk menjadi pembalap yang sukses.

Karena jalan yang ditempuh sama persis, otomatis situasi dan kondisi yang dihadapi oleh setiap orang juga sama persis. Halangan, rintangan, dan hambatannya juga sama. Ada jalan yang terjal, ada yang landai, ada yang berlubang, ada yang kasar, dsb. Ibaratnya, semua melintasi sirkuit balap yang sama, dan kita semua adalah pembalapnya.

Yang membedakan antara orang sukses dan gagal, atau pun pemenang dan pecundang dalam lomba balap, adalah cara masing-masing orang merespon situasi dan kondisi yang dihadapi saat melintasi jalan tersebut, atau saat perlombaan berlangsung.

Orang-orang yang siap dan bersedia melewati segala hal yang akan dihadapi adalah orang-orang yang kemungkinan besar akan sukses. Sebaliknya, yang tidak siap dan tidak bersedia akan gagal.

Orang-orang yang selalu memanfaatkan setiap kesempatan dalam setiap kesulitan yang dijumpai hampir dipastikan akan sukses. Sebaliknya, yang diam saja dan menyerah dalam menghadapi setiap kesulitan akan gagal karena mereka telah membiarkan kesempatan lewat begitu saja. Ingat, kesulitan dan kesempatan adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

Maka dari itu, mulai dari sekarang jangan buang waktu kita untuk mencari-cari jalan yang paling ‘enak’ untuk menuju sukses. Jalan yang ‘enak’ itu hanya ada dalam dunia maya dan tidak pernah menjadi nyata. Bangunlah dari mimpi dan sadarilah bahwa tidak ada jalan yang selamanya lurus, selalu ada yang berliku, ada yang menanjak, dan ada yang curam. Jalan yang kita tempuh saat ini (yang menurut kita tidak ‘enak’) mungkin adalah satu-satunya jalan yang ada.

Saya harus menekankan hal ini karena banyak orang yang menghabiskan seluruh hidupnya hanya untuk mencari-cari jalan ‘bebas hambatan’ dan akhirnya mereka tidak pernah sampai di tujuan. Waktu mereka habis untuk berputar-putar. Ingat, yang namanya jalan ‘toll’ sekali pun tidak selalu bebas dari hambatan. Jadi, fokuskan perhatian dan energi untuk menghadapi apa pun yang akan kita jumpai. Meski jalannya hanya ada satu, tetapi problemnya ada banyak. Demikian juga dengan solusinya. Oleh karena itu, cari solusinya dan jangan hanya berkutat dengan problemnya.

Saya percaya, selalu ada cara untuk melewati setiap problem yang ada. Kita bisa menggunakan setelan ban yang pas, memakai mesin yang reliable, atau merancang sasis yang sustainable untuk mengatasi hambatan tersebut. Mungkin kita bisa menyalip dengan gesit atau mencoba berbagai macam teknik yang selama ini belum terpikirkan. Kita juga bisa berganti kendaraan supaya lebih cepat mencapai tujuan. Tetapi, yang harus kita sadari, semua kendaraan hanyalah alat bantu. Pengemudilah yang akan menentukan hasil akhir. Bukan mobilnya, tetapi pembalapnya. Bukan tunggangannya, tetapi penunggangnya (The Fast and The Furious: Tokyo Drift). Semua tergantung kreatifitas kita dalam meresponnya, bukan tergantung pada kendaraan dan lintasannya.

I believe that life is 10% what happens to me and 90% of how I react to it. Let's be in charge of our ATTITUDES.